Saya tergolong orang yang enggan bergelut dengan dunia politik. Meski dalam agama saya, Islam, dianjurkan untuk melahap segala jenis ilmu termasuk politik, melihat penggelintiran dan pembolakbalikan objek, membuat saya menyerah atas kotornya praktik politik. Sama sekali jauh dari teori yang diumbar-umbar dalam buku maupun undang-undang kepemerintahan. Tapi ada beberapa hal yang tidak bisa saya pungkiri untuk diangkat.
Entah sejak kapan ilmu tumbal-menumbalkan manusia dihalalkan. Orang pemerintahan yang biasanya dielu-elukan tak pernah mendapat tempat lama di atas puncak. Setiap celah kecil bisa menjadi bahan untuk menjatuhkannya kembali. Tak tanggung-tanggung, media membuat jutaan orang meraung-raung untuk melemparkan hujatan tak berfaedah.
Sebut saja Soeharto, Alm. Gusdur, Susilo Bambang Yudhoyono, Jokowi, dan Ahok. Bagaimana menurut kamu tokoh-tokoh yang saya sebut di atas? Saat mereka tidak menjabat sebagai orang penting di pemerintah, masyarakat layaknya fans fanatik yang berlomba-lomba melemparkan bunga dan berlian. Begitu menjabat, seperti Jokowi dan Ahok, apa yang terjadi? Hujatan tak henti-henti. Kemudian dibandingkan dengan orang lain yang jelas tidak sama, seperti Ridwan Kamil atau Tri Rismaharini. Lalu serentak membahana mendorong Jokowi dan Ahok untuk lengser dari kedudukannya. Tinggal Ridwan Kamil dan Tri Rismaharini yang digadang-gadang untuk memimpin bangsa. Apa yang salah dengan kita? Atau memang begitukan permainannya?
Kasus Jero Wacik pun tak kalah lucu. Jero yang notabene punya peran besar terhadap bangsa, meningkatkan nilai kepariwisataan Indonesia melalui gerakan-gerakannya, sehingga devisa Negara meningkat pesat, pun jadi tumbal. Melalui prestasi-prestasinya selama menjabat jadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), lalu ia diangkat menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tak berhenti di situ, prestasinya kian bergulir.
Tapi dari serangkaian prestasi yang ia raih, nasib berpihak ke pada lain hati.Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) menuduh Jero melakukan korupsi. Itu terjadi pada 2014. KPK menodong Jero menyuap Don Kardono, Pemimpin Redaksi Indopos, yang terbantahkan saat di pengadilan. Juga dianggap melakukan penyelewengan Dana Operasional Menteri (DOM) untuk kepentingan keluarga. Dan tuduhan itu juga tak terbukti benar.
Ada tapi lagi. Lihat bagaimana media memberitakan Jero Wacik? Serentetan justifikasi negatif deras bergulir. Karena semboyan media begini, “Bad news is good news. Good news is bad news.” Manusia lebih mudah menerima berita negatif, sementara hal baik perlu disaring berulang-ulang untuk sampai pada hati.
Untuk beberapa kasus, memang hukum terlihat buta pada yang seharusnya diadili. Atas nama kekuasaan, siapa yang lebih berkuasa, dan siapa yang bermain-main di balik kekuasaan itulah yang menciptakan atmosfer drama berkepanjangan.
Jero ditahan di LP Cipinang sejak 14 September 2014. Saat ini masih berjuang mengembalikan nama baiknya. Kabar terkini, putusan banding Jero dari Pengadilan Tinggi sudah keluar. Keputusan Pengadilan Tipikor tanggal 9 Februari 2016 kian kuat. Masing-masing pihak unit diberi kesempatan mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung dalam tenggal waktu 14 hari. Kita doakan saja semoga hal baik segera tersiar. (Uwan Urwan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H