Mohon tunggu...
Utari ninghadiyati
Utari ninghadiyati Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger, kompasianer, penggiat budaya

Menjalani tugas sebagai penggiat budaya memberi kesempatan untuk belajar berbagai budaya, tradisi, seni, dan kearifan lokal masyarakat. Ragam cerita ini menjadi sumber untuk belajar menulis yang dituangkan di kompasiana dan blog www.utarininghadiyati.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mendamba Ruang Kerja Bersama, Adakah yang Sama?

23 Juni 2024   19:41 Diperbarui: 23 Juni 2024   20:16 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peralatan kerja yang setia menemani (dok. Pribadi)

Keterbatasan ruang kerja membuat suasana kerja menjadi tidak nyaman. Mencoba untuk bekerja di tempat lain berarti harus siap dengan pengeluaran tambahan. Andaikan ada ruang kerja bersama yang dapat diakses dengan mudah dan gratis tentu sangat menyenangkan. Tidak ada lagi kata mendamba ruang kerja bersama, berganti menjadi ruang kerja dambaan semua orang. Adakah yang sama?

Pintu kaca itu terbuka separuh, dari balik pintu saya dapat melihat lalu lalang kendaraan dengan leluasa. Mata memang melihat keluar, namun pikiran di kepala dipenuhi berbagai laporan pekerjaan. Seharusnya seluruh rangkaian kata-kata itu bisa terangkai jelas di layar laptop, namun keadaan tidak memungkinkan.

Ruang kerja yang ada tidak dapat menampung semua staf yang berkejaran membuat laporan. Di meja yang ada di dalam ruangan, empat orang duduk berderet di depan dua meja yang seharusnya untuk satu orang. Keadaan yang sama terlihat di seberang meja. 

Bagi staf yang membawa laptop akhirnya memilih bekerja di lantai dua. Memakai kotak berisi berkas laporan sebagai pengganti meja. Lainnya terpaksa bekerja dengan menunduk karena tak ada lagi kotak yang bisa dijadikan meja.

Semula saya mencoba bekerja di depan. Tidak jauh dari pintu kaca yang terbuka. Tetapi ternyata hal itu bukan pilihan tepat. Bukan kendaraan yang mengalihkan perhatian, tapi rasa cemas jika laptop dipangkuan tersenggol orang yang berjalan.

Ah, andaikan ada tempat yang bisa saya datangi untuk bekerja, tentu cerita akan berbeda. Keadaan ini membuat saya berselancar, mencari tempat-tempat yang bisa dipergunakan untuk bekerja. Target utama adalah perpustakaan. 

Dulu, ketika masih bekerja di kota lain, saya terbiasa bekerja di perpustakaan milik pemerintah kota. Suasananya tenang, adem berkat penyejuk udara yang bekerja dengan baik, layanan internetnya baik dan dapat diakses dengan gratis, dan berbagai buku untuk referensi bisa diambil dengan mudah.

Belakangan, perpustakaan kota menangkap adanya kebutuhan ruang kerja bersama bagi para pekerja seperti saya. Sebuah ruang besar yang bersih, terang, lengkap dengan jaringan internet gratis, dan kopi serta teh (harus beli dengan harga bersahabat). Maka, ruang kosong yang berada di antara ruang baca utama dan ruang baca anak diubah menjadi ruang kerja bersama dengan embel-embel coffee shop. 

Sayangnya, ketika ruang tersebut diresmikan, saya tidak bisa mencoba karena berpindah tugas. Di sini, saya belum menemukan tempat serupa. 

Saya memang tidak boleh mengeluh. Apalagi menunda pekerjaan dengan alasan kenyamanan kerja. Pekerjaan tetap terselesaikan dengan mengerjakannya di tempat kos. 

Tidak usah ditebak, tentu saja waktu istirahat berkurang. Imbasnya, bisa memengaruhi produktifitas bekerja. Apalagi kalau pekerjaan harus diselesaikan hingga jauh malam. Waktu azan subuh berkumandang, rasanya mata ini malas untuk terbuka. Ingin tetap tertutup dan berkelana di alam mimpi.

Mungkin teman-teman bertanya, "mengapa tidak lagi mencari perpustakaan seperti yang sudah-sudah?"

Saya sudah melakukannya. Sayang, letak perpustakaan itu cukup jauh sehingga saya kerepotan jika sewaktu-waktu harus kembali ke kantor yang berada di tengah kota. Area sekitar perpustakaan pun tak banyak penjual makanan. Sementara membawa bekal ke dalam akan menganggu kenyamanan.

Seandainya pemerintah kota menyediakan sebuah ruang kerja bersama yang berada di tengah kota, akan sangat membantu saya dan teman-teman pekerja lain yang mengalami kendala saat bekerja. Mungkin lokasinya bisa di kantor dinas komunikasi yang berkaitan erat dengan jaringan internet. Bisa juga di mal pelayanan atau memanfaatkan aset daerah berupa rumah kuno yang masih terawat. Kalau poin terakhir malah sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Menjaga aset cagar budaya sembari merawat dan memanfaatkannya.

Memang, kemungkinan dapat terjadi penyalahgunaan terhadap ruang kerja bersama. Oleh karena itu keberadaannya perlu dibarengi dengan sejumlah aturan yang jelas. Apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di ruang kerja bersama. Apakah perlu dibuat kartu anggota untuk memudahkan pemantauan. 

Jika menyediakan makanan dan minuman, dapatlah dijual dengan harga terjangkau. Saya tidak akan keberatan menyeruput segelas kopi susu atau teh manis hangat sambil mengerjakan laporan. Perut tetap terisi dan laporan pekerjaan tak tertunda lagi. Waktu istirahat pun bisa benar-benar digunakan untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Saya benar-benar mendamba ruang kerja bersama, adakah yang sama?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun