Sejak pertama kali mendengar cerita tentang Ahirul Habib Padilah, aku merasakan sebuah rasa kagum yang sulit dijelaskan. Di balik keputusannya meninggalkan kenyamanan hidup di kota dan kembali ke kampung halaman, ada sebuah dedikasi tulus yang menggugah hati. Ahirul tidak sekadar pulang, tapi ia membawa mimpi besar: membangun masa depan desa melalui sistem pertanian terintegrasi yang kini telah menginspirasi banyak pihak.
Berkali-kali aku membayangkan, bagaimana rasanya mengikuti jejaknya? Melangkah dari zona nyaman untuk membawa perubahan nyata di lingkungan tempat kita lahir. Itu bukan langkah mudah, tapi Ahirul telah membuktikan bahwa keinginan kuat untuk melihat desa dan masyarakatnya sejahtera mampu mengalahkan segala keraguan. Mungkin suatu saat nanti, aku pun ingin bisa melakukan apa yang telah ia lakukan---melangkah bersama masyarakat, berkarya demi keberlanjutan bumi kita.
Dari Kota Menuju Kampung
Habib memulai kisahnya di Pontianak, sebuah kota yang memberinya kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai seorang dosen honorer di Universitas Tanjungpura, ia sudah merasa cukup mapan dengan kehidupannya di kota. Pekerjaan sebagai dosen, meskipun bukan jabatan tetap, memberikan stabilitas yang tidak ia rasakan saat tumbuh besar di desa terpencil. Desa Nanga Sayan, tempat ia lahir, hanyalah titik kecil di peta Kalimantan Barat, jauh dari kemajuan, dan sering kali terpinggirkan.
Namun, pada 2017, semua berubah. Sebuah telepon dari sang ayah mengusik hatinya. Di ujung sana, ayahnya berbicara lirih, meminta Habib untuk pulang dan meneruskan pekerjaan di ladang. Hati Habib sempat menolak. Baginya, dunia kota yang gemerlap dan penuh kenyamanan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Ia tidak siap meninggalkan karier dan kehidupan yang ia bangun bertahun-tahun.
Namun, ada suara dalam hatinya yang mengatakan, "Ini panggilan keluarga. Ini kesempatan untuk membalas jasa orang tua." Sang ayah pun semakin renta dan tinggal sendirian. Akhirnya, Habib luluh. Ia memutuskan untuk kembali ke kampung dan memulai babak baru dalam hidupnya.
Membangun Kembali Harapan di Tanah Sendiri
Meski berat meninggalkan semua yang sudah ia capai di Pontianak, Habib membawa bekal pendidikan dan pengalaman dari kota. Dengan gelar S2 dari Universitas Padjadjaran di bidang ilmu politik, ia mungkin tidak secara langsung berhubungan dengan pertanian. Namun, saat ia kembali ke kampung, ilmu yang ia dapatkan selama studi justru membantunya memahami kebutuhan masyarakat dan pola pikir mereka.
Awalnya, ia diangkat menjadi Pendamping Desa oleh Kementerian Desa. Tugas ini memberinya kesempatan untuk lebih dekat dengan masyarakat dan memahami apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Dalam perjalanan ini, ia teringat pada para petani di Bandung, di mana ia pernah melihat bagaimana pertanian modern bisa berjalan dengan efektif.
"Jika mereka bisa, mengapa kami tidak?" pikir Habib. Ia pun mulai menerapkan apa yang ia pelajari dan amati selama di Bandung. Habib ingin menciptakan sistem pertanian terintegrasi di Nanga Sayan. Tujuannya adalah agar para petani tidak hanya bergantung pada satu jenis tanaman, tetapi memiliki sumber penghasilan lain seperti perikanan dan peternakan.