Mohon tunggu...
Utami Nur Hidayah
Utami Nur Hidayah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Bismillah Allah selalu bersamamu :))

Selanjutnya

Tutup

Money

Bagaimana Kondisi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia selama Pandemi Covid-19

11 Januari 2021   05:42 Diperbarui: 11 Januari 2021   05:54 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pertumbuhan ekonomi adalah suatu keadaan adanya peningkatan pendapatan yang terjadi karena peningkatan produksi barang dan jasa. Adanya peningkatan pendapatan tidak berkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk dan bisa dinilai dari peningkatan output, teknologi yang makin berkembang, dan inovasi pada bidang sosial.

Untuk mengetahui bagaimana kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia, mari kilas balik lima tahun terakhir kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 5 tahun terakhir ini mendapatkan kinerja positif. Dari yang semula tumbuh kisaran 4 % , kini sudah naik 5 %.

Prestasi tersebut, dikarenakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terlalu bergantung dengan ekspor dan impor, sehingga ketika ekonomi global terjadi penurunan, maka tidak terjadi pengaruh yang berlebihan pada perekonomian Indonesia. Namun, kinerja pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun terakhir ini masih berada di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono yang pada saat itu mampu mencapai 6 %.

Di tangan Jokowi-JK pertumbuhan ekonomi terbilang cukup stabil. Jika dibanding target yang ditetapkan dalam RPJMN atau APBN, hasilnya memang agak kurang mentereng. Pada tahun 2015, ekonomi Indonesia hanya bertumbuh 4,88 %, meleset sekira 0, 82 % dibanding target APBN dan tergelincir 0,92 dibanding RPJMN. Lalu tumbuh 5,02 % pada 2016, meleset tipis 0,12 dibanding APBN dan 1,8 % dibanding RPJMN.

Pemerintah berhasil menorehkan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2017 sebesar 5, 06 %, yang berarti meleset sekira 0,16 dibanding APBN dan 2,06 dibanding RPJMN. Sekalipun demikian, secara komparatif torehan pemerintah masih sangat gemilang. Untuk melengkapi itu, pemerintah masih memerlukan terobosan lain, terutama terkait angka pertumbuhan yang lebih progresif dan kualitas pertumbuhan itu sendiri.

Memang angka tersebut masih dibilang angka yang rendah dibandingkan pada masa pemerintahan Soeharto yang mampu tembus 10%, sehingga pada masa itu Indonesia disebut sebagai salah satu macan asia.  Namun prestasi tersebut lebih baik dibandingkan dengan kondisi perekonomian Indonesia pada tahun 1998 yang mengalami kejatuhan. Saat itu inflasi meroket drastis 80 % dengan pertumbuhan ekonominya minus 13,8 %.

Harga-harga barang melambung drastis. Utang luar negeri Indonesia mencapai 138 miliar dollar AS, dimana 72,5 dollar diantaranya merupakan utang swasta. Hal ini membuat nilai tukar rupiah turun. Resesi ekonomi ini berlangsung pada tahun 1998 hingga bulan Juni setelah adanya perjanjian antara B.J Habibi dengan IMF.

Perjanjian tersebut ditandai dengan adanya pemulihan ekonomi dalam waktu beberapa bulan. Terbukti dengan nilai tukar rupiah kembali menguat dan inflasi membaik secara drastis. Hal tersebut menjadikan saham-saham, di Bursa Efek Indonesia mulai bangkit dan hidup kembali menjelang akhir tahun.

Kemudian bagaimana kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tangan wakil presiden baru? Yakni Bapak Haji Maaruf Amin. Memasuki pemerintahan Jokowi dan Maaruf Amin, kondisi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV 2019 tumbuh 4,97 % (y-on-y).

Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh semua lapangan usaha, dengan pertumbuhan tertinggi dicapai Lapangan Usaha Jasa Lainnya sebesar 10,78 %. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PK-RT) sebesar 4,97 %.  

Kondisi pertumbuhan ekonomi di akhir tahun 2019 tidak begitu disayangkan, karena berdasarkan pengamat ekonomi, kondisi tersebut sudah cukup baik. Namun, pada akhir tahun 2019 merupakan awal mula ditemukan kasus Covid-19, dimana kasus awal terjadi di Wuhan, China. Semua stasiun televisi menayangkan berita yang sama mengenai kasus Covid-19.

Awal munculnya virus tersebut, tidak begitu menghebohkan Indonesia, Indonesia yakin bahwa virus tersebut tidak akan mampu bertahan di Indonesia, karena iklim Indonesia yang panas membuat virus tersebut mati. Namun siapa sangka, sejak munculnya Covid-19, perekonomian dunia benar-benar diguncangkan, bahkan beberapa perekonomian beberapa Negara di dunia mengalami resesi, termasuk Indonesia.

Pada awal Maret 2020, Indonesia dihebohkan dengan kasus pertama yang terjadi di Indonesia. Ternyata pernyataan mengenai virus tersebut tidak mampu bertahan pada iklim Indonesia salah. Sejak muncul kasus pertama di Indonesia pada bulan Maret, kasus Covid-19 atau corona virus terus meningkat seiring berjalannya waktu.

Hingga saat ini, bulan Desember 2020 tercatat bahwa total kasus di Indonesia sebanyak 713 ribu, dengan rincian sembuh 684 ribu, dan meninggal dunia 21.237. Corona virus tidak hanya berdampak pada kesehatan saja, namun di seluruh bidang, termasuk ekonomi pun dampaknya sangat terasa. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia salah satunya.

Pertumbuhan ekonomi selama pandemi terus mengalami penurunan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terendah memang terjadi pada kuartal II-2020, minus hingga 5,32 % saat pandemi Covid-19 dimulai dan terjadi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta dan berbagai kota besar lainnya.

Sejak berlakunya PSBB di Jakarta, itu bearti bahwa pemulihan kondisi ekonomi di Jakarta pun akan semakin lama. Pertumbuhan ekonomi di Jakarta pun akan melaju dalam kondisi minus di kuartal III. Jika terjadi pertumbuhan minus, maka Indonesia akan mengalami resesi ekonomi, sebab Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi minus secara berturut-turut.

Memasuki pertumbuhan ekonomi kuartal III, pertumbuhan ekonomi pun masih terlihat minus, namun sudah mulai membaik karena masyarakat pun sudah mampu menyesuaikan diri dengan kondisi pandemi ini. PSBB mulai dilonggarkan, kegiatan ekonomi mulai aktif kembali, kontraksi ekonomi berkurang menjadi 3,49 %.

Namun pada kuartal III, jumlah pengangguran meningkat dari 2,67 juta menjadi 9,77 juta. Selain itu, persentase pekerja formal juga menurun 4,59 % menjadi 39,53 % dari total 128,45 juta pekerja.

Terdapat indikator-indikator yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami penurunan selama pandemi terjadi, yaitu banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan, karena adanya PHK sebab perusahaan sudah tidak mampu lagi memberi upah akibat daya beli masyarakat menurun secara signifikan selama pandemi, padahal pada tahun 2019 konsumsi masyarakat menyumbang 57 % pada pertumbuhan ekonomi, perusahaan menghasilkan sedikit penjualan yang menyebabkan menurunnya upah atau pengahasilan tenaga kerja, dan pengeluaran atau output ekonomi Negara mengalami penurunan.

Memasuki kuartal IV 2020, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan minus di kisaran 2,9 % hingga minus 0,9 %. Diperkirakan bahwa proyeksi tingkat konsumsi pada kuartal IV masih tertekan di kisaran minus 3,6 % hingga minus 2,6 %. Indikator lain seperti konsumsi pemerintah juga masih minus di kisaran minus 0,3 % hingga 0,3 % positif hingga akhir tahun.

Untuk perkiraan pertumbuhan perekonomian Indonesia di tahun 2021, Sri Mulyani mengatakan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2021 tumbuh 4% hingga 5%, yang disumbangkan dari semua Negara, termasuk Negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Pada tahun 2021, pemulihan ekonomi masih harus tetap dilakukan. Meskipun sejumlah tantangan masih akan tetap dihadapi, seperti tantangan stabilitas kesehatan, banyaknya jumlah pengangguran, dan krisis sektor usaha, serta sektor riil yang berimbas pada sector keuangan.

Menurut Sri Mulyani, instrumen fiskal bersama Bank Indonesia akan menjaga stabilitas fiskal dan moneter. Ini merupakan tantangan sulit dan harus segera diatasi. Vaksin adalah salah satu solusinya untuk mobilitas masyarakat bisa kembali bergerak dan akan memulihkan stabilitas ekonomi.

Namun, ditekankan bahwa keberadaan vaksin tidak bisa langsung menyelesaikan permasalahan perekonomian. Sejumlah perekonomian negara yang sudah melaksanakan vaksinasi, katanya, belum bisa kembali ke level normal.

Namun ada 2 negara yang perekonomiannya sudah kembali di level normal, yaitu Tiongkok dan Selandia Baru, kunci 2 negara tersebut untuk memulihkan perekeonomian negaranya ada pada kesehatan masyarakat. Sehingga pada tahun ini, pemerintah diimbau untuk lebih serius dalam menangani pandemi dengan vaksinasi setiap warga Negara agar kesehatan stabil dan perekonomian Negara kembali membaik.

Selain fiskal, menurut Sri Mulyani, undang-undang cipta kerja juga merupakan pembantu dalam pemulihan perekonomian di sector riil pada tahun 2021.  UU cipta kerja akan mendorong investasi masuk ke Indonesia, sehingga akan lebih banyak lapangan pekerjaan tersedia.

Menurut Presiden Jokowi dengan UU Cipta Kerja akan memudahkan masyarakat khususnya usaha mikro kecil untuk membuka usaha baru, regulasi yang tumpang tindih dan prosedur yang rumit dipangkas, perizinan usaha untuk usaha mikro kecil tidak diperlukan lagi hanya pendaftaran saja, sangat simple.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun