MEnjalani tugas sebagai penggiat budaya membuat saya selalu bersentuhan dengan beragam kegiatan seni budaya dan para pelaku budaya di Kota Banjarbaru.
Hampir setiap hari saya bertemu dengan anggota kelompok seni budaya. Tentu saja kelompok berbeda-beda. Ada saja yang diobrolkan, tentang rencana pembuatan kreasi baru atau sekadar membahas rencana pertunjukkan.
Pada bulan Agustus ini yang masih berkaitan dengan bulan suro, hampir setiap hari kelompok seni budaya, khususnya kuda lumping tampil. Mereka mengadakan pertunjukan di berbagai tempat. Ada juga kelompok reog ponorogo yang menggelar gerebeg suro.
Melihat aktivitas mereka yang semakin padat, tentu saya gembira karena geliat kesenian dan budaya di Kota Banjarbaru semakin dinamis. Berbeda jauh dengan kondisi saat pandemi kemarin.
Mungkin itu juga yang mereka syukuri, bahwa saat ini masih diberi kesehatan dan kesempatan menghibur masyarakat.
Beberapa kelompok seni budaya bahkan masih tampil di penghujung bulan suro. Kebetulan momennya pas dengan peringatan 17 Agustus.Â
Momen ini juga dimanfaatkan oleh kelompok kuda lumping New Budoyo Mudo yang tampil di sebuah tanah lapang dekat sebuah sekolah kejuruan.
Tepat jam 10.00 Wita gamelan ditabuh. Tak lama setelah Walikota Banjarbaru, Bapak Aditya datang.Â
Meski terbilang masih pagi, namun sinar matahari sudah terasa menyengat kulit. Musim kemarau memang membuat hari terlihat lebih cerah dan terang.
Beruntung ada tenda untuk melindungi penonton yang ingin melihat kekompakan para anak wayang.Â
Bersama sejumlah anak-anak dan tiga orang ibu, saya menyaksikan pagelaran kuda lumping dari bawah tenda. Anak-anak terlihat antusias. Mereka duduk di tanah sembari mengikuti gerakan para penari.
Saya sendiri berdiri di belakang anak-anak. Tak sadar kalau ada seorang ibu berdiri tepat di samping saya. Pandangan saya fokus ke hp dan mengisi sejumlah data terkait penampilan kuda lumping ini. Saya nonton sambil kerja.
Tiba-tiba, ibu di belakang saya berkata kalau di Palu, daerah asalnya ada pertunjukan serupa. Sebenarnya dia takut karena kuda lumping di tempatnya saat tak sadar akan berlari mengejar penonton. Itu sebabnya dia memilih berdiri di belakang saya.
Untunglah kuda lumping di sini berbeda. Para anak wayang memang ada yang tak sadar tetapi mereka tidak berlari mengejar. Anak wayang akan mendatangi pawang dan meminta sesuatu. Setelah itu mereka akan menari.
Benar saja, tak lama kemudian suara gamelan semakin kencang. Iramanya cepat dan terdengar ritmik. Sekejap kemudian dua anak wayang terjatuh.Â
Tubuhnya kaku, wajahnya menghadap ke tanah. Seorang pawang menghampiri. Mulutnya merapalkan doa yang tak terdengar. Hanya gerakan mulut yang terlihat.Â
Sejurus kemudian, tangannya menyaou dan menekan titik-titik di tangan, kaki, dan badan anak wayang yang masih tergeletak di tanah.Â
Seketika tubuh itu melemas dan duduk. Wajahnya sudah berbeda. Tanggannya lalu bergerak ke atas seakan berdoa. Dua batang dupa menyala segera diberikan.
Sembari menggigit dupa, anak wayang itu berdiri lalu menari. Gerakannya gagah dan bertenaga. Semua yang melihat terpukau.
Tak lama, seorang pria yang duduk di tenda tamu berdiri. Dia ikut menari bersama anak wayang.
Seketika itu juga pawang dan sesepuh kelompok kuda lumping bergerak memberikan selendang pada tamu undangan. Adegan ini baru saya dapati kali ini. Otomatis saya mendekat ke depan panggung.
Tak lama kemudian, Walikota Banjarbaru turun. Di bahunya tersampir selembar selendang. Wajahnya terlihat kebingungan. Rupanya Walikota belum pernah beksa.Â
Tetapi bukankah selalu ada pengalaman pertama. Bisa saja ini pengalaman pertama Walikota ikut beksa. Soal gerakan, cukuplah menggerakkan tangan serta melangkahkan kaki.Â
Tentu saja gerakannya tak seluwes bapak yang pertama ikut menari, namun patut diapresiasi. Saya senang melihat momen ini. Keikutsertaan pemimpin kota menari akan sangat mendorong semangat para pelaku seni budaya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H