Mohon tunggu...
Utari ninghadiyati
Utari ninghadiyati Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger, kompasianer, penggiat budaya

Menjalani tugas sebagai penggiat budaya memberi kesempatan untuk belajar berbagai budaya, tradisi, seni, dan kearifan lokal masyarakat. Ragam cerita ini menjadi sumber untuk belajar menulis yang dituangkan di kompasiana dan blog www.utarininghadiyati.com

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Mengemas Kisah Sultan Ageng Tirtayasa Menjadi Lebih Menarik

28 Juli 2024   20:33 Diperbarui: 28 Juli 2024   20:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana jika sebuah kisah yang tertulis dalam sebuah buku ditampilkan dengan cara yang berbeda? Terobosan inilah yang dilakukan saat memperlihatkan kisah Sultan Ageng Tirtayasa dalam panggung terbuka di FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang.

Malam semakin gelap. Langit terlihat berhias awan yang berarak. Azan Isya telah usai dikumandangkan. Satu persatu kendaraan mulai memenuhi pelataran parkir. Sambil berbincang, anak-anak muda itu masuk ke area pertunjukkan. Mereka lalu memilih tempat yang menurutnya nyaman. Duduk bersila, bertukar tawa, sembari menunggu pertunjukan dimulai.

Mereka tidak datang untuk melihat permainan musik. Meski terdengar jelas suara musik dangdut dari tembok sebelah. Alunan nan mendayu itu “dipaksa” berdampingan dengan rancaknya suara gamelan yang dimainkan sekelompok orang. Meski berbeda genre, tidak ada nada protes. Ruang udara memang milik semua orang. Nikmati saja kolaborasi tak biasa ini dengan santai.

Seperti penonton lain, saya juga tidak sabar menantikan petunjukkan istimewa ini. Malam ini untuk pertama kalinya Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 8 memperlihatkan hasil lokakarya pedalangan berjudul Sultan Ageng Tirtayasa di Kota Serang. Kegiatan lokakarya tersebut dilakukan di Pandeglang, sebuah kabupaten yang letaknya tidak jauh dari Kota Serang.

Lokakarya yang diikuti oleh sejumlah talenta terpilih berlangsung selama beberapa hari. Mereka menggodok diri untuk dapat menampilkan kisah dengan cara yang menarik. Kearifan lokal tentu saja menjadi kekuatan utama. Maka dipilihlah cara penyajian cerita seperti wayang orang namun juga mengadaptasi kehadiran dalang. Dalang akan membuka dan menarasikan cerita agar penonton dapat mengikuti pertunjukan dengan baik.

Saya sangat tidak sabar ingin melihat seperti apa pertunjukan ini dimainkan, maka ketika lampu panggung dipadamkan, saya memilih menghentikan obrolan.

Sekejap kemudian lampu panggung menyala. Seorang laki-laki dengan blankon tampak menyapu panggung. Tak lama kemudian seorang laki-laki berjaket hitam masuk dan bertanya tentang orang yang mengetahui kisah Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan ramah laki-laki yang tengah menyapu mengatakan bahwa dia dapat menuturkan cerita itu. Lampu kembali padam.

Tiba-tiba lampu menyala, laki-laki dengan blankon berdiri sambil memegang sebuah gunungan. Dialah dalang yang akan menuturkan cerita. Suara lantang dan hentakan kaki serta gerakan tangan yang menyentak-entak gunungan membuka cerita. Dahulu di tanah Banten, Kesultanan Banten sangat masyur. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil memimpin wilayahnya dengan baik. Hasil bumi berupa rempah-rempah menarik pembeli dari berbagai belahan dunia.

Hentakan kaki seakan memberi kode bagi para pemain untuk memainkan perannya. Beberapa pemain masuk ke panggung. Mereka membawa wadah-wadah berisi lada untuk dijual. Kehidupan saat itu tampak sangat menyenangkan. Pelabuhan terlihat hidup dengan kedatangan para pembeli rempah-rempah. Perdagangan membuat Kesultanan Banten hidup dan berkembang.

Sebagai pemimpin, Sultan Ageng Tirtayasa merasa gembira dan bersyukur. Tetapi tidak dengan Sultan Haji, anak Sultan Ageng Tirtayasa, yang menyimpan ambisi menjadi pemimpin kesultanan.

Hasrat untuk meraih lebih banyak keuntungan membuat Sultan Haji ingin bekerja sama dengan VOC. Jelas saja Sultan Ageng Tirtayasa menolak dengan keras. Baginya kehadiran VOC dapat membatasi kegiatan perdagangan. Bukan tidak mungkin akan terjadi monopoli dagang. Hal ini tentu akan merugikan Kesultanan Banten.

Perbedaan pendapat membuat Sultan Haji tidak puas. Merasa tidak mendapat dukungan, Sultan Haji kemudian secara diam-diam mengadakan pertemuan dengan perwakilan VOC. Tanpa ragu ia menyampaikan permintaannya agar VOC membantunya mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai imbalan, VOC diberi hak khusus dalam perdagangan rempah-rempah. VOC menyambut terbuka dan menyetujui untuk membantu Sultan Haji. Kesepakatan terjadi.

Lampu-lampu di panggung meredup saat kehidupan di wilayah Kesultanan Banten berubah. Perdagangan masih berjalan, tetapi sudah tidak seperti biasa. Pajak yang tinggi membuat para pembeli kesulitan untuk melakukan pembelian. Masyarakat pun tidak leluasa menjual hasil kebunnya karena aturan yang berlaku. Perekonomian menjadi lesu.

Sultan Ageng Tirtaya berupaya untuk menyadarkan Sultan Haji agar menghentikan Kerjasama yang sudah dibuat. Tetapi, saran itu tidak mendapt tanggapan. Sultan Haji bahkan meminta Sultan Ageng Tirtayasa agar menyerahkan tahta. Dia akan menggantikan ayahnya.

Perseteruan terjadi. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat dukungan dari rakyat, sementara Sultan Haji bersama dengan VOC. Peperangan tidak dapat dielakkan. Kekuatan senjata VOC mampu memukul mundur para pendukung Sultan Ageng Tirtayasa.

VOC bahkan berhasil menangkap Sultan Ageng Tirtayasa. Pertemuan ayah dan anak pun terjadi sebelum akhirnya VOC membawa Sultan Ageng Tirtayasa ke Batavia. Kepergian Sultan Ageng Tirtayasa menyebabkan kejayaan Kesultanan Banten meredup. Cahaya itu semakin lama semakin lemah dan akhirnya padam.

Lampu pangung yang padam seakan menggambarkan hal tersebut. Lampu kembali menyala saat dalang masuk sembari membawa gunungan. Dengan suara lantang, dalang menceritakan akhir kisah perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa yang berakhir dengan tragis. Pemimpin kesultanan itu harus pergi dari wilayahnya secara paksa. Kesultanan Banten pun berakhir.

Lampu-lampu kembali meredup. Menandakan pertunjukan telah berakhir. Saya dan para penonton seakan tersadar bahwa kisah itu telah usai. Tepuk tangan pun bergemuruh saat satu persatu pemain dan pendukung serta sutradara pertunjukan tampil di atas panggung.

Malam itu saya melihat sebuah cara mengemas sebuah kisah yang baru. Paduan antara untur tradisional dan kekinian mampu menarik perhatian banyak orang, termasuk generasi muda. Terobosan-terobosan ini menjadi salah satu cara untuk mempertahankan beragam kisah yang ada dan mengenalkannya ke khalayak ramai. Dengan demikian kisah-kisah ini tidak akan hilang dari ingatan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun