Pernahkah kamu merasa terpikat oleh pesona kota Jakarta? Aku tahu pasti banyak yang setuju. Jakarta, kota yang menjadi ibukota negeriku, Indonesia, adalah tempat yang memukau. Di sini, kita bisa bertemu dengan orang-orang dari berbagai suku, daerah, bahkan negara. Jakarta memang kota plural yang penuh warna.
Namun, siapa yang tak pernah mengeluhkan kemacetan Jakarta? Lalu, waktu, yang selalu terasa berjalan terlalu cepat di sana. Seperti tidak ada yang bisa mengendalikannya.Â
Tapi, biarkan kita tidak membahas hiruk-pikuk Jakarta sekarang. Aku ingin berbicara tentang sebuah budaya yang menarik.
Ketika aku masih kecil, aku tinggal di Situbondo. Di sana, kata "aku" dan "kamu" tidak begitu akrab diucapkan. Orang-orang lebih sering menggunakan kata "saya" dan "kamu." Meski ada yang bilang "aku kamu," itu tidak begitu aneh bagi kami, warga Situbondo, tapi terdengar lebih gaul.
Ketika aku pindah ke Kota Malang untuk melanjutkan studi, budaya berbicara berubah. Aku masih menggunakan "saya" dan "kamu" dan teman-teman tertawa karena menanggap logat Situbondo-Maduraku lucu. Hingga akhirnya aku tak sadar mulai menggunakan "aku" dan "kamu." Bahkan logatku berubah. Ini bukan keputusanku, tapi perubahan yang alami.
Setelah menyelesaikan studiku di Malang, aku bekerja di Jakarta. Selama bekerja di sebuah perusahaan, aku masih nyaman dengan "aku kamu." Meski Jakarta dikenal dengan "lo gue," aku tidak terpengaruh. Aku menggunakan "aku kamu" untuk teman-teman sebayaku tanpa memandang jenis kelamin. Dan teman-teman mayoritas juga menggunakan "aku kamu." Meskipun kadang-kadang aku bermain dengan "elu gue" di media sosial dan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian, ketika aku pindah bekerja ke perusahaan lain, masalah muncul. Kebanyakan orang di sana telah beralih ke "lo gue," dan teman-teman di komunitasku juga begitu. Beberapa dari mereka mengeluh, "Kenapa sih kamu masih pakai 'aku kamu' dengan cowok?" Aku hanya bengong dan menjawab, "Kenapa tidak?" Aku tetap menggunakan "aku kamu" dengan berbagai orang, bukan hanya cowok. Beberapa kali aku dikomplain, tapi aku tetap bersikukuh.
Aku pernah berdiskusi tentang ini dengan teman-teman di kantin saat hujan turun dan perut lapar. Kami memutuskan makan mi instan.
"Gue elu kan sebenarnya bahasa daerah. Malah aku jijik sama cowok yang kalo ngomong sebut namanya, tapi kan itu budaya. Jadi mau gimana lagi?" kata Mawar sambil tertawa.
"Malah aku dimarahi kalo di rumah ngomong gue elu," tambah Y.
"Ya gak apa-apa kali kamu ngomong aku kamu. Kamu kan dari Jawa. Kita mah maklum aja," sahut Z.
Juga pernah aku bahas ini dengan pacaku (dulu). "Emangnya di kantor kamu ngomong elu gue?"
"Iya. Kalo di rumah sih enggak. Lagian kamu kan memang ngomong aku kamu. Beberapa teman sih gitu. Dia berubah ngomong aku kamu karena ada rasa atau mau pedekate."
Beberapa kali juga aku melihat teman yang datang dari kampung berusaha keras untuk berbicara dengan "elu gue." Apakah itu masalah besar? Terkadang, ya. Cara mereka berbicara terdengar canggung dan tidak alami. Sama seperti saat aku mencoba bermain dengan "elu gue." Tidak semua orang menerimanya dengan baik, malah ada yang tertawa. Haha...
Apakah semua orang yang datang ke Jakarta harus berbicara dengan "elu gue"? Aku berpendapat bahwa tidak. Jakarta adalah kota yang kaya akan budaya, bahasa, dan keyakinan. Ini adalah tempat yang seharusnya memberikan kebebasan kepada semua orang untuk berbicara sesuai dengan kebiasaan mereka. Tidak masalah apakah kamu menggunakan "aku kamu," "elu gue," "saya kamu," "beta kamu," "daku dikau," atau "you and I." Ini bukan masalah besar, bukan?
Memang benar, bagi sebagian orang, masalah ini cukup besar, terutama ketika berkaitan dengan perasaan terhadap lawan jenis atau sesama jenis. Aku mulai berpikir, apakah orang yang terlalu sensitif terhadap perubahan bahasa adalah mereka yang mudah jatuh cinta saat seseorang mulai berbicara dengan "aku kamu," padahal mereka juga melakukan hal yang sama kepada orang lain?
Jadi, apakah kita harus berbicara dengan "elu gue"?
Nah, pertanyaannya sekarang, apakah kamu masih ingin menggunakan "elu gue" atau "aku kamu"? Setiap orang memiliki pilihan masing-masing. Tapi ingatlah, jika kamu tertarik pada seseorang, lebih baik ungkapkan perasaanmu daripada bermain-main dengan kata-kata. Waktu sudah berubah, dan sandi-sandi seharusnya hanya milik pramuka. Wkwkwk. (Uwan Urwan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H