Mohon tunggu...
Sitti Amar Azizyah Puthe Taliu
Sitti Amar Azizyah Puthe Taliu Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

welcome to my first blog!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Normalisasi Konten Dewasa di Media Digital: Perspektif Foucoult tentang Kuasa dan Diskurkus

16 Januari 2025   14:33 Diperbarui: 16 Januari 2025   14:32 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Media digital telah menjadi ruang tanpa batas yang memungkinkan berbagai bentuk ekspresi budaya, sosial, dan ekonomi berkembang pesat. Salah satu fenomena menarik yang muncul di era ini adalah normalisasi konten dewasa di platform seperti TikTok. Kasus MsBreew, seorang kreator konten yang awalnya menuai kontroversi karena pekerjaannya di dunia seks dan keputusan pribadinya, namun kini berhasil mengubah persepsi publik berkat citra "lembut" dan "manis" yang ia tampilkan, menjadi salah satu contoh nyata. Bagaimana wacana dan kuasa bekerja dalam menciptakan normalisasi seperti ini di media digital? 

Michel Foucault adalah salah satu pemikir besar yang memberikan pandangan mendalam tentang bagaimana kuasa bekerja di masyarakat. Menurut Foucault, kuasa tidak hanya muncul dari institusi formal seperti negara atau hukum, tetapi juga terbentuk melalui wacana (diskursus). Diskursus menciptakan pengetahuan yang membentuk apa yang dianggap normal atau tidak dalam masyarakat. Dalam konteks ini, media digital menjadi ruang di mana wacana-wacana baru terbentuk, berkembang, dan menyebar.

Foucault juga menekankan bahwa kuasa bersifat relasional dan selalu melibatkan negosiasi antara berbagai aktor. Media sosial, sebagai salah satu bentuk media digital, menjadi arena negosiasi kuasa yang dinamis. Wacana tentang normalisasi konten dewasa dapat dipahami sebagai hasil dari hubungan kuasa yang melibatkan individu, audiens, dan platform media itu sendiri.

Kasus MsBreew adalah contoh bagaimana diskursus dapat digunakan untuk merekonstruksi citra diri seseorang. Pada awal kemunculannya, MsBreew dikenal sebagai sosok kontroversial yang mendapatkan banyak kritik tajam karena keterlibatannya di dunia seks dan keputusannya untuk berpindah kewarganegaraan. Namun, dengan memanfaatkan media sosial seperti TikTok, ia berhasil membangun citra baru yang lebih diterima oleh publik. Citra "lembut" dan "manis" yang ia tampilkan adalah strategi yang digunakan untuk mengubah narasi tentang dirinya di mata audiens.

Dalam pandangan Foucault, MsBreew menggunakan kuasa diskursif untuk menciptakan wacana baru terkait perilaku dan pilihan hidupnya. Ia tidak hanya menjadi subjek wacana, tetapi juga produsen wacana itu sendiri. Dengan memanfaatkan algoritma TikTok yang mempromosikan konten dengan tingkat engagement tinggi, MsBreew mampu memperluas jangkauan diskursusnya. Hal ini membuat audiens yang awalnya skeptis atau mengkritik mulai menerima, bahkan mendukungnya.

Media digital, khususnya platform seperti TikTok, memainkan peran signifikan dalam membentuk dan menyebarkan wacana. Algoritma TikTok dirancang untuk mempromosikan konten yang mendapat banyak interaksi, seperti likes, komentar, dan shares. Hal ini memungkinkan wacana-wacana baru, termasuk yang kontroversial, untuk mendapatkan perhatian luas.

Namun, algoritma ini juga menjadi bentuk kuasa yang tak terlihat. Dalam pandangan Foucault, algoritma merupakan mekanisme yang mengatur apa yang dilihat dan tidak dilihat oleh pengguna. Dalam kasus MsBreew, algoritma membantu menyebarkan citra positifnya kepada audiens yang lebih luas, sekaligus memperkuat wacana normalisasi konten dewasa. Dengan kata lain, proses normalisasi ini tidak hanya bergantung pada upaya individu, tetapi juga pada struktur media digital itu sendiri.

Selain algoritma dan individu, audiens juga memainkan peran penting dalam proses normalisasi. Dalam teori Foucault, kuasa tidak pernah bersifat satu arah; ia selalu melibatkan negosiasi antara berbagai pihak. Audiens media sosial menjadi agen yang turut mereproduksi atau menantang wacana tertentu.

Dukungan audiens terhadap MsBreew dapat dilihat dari banyaknya komentar positif, likes, dan share yang diberikan pada konten-kontennya. Bentuk dukungan ini tidak hanya memperkuat citra positif MsBreew, tetapi juga mempercepat proses normalisasi konten dewasa di media sosial. Namun, penting untuk dicatat bahwa dukungan ini juga dipengaruhi oleh algoritma media sosial yang memprioritaskan konten dengan tingkat engagement tinggi tanpa mempertimbangkan dampak sosial atau moral.

Normalisasi konten dewasa melalui media digital memiliki implikasi sosial yang beragam. Di satu sisi, fenomena ini menunjukkan bahwa media digital dapat menjadi ruang inklusif yang memungkinkan individu mengekspresikan diri tanpa takut stigma sosial. Di sisi lain, normalisasi ini juga menimbulkan pertanyaan tentang batasan moral dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat.

Dalam pandangan Foucault, normalisasi adalah hasil dari hubungan kuasa yang kompleks. Dalam kasus ini, hubungan tersebut melibatkan MsBreew, audiens, algoritma media sosial, dan norma-norma sosial yang ada. Fenomena ini mengajarkan kita bahwa media digital tidak hanya mencerminkan masyarakat, tetapi juga membentuk dan mengubah norma-norma sosial itu sendiri.

Kesimpulan

Fenomena normalisasi konten dewasa di media sosial, seperti yang terlihat dalam kasus MsBreew, dapat dipahami melalui perspektif teori kuasa dan diskursus Michel Foucault. Media sosial bukan hanya menjadi ruang ekspresi individu, tetapi juga arena di mana batas-batas norma sosial terus dinegosiasikan. Melalui diskursus yang ia ciptakan, MsBreew berhasil mengubah citra dirinya dan membentuk wacana baru tentang normalisasi konten dewasa.

Namun, proses ini tidak terlepas dari peran algoritma media sosial dan audiens yang turut mereproduksi wacana tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kuasa dalam media digital bersifat relasional dan melibatkan berbagai aktor. Sebagai pengguna media sosial, penting bagi kita untuk menyadari bagaimana wacana terbentuk dan bagaimana kita berkontribusi dalam proses tersebut. Dengan kesadaran ini, kita dapat menjadi agen yang lebih kritis dalam menavigasi kuasa dan diskursus di era digital.

Media digital, meskipun memberikan kebebasan ekspresi, juga membawa tanggung jawab besar dalam membentuk norma-norma sosial. Fenomena seperti normalisasi konten dewasa adalah pengingat bahwa setiap interaksi kita di media sosial memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada yang terlihat di permukaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun