Pesanan yang tertulis pada kertas lalu saya serahkan pada pelayan. Tak lama, segelas teh hangat datang. Di susul oleh semangkuk bakso polos.
Begitu disajikan, saya memerhatikan tampilan makanan favorit banyak orang. Sederhana saja. Kuah bening dengan taburan bawang putih goreng serta beberapa butir bakso dan sawi hijau.
Oh, iya. Pelayang juga menaruh sebuah wadah kota berwarna merah yang terisi perasan atau air dari jeruk. Ada serat-serat jeruk atau mungkin parutan sesuatu. Kenapa sih saya lupa menanyakan? Apa karena sudah tidak sabar buat menikmati bakso sapi?
Sebelum semakin penasaran, sebaiknya saya mencicipi kuah bening yang suhunya tidak terlalu panas. Hmm, kuahnya ringan. Tanpa ada rasa penyedap rasa yang berlebihan. Tidak juga terlalu makhteh karena lemak. Bening dan segar.
Baru setelah mengetahui rasa kuah, barukah saya tambahkan perasan jeruk. Ternyata rasanya semakin kuat. Enak.
Waktu mencicipi rasa kuah, saya teringat pada penjual bakso. Semua penjual bakso, kecuali yang keliling, pasti menyediakan irisan jeruk yang ditaruh di meja. Rasa asam tersebut mampu menambah rasa gurih makanan.
Saya jadi terpikat pada rasa kuah bakso yang nikmat. Bagaimana rasa balsonya? Apakah sesuai dengan keinginan saya?
Tak mau menduga, saya mulai menyantap sebutir bakso. Ukurannya pas, tidak terlalu besar atau kecil. Sedang saja. Namun rasa daging sapinya, benar-benar terasa. Ini dia bakso sapi sebenarnya, desis saya.
Saya langsung jatuh cinta. Acara makan bakso menjadi berbeda, tidak lagi burur-buru tetapi lebih dinikmati. Pelan-pelan agar seluruh rongga mulut bisa mrbikmati sensasi yang didmsajikan bakso sapi.
Berhenti sebentar untuk membilas rongga mulut dengan air teh. Lalu memulai kembali menyantap dan menikmati bakso.
Tidak terasa lebih dari 30 menit saya menikmati kelezatan  makanan dari daging ini. Dalam hati saya berujar, akhirnya menemukan penjual bakso yang sebenarnya.Â