Berbicara tentang lokalitas dalam wacana globalitas bagi sebagian kita seakan seperti membicarakan hal yang berbau ndeso di tengah keriuhan kota metropolitan atau layaknya membicarakan cara melestarikan bumbu pecel di tengah mall saat kita tengah menyeruput secangkir capucino super nikmat sambil ditemani sepiring pizza di Pizza Hut bersama kolega kita yang asyik masuk dengan seduhan caffe latte-nya.
Janggal dan tidak menarik..
Saya mendapat kesan tersebut setelah melakukan beberapa perbincangan dengan rekan-rekan siswa atau pun dengan rekan-rekan muda yang saya temui tiga bulan terakhir ini, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Kesan seperti ini pun muncul di kalangan orangtua dan guru atau kebanyakan akademisi.
Kesan seperti tersebut tentu bukan kesan yang aneh tapi justru jamak tertabur di sekitar sekalian kita. Kita telah memasuki era globalisasi sebagai kelanjutan atau kalau boleh dikatakan sebagai konsekuensi logis dari era modern yang mengusung semangat dan sistem kapitalisasi. Dan kita semua tentu sepenuhnya mengerti bahwa kapitalisasi adalah perpanjangan tangan atau baju baru dari sistem kolonial. Andi Zulkarnaen, dalam salah satu edisi diskusi Rumah Anak Bangsa di bulan Agustus 2010, pernah mengistilahkannya sebagai kolonialisme yang cantik.
Era kolonialisme memang telah diberangus dan ditentang oleh masyarakat dunia, sehingga istilah kolonialisme yang cantik ini beliau lontarkan lantaran kita sangat gampang terpesona dengan segala hal yang tampilannya cantik. Sadar atau tidak, makhluk atau benda yang cantik memang lebih mudah dalam mengikat hati kita dan membuat kita jatuh hati padanya. Termasuk kolonialisme. Saat kolonialisme ini terbungkus baju nan indah dan cantik, maka takluklah kita sebagai individu yang bahkan tanpa harus ada perlawanan bersenjata.
Laksana gadis molek yang memasuki kamar terkunci yang merupakan wilayah pribadi kita. Pesonanya nan aduhai membuat kita tak berkutik tuk mengusirnya dari depan kamar suci kita itu. Kita bahkan dengan suka cita mempersilakannya masuk. Rayuan dan keindahannya mampu membuat hawa maksiat menjadi sewangi mawar surga.
Dan.. kita pun mau begitu saja melepas penutup aurat kita satu persatu dengan takzim, sepenuh rela, dan.. pasti tanpa perlawanan.
Meski hati kecil kita menjerit-jerit mengingatkan bahwa belum ada ikatan janji pada Sang Widhi..namun kecantikan dan kemolekan lejuk tubuh si gadis mampu membuat kita tak mengacuhkan jeritan itu..
Dan kita pun akhirnya rela untuk bulat-bulat bertelanjang dan menyerahkan segala harga diri kita pada ranah maksiat demi terengguknya kenikmatan itu!
Saat ini kita mungkin telah mengijinkan si gadis memasuki kamar pribadi kita dan mungkin kita pun telah mulai telanjang. Bagaimana pun saat ini kita tak dapat memungkiri bahwa batas antar negara telah begitu tipisnya.
Menurut Marendra Darwis, pengasuh Cafe Curhat yaitu forum untuk anak muda dan remaja untuk saling blak-blakan dalam membicarakan masalah-masalah pribadinya, ada sebuah pameo yang mengguntur di kalangan kaum muda kita saat ini yaitu seperti:gak gaul kalo HP kita tak ada gambar pornonya, gak gaul kalo belum lihat videonya Luna-Ariel-Cut Tari dan sebagainya..