Tidak menyangka kalau gambar-gambar saya akan disukai dan dibeli. Awalnya sih memang senang menggambar lalu diposting di media sosial. Sekarang, orang-orang mulai mengapresiasi karya-karya saya.
Sejak kecil saya memang suka menggambar dan mewarnai. Sudah seperti kebiasaan setiap kali senggang, menggambar. Suka bukan berarti bisa menghasilkan karya yang bagus, bukan? Saya terus mengamati, meniru, memodifikasi dari hasil kerja orang lain.
Pernah ikut lomba mewarnai saat Sekolah Dasar. Tidak menang. Haha... Beruntungnya saya orang yang sadar diri bahwa gambar saya bukan apa-apa. Kalau dibandingkan teman-teman, gambar tangan saya hasilnya standar. Ya, rata-ratalah ya.
Menggambar Terus
Sampai masuk SMA, saya makin bertemu dengan orang-orang yang lebih jago lagi menggambar. Saya bukan apa-apa. Masih standar dan masih idealis dengan apa yang saya mau.Â
Pernah waktu itu ada tugas menggambar perangko. Semua desain dan pewarnaan diserahkan ke siswa, tergantung daya imajinasi masing-masing. Waktu itu saya menggambar tangan sendiri.Â
Menurut saya bagus karena waktu itu saya sudah bermain gradasi, bagian terang gelap, meski tidak sempurna. Begitu sampai di kelas, ada karya teman yang jauh lebih bagus dan lebih rapi.
Waktu itu saya belum punya buku khusus menggambar, adanya buku khusus untuk menulis puisi. Gambar-gambar saya lebih ke objek tidak penting, aneh, dan kombinasi dari objek-objek lain.Â
Pernah saya menggambar hewan hasil kombinasi dari organ-organ hewan lain, jadinya monster. Haha...
Beruntungnya lagi saya terus menggambar meski medianya sering berganti. Paling sering hanya pakai pena dan pensil.Â
Sampai akhirnya waktu kuliah disarankan untuk ikut lomba kaligrafi dan akhirnya menang juara 1. Halah. Haha...Â
Tahun berikutnya ikut lagi dan TIDAK MENANG sodara-sodara. Lagi-lagi saya harus sadar diri karena gambar saya standar. Tidak ada yang spesial.
Biarpun gambar-gambar saya standar dan seringkali tidak penting, saya tetap menggambar di media apapun, termasuk meja di bangku kuliah. Haha...Â
Semakin ke sini teman-teman saya dulu sewaktu sekolah, yang gambarnya jauh lebih bagus dan jauh lebih rapi, ternyata kebanyakan sudah tidak menggambar lagi.Â
Atau kalau pun iya, paling hanya sekadar melepas stres lalu melanjutkan hidup. Makin tidak terlihat tanda-tanda gambar-gambar mereka muncul di media sosial. Kebanyakan sudah posting foto-foto kesibukan saat kuliah. Nah, saat masa-masa bekerja pun begitu. Makin tidak ada gaungnya lagi.
Diposting di Media Sosial
Lulus kuliah, bekerja di sebuah perusahaan, yang saya lakukan saat rapat adalah menggambar. Apalagi rapat yang berjam-jam membahas ini-itu yang tak kunjung selesai.Â
Biasanya saya tempel di meja kerja dan diposting di media sosial. Di meja kerja sempat penuh dengan gambar-gambar abstrak saya. Sampai pada suatu waktu ada teman datang dan bilang, "Gambar-gambarmu surealis ya."
Hah? Apa itu?
Ada banyak aliran lukisan, surealis, naturalis, realis, ekspresionalis, abstrak, dan lain-lain. Sampai saat ini sebenarnya memang tidak paham benar apa dari aliran-aliran tersebut.
Setelah itu saya mulai mantap untuk menggambar sesuatu yang abstrak dan tidak jelas. Lagipula gambar-gambar semacam itu yang biasanya membuat bahagia.Â
Menggambar daun atau wajah dengan struktur-strukturnya biasanya malah membuat stres. Selain kalau tidak mirip akan kecewa, kertasnya pun akan kusut karena sering dihapus-digambar-dihapus-digambar. Lagi-lagi saya harus sadar kalau gambar saya ya standar.
Jadi Cover Buku
Yang jelas saya sudah mulai rutin memosting gambar di media sosial sejak tahun 2014. Sampai ikut tantangan 30 hari menggambar. Tahun 2015 adalah awal gambar-gambar saya naik daun.Â
Ada sebuah inbox dari seorang kawan, "Saya boleh pakai gambarmu untuk dijadikan cover buku kumpulan puisi ya?"
Ulasan buku yang pakai gambar saya ada di sini
Sampai buku itu cetak saya masih tidka percaya, ternyata gambar yang menurut saya tidak terlalu punya makna bisa juga jadi cover buku.Â
Bangganya lagi, buku itu akan dibagikan kepada penulis-penulis yang ada di dalam buku tersebut. Kemudian datanglah tawaran lain untuk mendesain cover buku seorang penyair yang menurut saya cukup ternama, Imron Tohari.
Justru saya malas kalau hanya menerima pujian. Beberapa dari mereka yang memuji ya hanya memuji, hanya tidak enak mau berkomentar negatif atau mengapresiasi karya saya.Â
Tidak salah memang, tapi beberapa kali pujian membuat saya justru terpuruk. Lagi-lagi saya harus sadar kalau tidak semua gambar-gambar saya bagus.
Pernah juga membuka bisnis seni yang hanya jalan beberapa bulan. Ternyata saya belum matang mengonsep dan mengerjakan bisnis tersebut sampai harusnya tutup begitu saja tanpa kabar. Maafkan.Â
Sekarang saya juga sedang mencari-cari jalan agar gambar-gambar saya tersalurkan dengan baik. Ingin membuat pameran kecil-kecilan terlebih dahulu, ingin juga mencetak gambar-gambar saya jadi produk, ingin juga bekerja sama dengan brand-brand besar.Â
Namun saya belum sepercaya diri itu untuk memulai menjalin kerjasama.
Untuk saat ini saya masih dipercaya untuk membuat cover buku fiksi di salah satu penerbit indie. Selain itu beberapa karya dibeli teman sendiri, ikut mengirimkan karya yang di dalamnya juga ada ilustrator ternama, melihat-lihat pameran seni, bekerjasama dengan resort di Bali, sempat menerbitkan satu buku doodle di penerbit mayor, dan ya masih cari-cari informasi juga berusaha sih.Â
Harapannya, karya-karya saya makin naik daun dan bermanfaat untuk orang lain. (Uwan Urwan)
Jadi, kalau teman-teman yang sebetulnya bisa menggambar lebih jago dibandingkan saya, sebaiknya tetap menggambarlah walaupun kesibukan lain menghadang. Yang saya tahu, yang menyelamatkan saya dari keputusasaan sampai saat ini adalah hal-hal yang saya senangi dan saya kerjakan sampai sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H