Setiap orang memiliki emosi, dimulai sejak seseorang dilahirkan hingga maut menjemput.Â
Dalam tumbuh kembang anak, mereka akan menjalani berbagai fase pertumbuhan. Dari segi fisik tentu akan mudah dikenali. Badan yang bertambah tinggi, gigi yang tumbuh dan bertambah, kata-kata yang diucapkan, hingga kemampuannya dalam belajar. Namun ada hal lain yang juga bertumbuh yaitu emosi.
Perkembangan emosi tersebut memang tidak terlihat nyata namun dapat dirasakan. Umumnya emosi kemarahan dan kekesalan akan mudah dikenali karena anak mengekspesikannya dengan menangis atau berteriak. Begitu juga dengan rasa gembira yang diungkapkan dengan cara melompat-lompat atau berseru kegirangan.
Ungkapan emosi tersebut mulai terlihat ketika anak berusia 2 atau 3 tahun. Saat itu untuk meluapkan emosi, anak-anak banyak mengungkapkannya dengan menangis. Tangisan tersebut juga dapat mencerminkan rasa kehilangan akan sesuatu. Tetapi derai air mata atau sikap tantrum anak kerap disikapi oleh orang dewasa dengan biasa saja. Bahkan tidak jarang orang dewasa melarang anak-anak mengeluarkan emosinya.
Emosi Itu Penting
Tanpa kita sadari melarang anak mengekspresikan emosi dapat berakibat pada perkembangan mentalnya. Sepanjang kehidupan kita, emosi memegang peranan penting agar kita dapat merespon sesuatu kejadian yang terjadi di kehidupan. Emosi tersebut mencakup perasaan senang, sedih, takut, marah, bahagia, terkejut, dan rasa kehilangan.Â
Menjadi sesuatu yang penting bagi anak untuk mengenal emosi agar anak dapat emosi yang stabil dan terkendali. Emosi yang baik membantu anak dalam beradaptasi dan berprestasi.
Sebagai orang dewasa, kita mungkin tidak menyadari bahwa anak menyimpan sebuah kenangan hingga dewasa. Untuk kenangan manis tentu bisa menghadirkan rasa bahagia dan semangat. Sebaliknya kenangan yang membuat emosi anak sedih atau buruk bisa memberi rasa takut.
Hal ini yang diungkapkan oleh Dhani dalam buku Ke mana Rambut Ibu. Perempuan berkacamata ini menyimpaan kenangan yang membuatnya sedih saat mengetahui Ibu menderita penyakit kanker. Dhani kecil tidak memahami seberapa serius penyakit yang diidap Ibu. Ia hanya tahu kalau rambut Ibu semakin hari semakin tipis, dan akhirnya rambut itu hilang.Â
Dhani melihat perubahan kondisi Ibu hingga akhirnya pergi meninggalkannya. Saat itu ia tidak bisa mengungkapkan emosi dengan baik. Namun ingatannya merekam seluruh kejadian dengan kuat.
Selama bertahun-tahun Dhani memendam emosi kehilangan yang tidak dapat diungkapkan. Meski sehari-hari ia terlihat biasa saja, namun dalam ingatannya tidak demikian. Dhani tumbuh besar dengan perasaan sedih dan kehilangan.
Bertahun-tahun kemudian, Dhani mencoba mengeluarkan perasaan kehilangan itu dengan membuat sebuah buku. Buku berjudul Ke mana Rambut Ibu secara tidak langsung mengenalkan anak-anak pada emosi kehilangan. Tidak apa-apa menangis karena sedih. Tidak apa-apa bertanya apa yang terjadi. Tidak apa-apa terdiam untuk mengambil jeda.Â
Dhani berharap dengan membaca buku ini, orang dewasa dapat membantu anak-anak ketika menjalani masa-masa kehilangan. Dukungan dari keluarga dan teman-teman dapat membantu anak untuk kembali memahami emosi dan menjalani hari-harinya dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H