Mohon tunggu...
Uswatun khasanah
Uswatun khasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca, memasak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hukum Berjabat Tangan Setelah Shalat

31 Oktober 2022   11:08 Diperbarui: 31 Oktober 2022   11:15 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BERJABAT TANGAN SETELAH SHOLAT

Berjabat tangan setelah shalat berjamaah adalah tradisi mayoritas umat islam indonesia. Setelah selesai shalat, makmum menoleh ke arah kanan dan kiri, sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan makmum yang ada disampingnya. Tradisi ini adalah kebiasaan yang berlaku turun-temurun, dan sudah menjadi adat dilingkungan mayoritas umat islam indonesia. Hanya saja, sebagian umat islam tidak melaksanakannya, karena berasumsi bahwa hal tersebut merupakan bid’ah, sebab tidak pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW. Beberapa ulama berbeda pendapat soal hukum berjabat tangan setelah sholat.

Pertama, sebagian ulama madzab Hanafi, seperti Syekh Ath-Thahawi dan An-Nablisi, menyatakan bahwa berjabat tangan setelah shalat adalah sunnah. Syekh Ath-Thahawi menyebutkan: “Dan begitu juga dianjurkan berjabat tangan. Hukumnya sunnah setelah shalat apa pun” (Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi, Hasyiyatut Thahawi Ala Maraqil Falah, juz 1, hal. 345). Senada dengan Syekh Ath-Thahawi, Syekh An-Nablisi menuturkan: “Berjabat tangan setelah shalat masuk dalam generalitas (keumuman) kesunnahan berjabat tangan secara mutlak” (Abdul Ghani An-Nablisi, Syarhut Thariqah Al-Muhammadiyyah, juz 2, hal. 150).

Kedua, sebagian ulama madzab Hanafi mengatakan, hukum berjabat tangan dimaksud adalah makruh, sebab dikhawatirkan adanya asumsi bahwa berjabat tangan setelah shalat hukumnya sunnah karena dilaksanakan terus-menerus. Syekh Ibnu Abidin menerangkan: “Sebagian ulama kita dan ulama lain menerangkan kemakruhan berjabat tangan setelah sholat, padahal hukum berjabat tangan (pada umumnya) adalah sunnah. Hal itu karena tidak adanya riwayat tentang berjabat tangan pada waktu ini (setelah shalat), sehingga mentradisikannya dapat menimbulkan prasangka bagi orang awam bahwa hal itu merupakan kesunnahan” (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 2, hal. 235).

Walaupun demikian, ulama yang memakruhkan berjabat tangan sebuah shalat menerangkan, jika ada seorang Muslim mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan maka sebaiknya kita tidak menolaknya. Syekh Al-Qori menulis: “Meskipun demikian, jika seorang muslim mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan maka tidak layak berpaling darinya (menolaknya) dengan menarik tangan, sebab hal itu bisa menyakiti perasaanya” (Ali bin Muhammad Al-Qari, Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, juz 8, hal. 494).

Ketiga, ulama madzab Syafi’i menegaskan, hukum berjabat tangan setelah shalat adalah mubah. Imam Nawawi menjelaskan dalam kitab Al-Adzkar an-Nawawiyyah: “Adapun apa yang menjadi kebiasaan masyarakat berupa jabat tangan setelah shalat subuh dan shalat ashar, tidak ada dasarnya dalam syariat islam, sesuai cara ini, tetapi tidak apa-apa dilaksanakan” (Yahya bin Syaraf Annawawi, Al-Adzkar An-Nawawiyyah, juz 1, hal. 337). Syekh Izzuddin bin Abdissalam juga menjelaskan: “Dan contoh bid’ah yang mubah antara lain: berjabat tangan setelah shalat Subuh dan shalat Ashar” (Izzuddin bin Abdissalam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2, hal. 173). Senada dengan kedua ulama diatas, Syekh Ramli menerangkan: “Syekh Ramli ditanya soal apa yang dilakukan oleh orang-orang berupa jabat tangan setelah shalat, apakah hukumnya sunnah atau tidak? Beliau menjawab: Apa yang dilakukan oleh orang-orang berupa jabat tangan setelah shalat tidak ada dasarnya, tetapi tidak apa-apa dikerjakan” (Ahmad bin Hamzah Al-Ramli, fatwa Al-Ramli, juz 1, hal 386).

Jadi dapat disimpulkan, ulama berbeda pendapat tentang hukum berjabat tangan setelah shalat. Sebagian ulama madzab Hanafi menyatakan kesunnahannya. Sebagian ulama madzab Hanafi yang lain menganggapnya makruh. Sedangkan ulama madzab Syafi’i menghukuminya mubah.

Dengan demikian, menurut pendapat para ulama yang kredibel, berjabat tangan setelah shalat itu disyariatkan, bukan bid’ah. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya, antara sunnah, makruh, atau mubah. Adapun orang yang menganggapnya bid’ah karena bersumsi tidak ada contoh dari Rasulullah SAW bisa mencermati hadist riwayat imam bukhari dari Abu Juhaifah ra: “ketika tengah hari, Rasulullah SAW pergi ke Batha’. Beliau lalu berwudhu. Setelah itu, beliau melakukan shalat Dhuhur dan Ashar masing-masing 2 rakaat. Dan dihadapan beliau diletakkan tombak”. Syu’bah berkata: “Dan “Aun menambahkan dalam riwayat hadist ini dari bapaknya, Abu Juhaifah, berkata: “saat itu lewat dari belakang tombak tersebut seorang wanita, maka orang-orang pada berdiri lalu memegang tangan beliau, kemudian mengusapkannya pada wajah-wajah mereka”. Dan dihadapannya ada seekor kambing betina. Lalu orang-orang memegang tangan beliau (menyalaminya), kemudian mengusapkannya ke wajah mereka”. Abu Juhaifah berkata: “maka, saya pun ikut memegang tangan beliau lebih dingin dari salju dan lebih harum dari minyak kasturi”.

Terkait hadist tersebut, Syekh Muhibbuddin Ath-Thabari berkomentar, “hadist ini dapat dijadikan isti’nas (penguat) bagi kebiasaan orang-orang yang berjabat tangan setelah melakukan shalat jamaah, terutama shalat Ashar dan Maghrib, jika dilakukan dengan niat baik, seperti mencari keberkahan (tabaruk), menambah keakraban, atau hal-hal sejenisnya” (Muhibbuddin Ath-Thabari, Ghayatul Ihkam fi Ahaditsil Ahkam, juz 2, hal 224). Kajian mengenai berjabat tangan setelah shalat adalah salah satu bentuk islam historis. Ulama pun memerintahkan bahwa bersalaman adalah salah satu syariat dalam islam. Imam Nawawi mengatakan bahwa bersalaman merupakan sebuah sunnah yang disepakati kesunnahanya ketika bertemu orang lain. Ibnu Hajar yang menukil pandangan Ibnu Battal juga menyampaikan hukum asal mushafahah adalah sebuah kebaikan menurut umumnya ulama.

Hukum asal berjabat tangan adalah sunnah tanpa diragukan lagi. Hukum sunnah ini dilakukan saat kita baru bertemu/brjumpa dengan seseorang, atau saat kita hendak berpisah dengannya. Dalilnya diantaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الاغفر اللة لهما قبل أن يتفرقا

“Tidaklah dua orang muslim bertemu, lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah”. [HR. Abu Daud 5212, Tirmidzi 2727. Kata Al-Albani dalam As-Shahihah 525, dengan mempertimbangkan berbagai jalur pendukung dan kesaksinan periwayatannya, maka hadits ini berderajat shahih atau minimal hasan].

Hadits ini menunjukkan disukainya kita berjabat tangan saat awal kita berjumpa dengan seorang muslim. Yang jadi masalah, apakah dengan hadits ini juga bisa dijadikan dalil sebagai sunnahnya berjabat tangan setiap kali kita selesai melaksanakan shalat lima waktu atau shalat tertentu lainnya, padahal misalnya kita awalnya saat masuk ke masjid telah berjabat tanganya?. Walau pada ujungnya beliau menyatakan utamanya berdzikir dulu setelah shalat fardhu. Baru setelah itu kalau mau berjabat tangan boleh. Yang menjadi sorotan utama adalah sisi keumuman dan kemuthlakkan hadits keutamaan berjabat tangan diatas. Untuk menanggapi ini, maka katakan : Andai kita masuk masjid, lalu kita menjabat tangan orang yang disitu baru saja kita temui, maka itu adalah sunnah, atau kita mmenjabatnya lagi saat misal kita akan pulang duluan, maka itu pun sunnah.

Tapi andai kita saat masuk ke suatu masjid, lalu duduk di sampingnya, lalu kita berjabat tangan degannya. Lantas setelah selesai salam dari shalat langsung kita menyengaja berjabatan tangan lagi degannya dan menjadikan ini sebagai sebuah kebiasaan, apalagi dengan anggapan berjabat tangan setiap kali selesai shalat semacam tadi adalah suatu bid’ah dan tidak boleh kita menganggap boleh atau menyunnahkannya dengan berasalaman dengan keumuman atau kemuthlakkan hadits keutamaan berjabat tangan diatas. Maka, jika seseorang brkumpul bersama temannya yang ada di sampingnya sebelum shalat, lalu menyengaja menjabat tangannya lagi setelah shalat, lalu menyengaja menjabat tangannya lagi setelah shalat, maka ini termasuk bid’ah yang di cegah dari melakukannya. Karena hal ini sama sekali tidak termasuk perbuatan yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya ra dan juga tidak dilakukan oleh yang mengikuti mereka dari kalangan shalafush shalih ra. Sementara dalam hadits ditegaskan, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan ibadah yang tidak diperintahkan aku, maka amalanya itu tertolak”.

Kesimpulannya, mernyengaja bersalaman-salaman setelah shalat fardhu secara langsung dengan menjadikan sebagai kebiasaan apalagi menganggap sebagai sunnah maka hal ini adalah bid’ah. Hadits yang muthlak berisi keutamaan anjuran bersalaman bagi seorang muslim tidak bisa dijadikan dalil untuk menetapkan sunnahnya bersalaman pada waktu-waktu khusus seperti setiap habis shalat fardhu dan sebagainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun