Mohon tunggu...
Thomas Utomo
Thomas Utomo Mohon Tunggu... -

Guru di SD Universitas Muhammadiyah Purwokerto. \r\nMenulis di Story, Potret, Suara Muhammadiyah, Annida, Radar Banyumas, Satelit Post, Nikah, Fatawa, dll.\r\nKontributor buku Creative Writing (STAIN Press, 2013) bersama Abdul Wachid BS, dkk.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menelusuri Lekuk Sejarah Bangsa

23 Februari 2015   15:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:40 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul:Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman

Pengarang:Afifah Afra

Penerbit:Indiva Media Kreasi

Cetakan:Pertama, Januari 2014

Tebal:367 halaman

ISBN:978-602-1614-11-2

Peresensi:Thomas Utomo, alumnus PGSD UMP

Uraian sejarah dalam buku teks atau jurnal ilmiah sering kali disampaikan dalam bahasa yang terlalu resmi dan cenderung kaku, karena berisi urutan-urutan kejadian beserta titimangsa-nya yang disambung dengan pendapat tokoh atau pakar tertentu. Akibatnya uraian sejarah dari dua jenis karya tulis tersebut kurang dapat dinikmati kalangan awam maupun kaum muda. Padahal, untuk dapat menjejak masa depan dengan lebih mantap, orang perlu menengok masa lalu untuk belajar daripadanya—bila sejarah itu baik maka dapat diteruskan atau malah dikembangkan, sebaliknya jika sejarah itu buruk maka perlu koreksi dan perbaikan.

Lalu bagaimana jika teks sejarah itu sendiri sukar dicerna atau kurang diminati, karena penyajiannya yang tidak menarik? Jawabannya adalah lewat karya sastra.

Lewat karya sastra berupa prosa—cerpen atau novel—ber-genre sejarah, orang dapat belajar menelusuri dan menghayati sejarah sesuatu kelompok masyarakat atau bangsa. Justru dengan belajar sejarah lewat sastra, orang dapat lebih mendalami sisi kemanusiaan para pelaku sejarah. Tentu saja karena karya sastra menyajikan pengalaman-pengalaman para pelaku sejarah secara lebih personal dan partikularis. Tokoh-tokoh itu bergerak, berbicara, bersenyawa dalam benak imajinasi pembaca, sehingga pembaca dapat turut merasakan, meresapi, dan bahkan berempati dengan peristiwa yang menimpa para tokoh imajinatif itu—yang sesungguhnya kalau ditelusuri jejaknya pasti ada tokoh yang serupa di alam nyata. Berbeda dengan teks sejarah yang lebih mengemukakan urutan kejadian dan cenderung mengabaikan sisi kedalaman psikologis. Tentu saja ini berkaitan erat dengan teknis penyajian.

Kaitannya dengan paparan tersebut, salah satu alternatif karya sastra yang dapat digunakan sebagai bahan untuk menelusuri serta mendalami sejarah bangsa—dalam hal ini bangsa Indonesia—adalah novel ini. Novel karya Sekjend Forum Lingkar Pena Pusat ini mengemukakan riuh rendah sejarah bangsa Indonesia sejak menjelang runtuhnya kekuasaan Hindia-Belanda, kedatangan tentara Nippon, peristiwa G30S/PKI, sampai huru-hara Mei 1998. Tokoh utamanya sendiri dua perempuan lintas generasi—lahir dan tumbuh besar di zaman yang berbeda, namun sama-sama menjadi korban politik dan kekuasaan. Tidak kurang, keduanya juga memiliki latar belakang etnis, ideologi, kelas sosial, dan kecenderungan politik yang berbeda.

Adalah Sekar Ayu Kusumastuti—sang perempuan pertama. Ia lahir menjelang masa akhir pendudukan Belanda. Orang tuanya berasal dari dua etnis yang berbeda: sang ayah dari Hadramaut, Yaman; keturunan kaum pedagang, sedang ibu asli Surakarta dan masih ber-trah ing kesumo rembesing madu—keturunan bangsawan Jawa (halaman 43). Perbedaan latar belakang itu membuat perpecahan di kalangan keluarga Sekar Ayu, karena pasangan tersebut dianggap tidak sepadan, tidak cocok bibit, bebet, dan bobot-nya.

Pada akhirnya kedua orang tua Sekar Ayu berpisah dan korban utama dari perceraian ini adalah Sekar Ayu sendiri—anak malang yang tidak mengerti duduk “persoalannya”. Beberapa tahun berselang dari waktuperpisahan orang tuanya, tentara Jepang datang menjejak tanah Jawa, menggantikan kekuasaan Belanda. Kedatangan bangsa penjajah ini menyeret Sekar Ayu dalam perbudakan syahwat bernama jugun ianfu (halaman 132, 153). Lepas dari cengkeraman bangsa kulit kuning berperawakan cebol, Sekar Ayu kembali terjerembab. Kali ini ke Kamp Plantungan, karena kedekatannya dengan anak seorang petinggi Partai Komunis Indonesia (halaman 268-280).

Perempuan kedua bernama Mei Hwa; gadis keturunan Tionghoa. Sedari kanak-kanak, Mei Hwa dididik untuk tidak bergaul dengan kaum pribumi. Ia dididik untuk mencukupkan diri bergaul dalam lingkaran etnisnya sendiri saja. Kita barangkali sudah mafhum, bahwa hubungan kaum pribumi dengan Tionghoa memang seperti seutas tali getas. Salah satu ingatan sejarah seperti geger pecinan yang menyebabkan jebolnya dinding keraton Kartasura barangkali sukar dimaafkan dan tidak dapat mengelupas begitu saja dari benak. Namun persinggungannya dengan Firdaus; seorang aktivis kampus berdarah asli pribumi, berangsur-angsur menimbulkan simpati Mei Hwa pada kaum yang sebelumnya dihindarinya setengah mati. Bentuk simpati Mei Hwa barangkali baru serupa kuncup ketika Soeharto; sang pemimpin diktator militeristik, lengser keprabon dan disusul huru-hara 1998 yang menyebabkan penjarahan dan pembakaran toko dan rumah milik kaum keturunan Tionghoa, termasuk pula keluarga Mei Hwa. Lebih dari itu harga diri Mei Hwa lahir-batin bahkan turut menjadi korban: ia diperkosa beramai-ramai oleh kawanan bengal beraut muka pribumi (halaman 62, 103, 123, 183).

Hampir sama dengan karya Afifah Afra yang lain—ialah Da Conspiraḉẫo—novel ini pun merupakan representasi pagelaran keanekaragaman dan keberbagaian penduduk dalam sebuah naungan rumah besar bernama Indonesia—dalam novel ini antara lain disajikan tokoh-tokoh keturunan asli Jawa, Sulawesi, keturunan Tionghoa, keturunan Yaman beserta persinggungan dan pergumulan keyakinan mereka.

Novel inijuga menyuguhkan kenyataan getir betapa semboyan bhineka tunggal ika (berbeda tapi bersama, berbagai-bagaai dalam kesatuan, beraneka tapi satu jua) adalah semboyan olok-olok belaka, karena perbedaan yang berada dalam naungan Indonesia justru tidak dipahami sebagai rahmat—sebagaimana firman Tuhan—namun lebih kerap menjadi pemicu sengketa dan membuat berbagai episode sejarah bangsa ini menjadi merah oleh darah.

Akhirnya, membaca novel ini adalah cara asyik dan menyenangkan untuk belajar sejarah perjalanan bangsa. Tidak hanya menghibur, segi informatif serta sisi kemanusiaan para korban dan pelaku sejarah pun dapat pembaca temukan daripadanya. Pembaca dapat turut merasakan kemudian berempati dengan perempuan-perempuan korban ketamakan politik dan kekuasaan. Lebih dari itu, pembaca dapat mensyukuri keadaan sekarang ini—yang meskipun belum stabil dan terus diisi silang-sengkarut urusan korupsi, namun tidak lebih mengerikan dari peristiwa perjalanan bangsa di masa silam yang banyak melelehkan darah, air mata, juga keringat.

Ledug, 12 Februari 2014


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun