Saya bukan politisi dan juga tak berpartai. Tetapi saya suka politik. Pada pemilu 2014 dulu saya pilih Prabowo. Sekarang, saya masih bingung mau pilih siapa. Untuk diketahui, dua kali saya memilih SBY, yaitu pada pilpres 2004 dan pilpres 2009.
Tadinya saya berharap dalam pilpres 2019 mendatang Gerindra dan Demokrat bisa berkoalisi dan usung Prabowo, atau calon yang lain. Yang penting ada calon yang bisa mengalahkan Jokowi. Waktu ada pertemuan "nasi goreng" di Cikeas beberapa bulan yang lalu, saya sangat gembira. Pikir saya bakalan terwujud koalisi yang kuat, yang dimotori SBY dan Prabowo. Jokowi cukuplah. Prestasinya hampir tidak ada. Paling-paling hanya infrastruktur. Sementara kehidupan rakyat sekarang susah. Lagian banyak janji yang tak ditepati.
Menurut pikiran saya, dalam pilpres 2014 yang lalu Prabowo boleh dikata mampu mengimbangi Jokowi, meskipun akhirnya kalah, karena ada faktor SBY. Saya tahu  mayoritas kader Demokrat pilih Prabowo. Di belakang layar SBY memberi lampu hijau untuk dukung Prabowo-Hatta. Menurut saya masuk akal, karena SBY dan Prabowo berkawan. Di samping itu Hatta Rajasa kan besan SBY. Selisih antara Jokowi, yang jadi bintang waktu itu, dengan Prabowo hanya 7 %. Tidak jauh. Dulu, jarak antara SBY dan Megawati 20 % lebih.
Sekarang ini, menurut survey jarak elektabilitas Jokowi dengan Prabowo antara 20 % sampai 25 %. Sangat tidak aman bagi Prabowo kalau melawan Jokowi lagi. Pikir saya, kalau SBY dan Prabowo bergabung mereka bisa kalahkan Jokowi. Bisa seperti pilkada Jakarta kemarin. Putaran kedua Ahok kalah, karena pemilih Agus Yudhoyono lari ke Anies Baswedan.
Mendengar pernyataan SBY dalam Rapimnas Demokrat yang dilaksanakan di Sentul tanggal 10 Maret 2018 yang lalu, seolah Demokrat bisa berkoalisi dengan Jokowi, terus terang saya tidak senang. Meskipun SBY ngasih 3 syarat untuk bisa berkoalisi, tetap saja saya tidak senang.
Terus terang saya penasaran, mengapa sepertinya hubungan Demokrat dan Gerindra renggang. Saya rasakan hubungan kedua politisi berlatar belakang militer itu akhir-akhir ini dingin.
Karena tidak mungkin saya bertanya kepada SBY, yang saya tahu pasti enggan menjawab rasa penasaran saya, saya cari tahu ke lingkaran dalam SBY. Alhamdulillah, saya dapat. Dia buka kartu. Meskipun dia berpesan tidak dibocorkan namanya.
Menurut yang bersangkutan, dia punya harapan yang sama. Bahkan dia ikut membangun jembatan  antara SBY dengan Prabowo. Dia pikir bisa, karena dia tahu persis bahwa kubu SBY merasa terganggu dengan penguasa sekarang karena terus dikerjain. Pihak SBY luka atas perlakuan para penguasa yang keterlaluan dalam pilkada Jakarta kemarin. Namun, SBY merasa terganggu dengan apa yang dilakukan Prabowo. Ada beberapa kasus.
Pertama, menjelang pilkada Jakarta yang lalu ada pembicaraan antara Gerindra, Demokrat dan PKS untuk berkoalisi. Pembicaraan itu dilakukan jauh sebelum terbangunnya koalisi antara Demokrat, PPP, PKB dan PAN. Jauh sebelum keputusan untuk akhirnya mengusung Agus Yudhoyono.
Inti pembicaraan  antara Gerindra, Demokrat dan PKS adalah perlu dilakukan survey mana yang lebih kuat antara calon Gerindra Sandiaga Uno, dengan calon Demokrat Yusril Izha Mahendra, atau calon PKS yang waktu itu belum disebutkan namanya. Tetapi, ketika SBY sedang pergi ke Seoul, Korea Selatan, untuk sebuah kegiatan internasional, secara sepihak Gerindra dan PKS mendeklarasikan pasangan Sandiaga Uno-Mardani. SBY merasa kecewa, karena ditinggal begitu saja.
Yang kedua, lagi-lagi juga soal kebersaman dalam pemilihan gubernur. Kali ini untuk Jawa Barat. Pasangan Dedy Mizwar (yang diusung Demokrat) dengan Syaikhu (yang diusung PKS) tiba-tiba bubar karena PKS menarik diri secara sepihak. Orang tahu hal itu terjadi karena permintaan Prabowo. Lagi-lagi SBY merasa dilecehkan.
Tetapi, menurut lingkaran dalam SBY tersebut, Prabowo dinilai terlalu sombong dan selalu memaksakan kehendaknya. Maunya SBY, adalah "take and give-nya". Prabowo ingin Demokrat bersama-sama Gerindra berkoalisi dalam pilgub di beberapa provinsi. Tetapi, belum-belum Prabowo sudah menentukan siapa-siapa nama cagub yang harus diusung. Maunya Demokrat, sebelum diputuskan dibicarakan dulu.
Masih ada satu lagi yang nampaknya tidak mudah bagi kedua tokoh itu, SBY dan Prabowo, untuk bersama-sama dalam pilpres 2019 mendatang. Yang ini mendasar karena menyangkut prinsip berpolitik. Menurut sumber itu, SBY tidak suka kalau berkompetisi itu, termasuk dalam pilkada dan pilpres, yang digunakan isu agama. Meskipun hubungan SBY dengan komunitas Islam dekat, ia tak suka menggunakan isu agama untuk memenangkan politiknya. Kalau soal kedekatan SBY dengan Islam saya juga tahu, karena saya sendiri sering menghadiri acara SBY dengan para ulama dan tokoh-tokoh Islam
Kalau hal-hal itu yang menjadi ganjalan dalam hubungan antara Gerindra dan Demokrat memang cukup serius. Namun, SBY dan Prabowo itu kan berkawan. Mestinya bisa menjalin komunikasi lagi. Soal Capres dan Cawapres bisalah dirundingkan lagi. Ini harapan saya. Dan, maaf ya, Â mungkin saya subyektif, tetapi saya tidak yakin koalisi antara Demokrat dengan PDIP bisa terjadi. Tidakkah Megawati sangat membenci SBY?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H