Selepas ashar. Jalan mulai ramai. Kebanyakan kendaraan roda dua berjalan ke tengah kota. Tempat dimana keramaian berada. Sementara saya justru melaju ke batas kota.Â
Kecepatan lumayan karena ingin menepati janji dengan kelompok kuda lumping yang tengah menggadakan pertunjukkan.Â
Hanya bermodal informasi 200 meter dari sanggar. Tanpa keterangan acara atau kegiatan apa. Sudah cukup membuat saya mengaktifkan mode pencarian.Â
Artinya setelah sanggar bersiap pasang mata agar bisa mengamati kalau-kalau ada keramaian. Ternyata mode pencarian tak terpakai lama. Sebuah papan sederhana bertuliskan nama kelompok kuda lumping yang ditaruh ditepi jalan menjadi petunjuk tempat pertunjukkan.Â
Melewati sekelompok anak muda yang mengarahkan jalan, lalu sekelompok ibu-ibu yang membagikan tanda parkir berbayar, saya masuk ke area pertunjukkan yang berada di dekat perkebunan karet.Â
Area parkir dadakan berada di seberang tempat pertunjukkan. Suara gamelan jelas terdengar dari sana. Bunyinya gegap gempita, mengundang semakin banyak penonton mendekat ke batas area yang berpagar bambu.Â
Hanya terlihat orang-orang, tua muda saja. Saya tak bisa melihat pertunjukkan. Mau tak mau mencari jalan masuk langsung ke dalam arena pertunjukkan. Dan saya pun ada di sana.Â
Tepat di dalam arena bersama para pemain. Bagaimana rasanya? Awalnya tenang karena belum ada permainan yang bikin deg-degan. Pemain masih menari mengikuti irama.Â
Namun, seorang biyung berbisik, sebentar lagi akan tampil tari leak, tarian baru hasil kolaborasi tari bantengan. Saya diam. Berarti harus menyiapkan diri.Â
Benar saja tak lama dua orang biyung berdiri di depan pintu keluar pemain. Mereka memegang gelas berisi bunga. Di kantung celana tersimpan hio. Keduanya tersenyum.Â
Tak lama musik ditabuh semakin kencang. Asap mengepul dari dekat pintu. Menutupi seorang pemain leak yang berdiri tegak. Seluruh tubuhnya tertutup kostum leak.Â
Tangan membuka dengan kuku-kuku panjang. Perlahan dia berjalan menuju arena. Bunga-bunga ditabur. Beberapa tersangkut dihelai-helai panjang kostumnya.Â
Dia terus berjalan sembari menari. Gerakannya sedikit kaku namun terasa ekspresif. Tak lama berselang beberapa pemain bantengan, harimau, dan singa mulai mendekati.Â
Sesekali suara pecut menggelegar. Satu dua pemain bergulingan di atas tanah bertabur sekam. Suasana semakin panas saat pemain bantengan mulai trance dan bergerak liar.Â
Para biyung bergerak cepat menangkap bantengan sebelum mendekati pagar pembatas. Saya hanya menarik napas. Berada begitu dekat dengan para pemain yang tengah trance sungguh menguji keberanian.Â
Saya belum pernah sedekat ini. Mereka ada dihadapan saya dan bisa sewaktu-waktu berlari ke arah saya.Â
Benarkan, seorang harimau mendekat. Tapi dua langkah dari hadapan berbelok ke arah sinden. Memberi kode agar menyanyikan sebuah lagu. Lalu asyik berjoget.Â
Pemain lain juga berjoget namun topeng yang dikenakan sudah terlepas. Dimulutnya mengigit hio atau minyak wangi. Mereka terus menari.Â
Wajah mereka tanpa ekspresi. Beberapa terlihat matanya memutih. Ada juga yang memerah. Entah sudah berapa penari yang bergerak liar.Â
Meubah diri menjadi hewan. Mengunyah apa saja yang diluar nalar. Semua ada dihadapan hingga rasa nyeri menghilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H