Pembahasan terkait senjata nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara bukanlah sebuah bahasan baru di hubungan internasional, bahasan ini sudah lama menjadi perbincangan para ahli di dunia internasional. Sejarah awal terbentuknya program nuklir yang dimiliki Korea Utara berawal pada 1956 dimana terdapat penandatanganan kerjasama penggunaan damai energi nuklir dengan Uni Soviet. Beberapa teknisi dan ilmuwan yang dimiliki oleh Korea Utara dikirimkan ke Uni Soviet untuk mengikuti program Moscow, pelatihan ini juga ditujukan untuk negara-negara komunis selain Korea Utara (Uk Heo dan Jung-Yeop Woo, 2008).
Pasca perang dingin, banyak terjadi perubahan kebijakan yang diambil oleh Korea Utara dalam merespon kejadian-kejadian di dunia internasional, hal ini juga dikarenakan digantikannya posisi Kim Il Sung dengan Kim Jong Il. Kebijakan nuklir dan pengembangan senjata militer merupakan kebijakan yang sangat diprioritaskan Korea Utara sejak masa Kim Il-sung, sehingga hal ini juga secara tidak langsung mempengaruhi kepemimpinan Kim Jong Il.Â
Dalam masa kepemimpinannya, Kim Jong Il selalu mengutamakan kekuatan-kekuatan militer, Kim Jong Il beranggapan bahwa militer adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan posisinya sebagai pemegang rezim Korea Utara pada saat itu (Wicahyani, 2010).
Bukan hanya menguntungkan dalam perpolitikan domestik negaranya, Kim Jong Il percaya bahwa senjata nuklir dapat menjadi sebuah alat untuk menarik perhatian dunia internasional. Adanya kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara ini juga menjadi alat Korea Utara dalam melawan ancaman yang berasal dari negara lain.
Kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara ini dilihat sebagai ancaman yang berbahaya untuk kestabilan keamanan wilayah dan dunia internasional, dengan begitu pada tahun 1985 Korea Utara dipaksa untuk menandatangani Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons.
Pada tahun 1994, tercapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Korea Utara agar Korea Utara menghentikan program nuklirnya dengan syarat bahwa Amerika Serikat dan negara-negara lain memberikan timbal balik yang baik bagi Korea Utara. Namun pada tahun 2003 Korea Utara menarik diri dari Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons dan kembali mengembangkan program nuklirnya (Roza, 2016).
Nuklir menjadi sebuah alat andalan yang dimiliki Korea Utara dalam melakukan diplomasi dengan negara-negara lain dalam rangka menjalin hubungan internasional. Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa nuklir menjadi alat yang paling diandalkan Korea Utara dalam mencapai kepentingannya; mempertahankan kekuasaan pada perpolitikan domestik negara, nuklir juga dijadikan sebagai senjata Korea Utara dalam mencari dan mendapatkan bantuan-bantuan ekonomi dari negara-negara lain, alasan keamanan juga menjadi faktor penting mengapa Korea Utara tetap melanjutkan pengembangan program senjata nuklir yang dimilikinya (P. & Z, 2010).
Kepemilikan senjata nuklir menjadikan Korea Utara sebagai sebuah negara yang senang memberikan ancaman kepada negara lain dalam melakukan diplomasi dan negosiasi untuk mewujudkan kepentingannya, dalam menghadapi ancaman lawannya Korea Utara selalu mempunyai cara untuk menekan lawannya dengan senjata nuklir ini.
Dominasi dan ancaman yang berasal dari Amerika Serikat adalah sebuah masa lalu yang kelam bagi Korea Utara. Perbedaan kekuatan militer yang dimiliki menjadikan Korea Utara sebisa mungkin mewaspadai ancaman dari Amerika Serikat, perbedaan yang ada memberikan tekanan yang berarti bagi Korea Utara baik dari segi politik, sosial juga ekonomi.
Kewaspadaan atas dominasi Amerika Serikat dan ingin menghilangkan trauma sejarah masa lalu lah yang sebenernya juga menjadi faktor mengapa Korea Utara begitu ambisius dalam mengembangkan program senjata nuklirnya. Selain faktor ancaman dominasi Amerika Serikat, faktor perlindungan diri dan pertimbangan keamanan nasional juga menjadi pertimbangan yang tidak kalah penting bagi Korea Utara untuk terus melanjutkan pengembangan program senjata nuklir yang dimilikinya.
Penulis menggunakan teori realisme dalam melihat peristiwa ini, kaum realisme mengatakan bahwa dalam hubungan internasional, hubungan antar negara sangatlah rentan dengan konflik (Jackson, R., &. Sorensen, 1999). Realisme juga mengatakan bahwa kepentingan dan keamanan nasional negara adalah hal pokok yang harus diutamakan (Lazuardi, n.d.).