Kendaraan yang membawaku menuju asrama mahasiswa pascasarjana meluncur di keramaian pusat kota Adelaide. Perasaan akrab tiba-tiba muncul. Tempat ini seperti tidak asing bagiku. Aku ingat saat itu sampai-sampai rasanya hatiku seolah berkata, "Aku pulang."
Saat itu di Adelaide sedang musim dingin. Menjejakkan kaki keluar Bandara Internasional Adelaide di pagi hari awal bulan Juli, untuk pertama kalinya aku bisa melihat hembusan nafas keluar dari mulut dan hidungku. Jaket tebal isi bulu angsa dan syal wol yang menyelimuti leher tidak sanggup menahan hawa dingin yang menyergap.
Kulihat hamparan hijau rumput sejauh mata memandang. Girang. Akhirnya aku sampai di tempat ini. Tempat yang, berdasarkan berbagai informasi yang berhasil kukumpulkan, suasanya seperti di pedesaan. Tenang, indah, udaranya bersih, namun lengkap dengan berbagai fasilitas selayaknya negara maju.
"Here we are. 51 Finniss Street," jelas Kim, pengemudi mobil yang menjemputku di bandara, sesaat setelah memberhentikan mobilnya. Kami tiba di depan sebuah bangunan klasik berdinding batu bata dan berpagar kayu, di jalan lingkungan tempat tinggal yang tidak terlalu ramai. Aku takjub.
Asrama ini aslinya lebih cantik dibandingkan fotonya. Tempat ini akan menjadi rumahku sampai 6 bulan berikutnya, memulai hari-hari penuh kebahagiaan di kota yang membuatku selalu rindu untuk kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H