Dalam Perkembangan kehidupan di dunia modern, perbedaan manusia satu dengan manusia lainnya haruslah menjadi sesuatu yang biasa dalam kehidupan antar masyarakat. Hal ini karena memang tuhan menciptakan makhluknya dalam bentuk yang bermacam-macam meskipun dalam jenis yang sama.Â
Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan yang paling sempurna dengan dikaruniai akal, dapat menggunakan akal sehatnya untuk menerima perbedaan yang terjadi di sekitar. Khususnya perbedaan antar manusia. Seringkali, atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, dan lain sebagainya menjadikan manusia saling mengelompokkan dan mengotak-ngotakkan antara manusia satu dengan manusia lainnya.Â
Sehingga dari hal tersebut, banyak terjadi kasus pelecehan, diskriminasi, dan rasisme. Dan banyak kasus di dunia ini yang terjadi akibat perbedaan-perbedaan yang telah disebutkan diatas serta memengaruhi kehidupan bahkan aktivitas manusia.Â
Seperti contohnya dari bidang olahraga, beberapa supporter sepakbola melontarkan kalimat rasisme yang ditujukan kepada pemain berkulit hitam, dari bidang social, beberapa orang sering mencela orang-orang Asia dengan ejekan fisik seperti menyipitkan mata karena sebagian orang Asia memiliki mata yang sipit, dari bidang politik, pernah berlaku Politik Apartheid yang terjadi di Afrika Selatan.
Politik Apharteid adalah system politik yang memisahkan antara golongan kulit putih dan golongan kulit hitam di Afrika Selatan sehingga terjadi perbedaan hak yang didapatkan oleh kedua golongan tersebut. Golongan kulit putih mendapatkan hak-hak yang istimewa sedangkan golongan kulit hitam tidak.Â
Penerapan politik Apharteid dimulai sejak pemerintahan Inggris dan Belanda di Afrika Selatan. Kemudian pada 1948, ketika pemerintah Nasionalis dibentuk setelah partai Nasionalis memenagkan pemilu dan membawa system Apharteidnya.
 Pemerintah melakukan pemisahan warna kulit. Ideologi Apharteid diprakarsai oleh Perdana Menteri Republik Afrika Selatan yakni Dr. Hendrik Verwoerd yang dikuatkan dengan undang undang yang dikeluarkannya. Undang undang tersebut memisahkan rakyat Afrika menjadi tiga golongan warna kulit yang berbeda yakni kulit putih, kulit hitam, dan kulit campuran.Â
Orang-orang dengan kulit putih memiliki hak diatas dari kulit hitam. Politik Apharteid berlaku hingga awal tahun 1990-an. Dan selama waktu tersebut, banyak sekali terjadi demonstrasi yang menolak kebijakan politik Apharteid tersebut.
Politik Apharteid tentunya banyak dikecam karena orang-orang kulit hitam sangat dirugikan atas pembagian hak berdasarkan warna kulit. Ini dapat dilihat dari kontribusi politik yang membatasi orang-orang kulit hitam untuk berpartisipasi dalam kursi politik.Â
Selain itu, pembagian daerah untuk tempat tinggal juga diatur. Orang-orang kulit hitam banyak tinggal di daerah perbatasan utara hingga timur. Sedangkan orang-orang kulit putih tinggal di daerah yang luas dengan sumber daya alam yang melimpah.Â
Dalam bidang pekerjaan, orang-orang kulit hitam maksimal hanya menjadi seorang buruh. Juga dalam pendidikan, jarang sekali orang-orang kulit hitam yang dapat mengenyam pendidikan. Kalaupun mendapatkan pendidikan, pembelajarannya dibedakan dengan orang-orang kulit putih.Â
Dari hal itu saja, kita mengetahui bahwa system politik Apharteid ini merupakan bentuk diskriminasi warna kulit dan menyalahi Hak Asasi Manusia serta hanya memikirkan kepentingan suatu golongan saja. Atau juga dapat dikatakan sebagai bentuk penjajahan nonfisik yang dilakukan tanpa senjata dan secara halus.
Beberapa demonstrasi dan pemberontakan kerap kali terjadi. Seperti pada Maret 1960, organisasi African National Congres (AFC) dan Pan African Congres melakukan pemberontakan yang dilakukan di kantor polisi Sharpeville.
 Pemberontakan tersebut berjalan rusuh sehingga 69 orang kulit hitam mati dan 180 orang mengalami luka-luka.Â
Seminggu kemudian, terjadi pemberontakan lagi di tempat yang sama dan dampaknya 18.000 orang ditahan. Dari pemberontakan yang kedua ini yang kemudian megetuk dunia Internasional dan PBB menganggap penerapan politik Apharteid ini sebagai kejahatan kemanusiaan yang harus dihentikan.Â
Namun, hal itu tak membuat system politik Apharteid langsung dihentikan.Â
Butuh waktu hingga tahun 1990-an untuk mengehntikannya. Beakhirnya system politik Apharteid ini tak lepas dari jasa Nelson Mandela, seorang pejuang kemanusiaan khususnya kemanusiaan kulit hitam dan melawan diskriminasi di Afrika Selatan.
Nelson Mandela adalah seorang pengacara yang kemudian terjun dalam dunia politik dengan menjadi Ketua ANC. Ia getol memperjuangkan hak-hak rakyat kulit hitam dan menjadi kepala atas semua gerakan pertentangan dari politik Apharteid.Â
Meski begitu, ia selalu mengupayakan penyelesaian konflik dengan cara damai dan tanpa kekerasan hingga akhirnya ia ditangkap dan dipenjara serta dikenakan hukuman penjara seumur hidup pada 1964.Â
Kemudian ia dibebaskan tanpa syarat oleh Presiden Williem De Klerk yang mengupayakan reformasi total dan akan mengadakan pemilu secara bebas pada tahun 1994. Hasilnya adalah partai yang dipimpin oleh Nelson Mandela memenagkan pemilu dan menjadi Presiden Pertama Afrika Selatan yang berkulit hitam.Â
Sebagai Presiden Pertama setelah reformasi total, Nelson Mandela mengupayakan agar tidak terjadi lagi konflik yang mengatas namakan ras, suku, warna kulit, dan agama agar tidak terjadi diskriminasi lagi. Serta persamaan hak kepada semua warga Negara.
Berakhirnya system politik Apharteid di Afrika Selatan menjadi salah satu titik balik bagi dunia untuk melawan diskriminasi dan intoleransi yang berdasarkan suku, agama, ras, warna kulit, dan lain sebagainya agar persamaan hak atas semua manusia dapat berjalan setara.Â
Dan merupakan suatu keharusan bagi setiap individu untuk mengahrgai satu sama lain serta hidup berdampingan tanpa ada sekat pembatas sehingga perdamaian dan kesejahteraan hidup dapat tercapai dan dirasakan oleh semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H