"Memang boleh jualan di pinggir rel?"
Saya tersenyum, tentu saja hal itu berbahaya dan sudah tidak lagi dilakukan. Tetapi keadaan dulu berbeda dengan sekarang. Dulu area sekitar stasiun belum steril. Akibatnya penjual bisa berjualan seperti tidak takut bahaya. Bukan itu saja, rumah-rumah liar juga bisa berdiri di samping rel. Tetapi itu dulu. Saya senang keadaan sudah berubah menjadi lebih aman dan tertata.
Benar saja, tidak ada lagi pasar di dekat rel kereta. Stasiun Duri pun terlihat terang dan rapih. Sambil bergandengan tangan, kami berjalan untuk pindah ke peron sebelah. Peron tempat commuter line menuju Kota Tangerang.
Lagi-lagi commuter line terlihat lengang. Dari dalam gerbong saya memerhatikan keadaan di luar. Langit yang terang, tembok-tembok rumah, dan orang yang mulai beraktivitas. Commuter line terus berjalan, berhenti di stasiun Grogol, Taman Kota, dan akhirnya Stasiun Tangerang.
Ternyata pintu keluar penumpang ada di ujung peron. Saya terus mengamati keadaan sekitar, mencari tanda arah menuju Pasar Lama. Tentu saja tidak ada, jadi bertanya saja pada petugasnya. "Ibu jalan saja ke arah kiri sampai bertemu masjid lalu berbelok ke kiri," jawab laki-laki berseragam kuning pucat dan celana cokelat dengan ramah.
Tidak sampai 10 menit saya sudah sampai di Pasar Lama Tangerang. Saya membuka telepon gengam untuk memeriksa pesan dari teman. Sayangnya belum ada. Jadi lebih baik saya memberitahu keberadaan saya dan menetapkan tempat pertemuan saja. "Nanti ketemu di depan Klenteng saja ya."
Klenteng Boen Tek Bio
Suasana Pasar Lama Tangerang sudah ramai. Banyak pedagang makanan di tepi jalan. Sebenarnya ingin sekali mampir, tetapi takut juga ketinggalan acara Thudong. Antara ingat dan lupa, saya menuntun si bungsu untuk berjalan. Sebenarnya bisa saja membuka peta, tapi kok malas.
Saya yakin dapat menemukan Klenteng karena sudah pernah berkunjung ke tempat ibadah ini sekitar 15 tahun lalu. Keadaan memang sudah berubah, beberapa bangunan juga sudah direnovasi, namun saya berhasil menemukan bangunan bercat merah setelah memasuki sebuah gang.
Jalan yang tidak terlalu besar itu dipenuhi pedagang. Waktu melihat pedagang asinan, saya tahu, saya memasuki gang yang benar. Dan, di sinilah kami berdiri, di depan bangunan bersejarah bercat merah dengan tiang-tiang besar dan atap pelana.