Bersama sejumlah anak-anak dan tiga orang ibu, saya menyaksikan pagelaran kuda lumping dari bawah tenda. Anak-anak terlihat antusias. Mereka duduk di tanah sembari mengikuti gerakan para penari.
Saya sendiri berdiri di belakang anak-anak. Tak sadar kalau ada seorang ibu berdiri tepat di samping saya. Pandangan saya fokus ke hp dan mengisi sejumlah data terkait penampilan kuda lumping ini. Saya nonton sambil kerja.
Tiba-tiba, ibu di belakang saya berkata kalau di Palu, daerah asalnya ada pertunjukan serupa. Sebenarnya dia takut karena kuda lumping di tempatnya saat tak sadar akan berlari mengejar penonton. Itu sebabnya dia memilih berdiri di belakang saya.
Untunglah kuda lumping di sini berbeda. Para anak wayang memang ada yang tak sadar tetapi mereka tidak berlari mengejar. Anak wayang akan mendatangi pawang dan meminta sesuatu. Setelah itu mereka akan menari.
Benar saja, tak lama kemudian suara gamelan semakin kencang. Iramanya cepat dan terdengar ritmik. Sekejap kemudian dua anak wayang terjatuh.Â
Tubuhnya kaku, wajahnya menghadap ke tanah. Seorang pawang menghampiri. Mulutnya merapalkan doa yang tak terdengar. Hanya gerakan mulut yang terlihat.Â
Sejurus kemudian, tangannya menyaou dan menekan titik-titik di tangan, kaki, dan badan anak wayang yang masih tergeletak di tanah.Â
Seketika tubuh itu melemas dan duduk. Wajahnya sudah berbeda. Tanggannya lalu bergerak ke atas seakan berdoa. Dua batang dupa menyala segera diberikan.
Sembari menggigit dupa, anak wayang itu berdiri lalu menari. Gerakannya gagah dan bertenaga. Semua yang melihat terpukau.
Tak lama, seorang pria yang duduk di tenda tamu berdiri. Dia ikut menari bersama anak wayang.
Seketika itu juga pawang dan sesepuh kelompok kuda lumping bergerak memberikan selendang pada tamu undangan. Adegan ini baru saya dapati kali ini. Otomatis saya mendekat ke depan panggung.