Ketika mulai bermukim di Kalimantan Selatan, saya menyadari bahwa wisata religi memiliki tempat yang istimewa di hati masyarakatnya.Â
Berangkat dari hal tersebut serta rasa penasaran untuk melihat keindahan arsitektur masjid kuno, saya mulai melakukan perjalanan. Dimulai dari Masjid Sultan Suriansyah di Banjarmasin.
Kedatangan saya ke masjid ini bisa dikatakan tanpa sengaja. Berawal dari informasi seputar acara baayun maukid yang diadakan di pelataran masjid.Â
Dari situ saya memutuskan untuk melihat lebih dalam keindahan salah satu masjid tertua di bumi banua.
Ketika menginjakkan kaki, lantai kayu ulin serta ukiran di pintu terlihat jelas. Bentuk ukiran bunga terlihat dominan.Â
Oleh petugas, saya di undang masuk ke dalam. Duduk di bawah empat soko guru berukir bunga dan sulur membuat saya leluasa mengamati hiasan dari kaca di bagian atap.
Namun yang istimewa rupanya tak hanya itu, tapi bentuk pintu yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa dibula tutup tanpa menggunakan engsel.
Beberapa waktu kemudian, saya mendatangi masjid tua Al-Mukaramah di Banua Halat, Tapin Kabupaten Rantau.
Masjid ini tak kalah tuanya dan masih berhubungan dengan masjid Suktan Suriansyah. Sama-sama menjadi tempat penyelenggaraan acara baayun maulid.
Untuk saya masjid ini memiliki keistimewaan tersendiri meski ukurannya tidak sebesar Masjid Sultan Suriansyah.
Tetapi menurut warga dan penggurus masjid, masjid ini dibangun oleh datuk Ujung. Ada kisah yang terjaga hingga kini perihal proses pembuatan masjid yaitu kesaktian sang Datuk yang bisa berlayar dalam waktu singkat saat mengumpulkan kayu besar untuk soko guru masjid.
Dari empat soko guru, ada sebuah tiang yang istimewa. Letaknya dekat dengan mimbar. Warna tiang tersebut lebih gelap dan ada balutan kain kuning. Tiang tersebut mengeluarkan minyak yang saat mengusapnya tidak terasa lengket.
Sementara di bagian luar ada sebuah guci untuk menyimpan air. Air dari guci ini kerap dipakai untuk acara mandi-mandi.Â
Dari tanah Rantau, saya mendatangi Masjid Jami Cempaka.
Sebenar kedatangan saya karena mencari benda cagar budaya yang ada di Kecamatan Cempaka. Kabarnya tersimpan di sebuah masjid tua. Sayang sungguh di sayang, masjid itu sudah dipugar.Â
Tidak ada lagi kayu ulin dan bentuk.khas masjid tua di tanah Kalimantan Selatan. Sudah berganti menjadi masjid besar.
Namun dua benda cagar budaya masih tersimpan dan menjadi penanda perubahan jaman. Sebuah mimbar tua yang sarat ukiran indah serta empat soko guru yang menunjang atap masjid.
Setiap soko guru berasal dari satu batang kayu ulin. Tinggi menjulang dengan warna gelap karena telah berumur.Â
Tidak banyak cerita yang bisa digali sebab minimnya informasi. Namun setidaknya masih ada upaya menjaga benda cagar budaya.
Berganti waktu saya menyambangi masjid 99 menara di Makassar.
Waktu itu saya mendapat tugas ke Makassar. Sebenarnya waktu untuk mengeksplorasi kota sangat terbatas, Â namun saya menyempatkan diri mengunjungi masjid 99 menara di pagi hari.
Dari kejauhan masjid ini terlihat berbeda dengan masjid umumnya. Bagian atapnya seperti bertumpuk dan dicat dengan warna terang.
Ketika memasuki bagian dalam yang belum seluruhnya dibangun, keindahannya semakin terlihat. Paduan warna cat biru dengan putih sungguh menenangkan. Ada kesan moden sekaligus religius yang saya rasakan.
Berlanjut ke Masjid Istiqlal yang saya datangi tahun ini.
Lucu, saya baru mengunjungi masjid ini justru setelah saya tidak bermukom di Jakarta. Namun begitulah hidup, selalu ada cerita.
Bertahun-tahun lalu saya kerap melewati masjid ini tanpa sempat masuk ke dalamnya. Tapi pagi itu, setelah hujan reda, saya berada di sana.Â
Terdiam menyaksikan kemegahan pilar-pilar penyangga atap. Merasakan kelembutan karpet merah yang terhampar. Sebuah perjalanan yang sama sekali tak pernah terencana justru mendekatkan saya akan kekaguman akan keindahan arsitektur masjid di Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H