Mereka sudah tahu tentang kebiasaan masing-masing, hanya saja mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka saling menyukai.
#
Seperti pagi ini, pukul tujuh seperempat tepat waktu Burjo Kang Dadang. Burjo masih sepi.
Rumi mengucapkan salam sebelum menempati sudut favoritnya di dalam burjo. Kang Dadang secara ramah langsung menyambut salamnya, “yang biasa Mbak?”
Rumi mengangguk, “Nggih.”
Lalu prosesi rutin itu terjadi begitu saja, Rumi menyantap sarapan paginya, membayar sejumlah harga dan membereskan kunci motor, dompet dan handphonenya dari atas meja. Wajah Rumi juga nampak seperti biasa, tak ada ekspresi yang tidak biasa.
Hingga ketika Kang Dadang, memberanikan diri untuk sedikit membuka percakapan yang tidak pernah ia lakukan selama dua tahun ini kepada sebagian besar pelanggan burjonya,
"Kalau awal tahun seperti ini, apa sudah ramai pengiriman barang Mbak Rumi?"
Terkejut bukan kepalang Rumi dibuatnya, ia tak tahu Kang Dadang mengenal namanya, mereka tidak pernah secara resmi berkenalan. Cepat-cepat Rumi tundukkan wajahnya yang baru saja terangkat secara otomatis oleh ajakan bercakap-cakap dari Kang Dadang.
Berusaha sekuat tenaga menyembunyikan senyum dari wajahnya. Rumi mengumpulkan pecahan hatinya yang tiba-tiba saja meledak dan menempel di dinding-dinding ruangan tiga kali empat meter ini.
Bahkan Rumi membutuhkan beberapa detik lebih lama dari waktu normal seseorang menanggapi pertanyaan sederhana seperti itu. Dan setelah seluruh pecahan itu terkumpul kembali, Pelan-pelan Rumi menatap Kang Dadang. Dengan senyum terbaik yang pernah ia miliki seumur hidupnya Rumi lantas menjawab,