Dirinya juga menjelaskan mengenai keadaan siswa di sana."Keadaan sandang siswanya juga masih memprihatinkan. Banyak dari mereka yang seragamnya sudah tidak layak pakai. Seragam mereka banyak yang sudah robek, resletingnya rusak dan lain-lain. Selain itu kebanyakan dari mereka juga tidak mempunyai sepatu," katanya.
Satu tahun sudah dia mengajar di Kabupaten Dogiyai. Suka dan duka tentu lah akan menjadi kenangan tersendiri bagi dirinya. Pengalaman berharga yang tentu tidak sembarang orang bisa memperolehnya serta memberikan pelajaran kepada dirinya tentang bagaimana hidup mandiri. Selain itu, dengan mengikuti program SM3T ini membuat dirinya menambah jaringan pertemanan atau bahkan lebih seperti layaknya saudara sendiri.
Bahkan kondisi cuaca yang tak menentu dan keamanan yang maasih kurang membuat mereka harus selalu siap siaga dengan apapun yang bisa terjadi. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan langkah mereka untuk menyampaikan ilmu yang mereka miliki kepada siswa disana tanpa mengeluh. Hal ini juga yang mungkin bisa menjadi contoh semangat untuk para guru-guru yang ada di belahan lain indonesia.
Selain itu, semangat siswa di papua juga tentu tidak kalah, dalam segala keterbatasan mereka masih mempunyai keinginan untuk belajar. Meskipun seragam mereka rusak dan bahkan hanya beberapa siswa saja yang bisa memakai sepatu. Bagaimanapun hal ini juga menjadi PR bagi Indonesia untuk lebih memperhatikan pendidikan bagi guru dan anak-anak yang ada di daerah pedalaman.
"Harapannya untuk anak-anak di Papua, semoga mereka mendapat pendidikan yang layak.Dan untuk para guru disana bersabarlah menghadapi anak didiknya dan berikanlah yang terbaik untuk mereka, Salam MBMI !" tutupnya saat mengkahiri sesi wawancara.
Terima kasih mba Pratiwi yang sudah berbagi pengalamannya selama disana :)Â
salam hangat, Utami Azzhra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H