Tepat pada tanggal 7 September 2016 seorang mahasiswi lulusan Universitas Muhammadiyah Purwokerto baru saja sampai di Papua. Mahasiswi tersebut adalah Pratiwi Pujianti atau biasa dipanggil Pratiwi yang berasal dari Cilacap. Pasalnya dia mengikuti program pemerintah yang bernama SM3T (Sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar dan tertinggal).
Tentu tidak mudah untuk bisa mengikuti program ini. Setelah memasuki proses seleksi yang sangat ketat, mulai dari seleksi administrasi, seleksi tes tertulis online, seleksi interview dan microteaching akhirnya dia dinyatakan lolos dan mengikuti seleksi tahap terakhir yaitu prakondisi. Tahap prakondisi tersebut bertujuan untuk menyiapkan peserta SM3T baik fisik maupun mental di tempat tugasnya kelak. Sampai pada malam terakhir prakondisi, dia memperoleh pengumuman penempatan di kabupaten Dogiyai, Papua.
Bersama dengan rombongan SM3T lainnya yang berjumlah 37 orang dari LPTK UNNES. Dia dan rombongan harus menempuh perjalanan udara selama kurang lebih 16 jam dan perjalanan darat selama kurang lebih 7 jam. Pada saat perjalanan darat di papua, mereka juga harus melewati hutan belantara.Â
"Awalnya sedikit shock karena ternyata tempatnya benar-benar pedalaman. Kanan kiri juga sudah hutan belantara dan akses jalan yang berliku dan bahkan ada badan jalan yan longsor. Terkadang sopir lintas Trans-Nabire juga harus menginap semalam di hutan jika ada longsor yang menimbun badan jalan," ungkap Pratiwi saat ditanya tentang kesan pertamanya saat sampai di Papua.
Tepatnya di Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, di sanalah mereka akan menetap. Kedatangan mereka disambut hangat dan ramah oleh penduduk dogiyai setempat. Mereka tinggal di perumahan guru atau sering mereka sebut dengan "rumah kamu". Kebanyakan mata pencaharian penduduk dogiyai adalah berkebun, terutama sayur sayuran dan ubi jalar. Setiap hari, mereka juga memakan ubi jalar yang biasa mereka tanam sendiri. Mereka juga biasa menyebut ubi jalar dengan sebutan nota.
"Tetapi untuk kami yang tinggal di distrik Kamuu, tepatnya di perumahan SMP Negeri 1 Kamuu, sangat sulit memperoleh air bersih. Kami hanya mengandalkan sumur kecil dekat rumah yang notabennya airnya keruh, sehingga kami menyiasati menyaring air tersebut untuk mandi, mencuci baju dan mencuci piring, bahkan terkadang kami pergi ke sungai untuk sekedar memperoleh air bersih". Sulitnya akses untuk mendapat air bersih di sana membuat mereka harus menyaring air tersebut untuk keperluan sehari-hari mereka.
Pratiwi dan seorang temannya ditugaskan untuk mengajar di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kamuu Selatan. Perjalanan yang harus mereka tempuh untuk sampai di sekolah tersebut juga tidak mudah. Dia harus berjalan melewati rawa-rawa yang penuh dengan lumpur. Selain itu, untuk sampai disekolah, mereka membutuhkan waktu selama kurang lebih 2 jam.
"Dalam perjalanan tersebut, kami juga tidak boleh berangkat sendiri ke sekolah dalam artian kami harus ditemani oleh guru yang asli dari penduduk sana, hal ini mereka lakukan demi keselamatan kami para pendatang. Daerah tersebut memang termasuk dalam kategori daerah rawan dan tak ada satu pun satuan keamanan disana, sehingga sepanjang perjalanan kami hanya bisa melihat hamparan rawa". Bagaimanapun akses jalan yang sulit  tersebut tidak menyurutkan langkahnya untuk sampai di sekolah dan bertemu dengan anak-anak.Â
"Untuk keadaan sekolahnya pada saat saya di SMP NEGERI 1 Kamu Selatan yang sangat memprihatinkan adalah sedikitnya jumlah guru yang ada disana. Paling hanya empat sampai lima orang saja. Hal tersebut karena akses jalan yang tidak mudah untuk sampai di sekolah tersebut," ungkap Pratiwi saat menjelaskan mengenai keadaan sekolah yang ada disana. Akses jalan yang sulit untuk mencapai sekolah tersebut dan minimnya tenaga pengajar seolah menjadi kendala tersendiri bagi sekolah tersebut.
Dirinya juga menjelaskan mengenai keadaan siswa di sana."Keadaan sandang siswanya juga masih memprihatinkan. Banyak dari mereka yang seragamnya sudah tidak layak pakai. Seragam mereka banyak yang sudah robek, resletingnya rusak dan lain-lain. Selain itu kebanyakan dari mereka juga tidak mempunyai sepatu," katanya.
Satu tahun sudah dia mengajar di Kabupaten Dogiyai. Suka dan duka tentu lah akan menjadi kenangan tersendiri bagi dirinya. Pengalaman berharga yang tentu tidak sembarang orang bisa memperolehnya serta memberikan pelajaran kepada dirinya tentang bagaimana hidup mandiri. Selain itu, dengan mengikuti program SM3T ini membuat dirinya menambah jaringan pertemanan atau bahkan lebih seperti layaknya saudara sendiri.
Bahkan kondisi cuaca yang tak menentu dan keamanan yang maasih kurang membuat mereka harus selalu siap siaga dengan apapun yang bisa terjadi. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan langkah mereka untuk menyampaikan ilmu yang mereka miliki kepada siswa disana tanpa mengeluh. Hal ini juga yang mungkin bisa menjadi contoh semangat untuk para guru-guru yang ada di belahan lain indonesia.
Selain itu, semangat siswa di papua juga tentu tidak kalah, dalam segala keterbatasan mereka masih mempunyai keinginan untuk belajar. Meskipun seragam mereka rusak dan bahkan hanya beberapa siswa saja yang bisa memakai sepatu. Bagaimanapun hal ini juga menjadi PR bagi Indonesia untuk lebih memperhatikan pendidikan bagi guru dan anak-anak yang ada di daerah pedalaman.
"Harapannya untuk anak-anak di Papua, semoga mereka mendapat pendidikan yang layak.Dan untuk para guru disana bersabarlah menghadapi anak didiknya dan berikanlah yang terbaik untuk mereka, Salam MBMI !" tutupnya saat mengkahiri sesi wawancara.
Terima kasih mba Pratiwi yang sudah berbagi pengalamannya selama disana :)Â
salam hangat, Utami Azzhra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H