Mohon tunggu...
Utiket Com
Utiket Com Mohon Tunggu... -

Search engine yang fokus pada maskapai penerbangan berbiaya rendah untuk menemukan tiket termurah dengan mudah, cepat dan akurat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerita di Balik Bedug Lebaran

24 Juli 2014   22:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:20 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selain ketupat, lebaran juga identik dengan bedug. Bedug sendiri adalah alat musik tradisional yang ditabuh seperti gendang. Konon alat musik ini sudah dikenal dan digunakan oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu.

Bedug biasanya terbuat dari batang kayu yang cukup besar dengan panjang sekitar satu meter atau lebih. Bahannya bisa juga menggunakan pohon enau. Bagian tengah batang akan dilubangi, sehingga bentuknya seperti sebuah tabung. Selanjutnya ujung batang akan ditutup menggunakan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran/selaput gendang. Dengan demikian suara yang dihasilkan saat ditabuh akan bernada khas, berat dan dapat terdengar hingga jauh.

Menurut cerita bedug berasal dari China dan India. Hal ini berdasarkan legenda tentang Laksamana Cheng Ho yang berasal dari China. Sekitar abad ke-15, konon Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang. Kedatangannya pun disambut baik oleh raja yang berkuasa saat itu. Menjelang kepergiannya, Laksamana Cheng Ho ingin memberikan hadiah kepada raja yang berkuasa. Namun Sang Raja rupanya hanya ingin mendengarkan suara bedug yang ditabuh dari masjid. Semenjak itulah bedug menjadi bagian dari masjid.

Bedug awalnya memang berfungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaaan maupun politik. Di Indonesia sendiri, beberapa masjid masih menggunakan bedug untuk memberitahukan waktu shalat. Meski kebanyakan penggunaannya sendiri kini sudah digantikan oleh pengeras suara. Namun beberapa masjid masih ada yang mempertahankan tradisi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun