Mohon tunggu...
Uswatun Khasanah
Uswatun Khasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Denger musik/mahasiswa/

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perspektif Ilmu Pendidikan Islam Menurut K.H. Slamet Subakhi, S.H.

19 Desember 2022   13:39 Diperbarui: 19 Desember 2022   14:10 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan Islam adalah ilmu yang mempelajari tentang ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadist. Pendidikan Islam saat ini sangat berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Adapun tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri yaitu menanamkan nilai-nilai syariat, menanamkan nilai-nilai adab, mengajarkan etika. Dari ketiga tujuan tersebut diharapkan bisa membimbing anak atau peserta didik ke arah yang lebih baik. Kita harus membangun paradigma pendidikan Islam agar pendidikan lebih efektif dan efisien. Dalam pendidikan Islam tentunya ada proses belajar yang di dalamnya seseorang harus mencari ilmu terlebih dahulu sebagai bekal untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Seperti sebuah hadist yang berbunyi : 

"Menuntut ilmu diwajibkan bagi setiap muslim laki- laki dan muslimat perempuan" ( H.R Ibnu Majah)

"Carilah ilmu dari buaian ibu ( lahir) hingga liang lahat ( wafat) " ( H.R Ahmad)

Dari kedua hadits tersebut menggambarkan akan pentingnya aktivitas menuntut ilmu itu. Apabila kita lihat dari segi hadist yang pertama bahwa bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan wajib hukumnya mencari ilmu. Sementara hadist kedua menjelaskan bahwa tiada batasan waktu dalam menuntut ilmu. Artinya tiada kata terlambat untuk mendapatkan ilmu Allah SWT yang luas ini.

Namun perlu diperhatikan, menuntut ilmu itu tidaklah sama dengan mencari kayu bakar di hutan yang hanya tinggal mengumpulkan dan membawanya pulang. Pencari kayu bakar bebas untuk keluar masuk hutan kapan saja dan mengumpulkan kayu apa saja juga sebanyak mungkin. Lain halnya seorang penuntut ilmu, ia memiliki tata cara dan aturan dalam mencari ilmu yang kita kenal dengan "adab al-muta'alim". 

Menurut Al-Zarnuji ada beberapa perkara adab yang harus diperhatikan dalam mencari ilmu, yang pertama memiliki niat yang sungguh dalam belajar, kedua cerdas dalam memilih guru, ilmu, teman, dan memiliki ketabahan dalam belajar, ketiga menghormati ilmu dan ulama, keempat memiliki kesungguhan keberlanjutan dan memiliki minat yang kuat, kelima tertib, keenam tawakal kepada Allah SWT, ketujuh pintar memanfaatkan waktu belajar, kedelapan kasih sayang dan memberi nasehat, kesembilan mengambil pelajaran, kesepuluh Wara' ( menjaga diri dari syubhat dan haram), kesebelas penyebab hafal dan lupa, keduabelas masalah rezeki dan umur.

Seperti kisahnya Abdullah bin Abbas yang merupakan sahabat sekaligus sepupu Nabi Muhammad yang sangat masyhur dikalangan umat Islam. Ibnu Abbas dikenal sebagai seorang yang memiliki pengetahuan yang luas, ketekunan dan juga rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga banyak hadist shahih yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas. Di dalam sebuah buku dipaparkan bahwa Abdullah bin Abbas selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hal ini diketahui setelah Nabi wafat dan umurnya Ibnu Abbas masih 13 tahun, namun beliau tidak putus harapan untuk terus menggali pengetahuan yang ingin diketahuinya. Abdullah bin Abbas mendatangi para sahabat untuk menanyakan segala sesuatu yang ingin diketahuinya, yaitu tentang ajaran Islam dan hal-hal yang berkenaan dengan Nabi Muhammad SAW. Dengan segala kesempatan dan kemampuannya beliau mencari ilmu dari para sahabat. 

Maka dari itu kita patutnya meneladani sifat rasa ingin tahu Abdullah bin Abbas, karena semakin banyak ilmu yang kita ketahui semakin banyak pula hal-hal yang dapat kita kerjakan sebagai amalan bekal kehidupan dunia akhirat. 

Pada saat ini juga banyak orang tua yang memasukan anaknya ke sekolah yang berlatar belakang agama seperti MI, MTS, MA, karena para orang tua berfikir bahwa setidaknya di sekolah banyak sedikitnya belajar agama. Di dunia akademis hanya diberikan pelajaran intelektual tapi spiritualnya kurang, akan tetapi sebaliknya pada dunia pesantren terlalu banyak spiritual, namun intelektualnya kurang. Pendidikan intelektual dan spiritual harus seimbang, karena jika hanya mementingkan pendidikan intelektual kita bisa salah jalan, dan jika hanya mementingkan pendidikan spiritual kita bisa tertinggal oleh zaman. Dalam pendidikan spiritual kita diajarkan bahwa pendidikan Islam menciptakan manusia yang beradab karena adab memiliki urutan di atas ilmu. Tetapi ilmu juga tidak kalah penting karena barometer peradaban adalah keilmuan. 

Menurut Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa pendidikan adalah tuntutan atau kewajiban di dalam hidup manusia, dari kanak-kanak sampai dewasa. Dari pengertian tersebut jika ditinjau ke dalam realita pendidikam Indonesia saat ini, indikator keberhasilan dari tujuan tersebut masih sangatlah jauh dari kata tercapai. Maka dari itu untuk mendongkrak kualitas Indonesia perlu adanya upaya inovatif besar yang harus dilakukan oleh elemen masyarakat apalagi dalam hal ilmu agama perlu sekali ditanamkan sejak dini. Alhamdulillah saat ini pemerintah sudah mengedepankan pendidikan agama terlihat dari banyaknya lembaga pendidikan Islam di Indonesia, seperti pesantren, dan bahkan sekarang banyak sekolah formal yang memiliki tambahan program pembelajaran agama dari yang tadinya SMP, menjadi SMP IT (Islam Terpadu) dan lain sebagainya. Dari pemerintah pun sudah mengakui pentingnya pendidikan agama terbukti dari diresmikannya Hari Santri Nasional (HSN) pada tanggal 22 Oktober 2015.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pendidikan Islam meliputi beberapa hal, yang pertama dari faktor lingkungan. Seseorang ketika hidup dalam lingkungan yang baik, insya Allah pribadinya juga baik. Akan tetapi, perlu diingat lingkungan yang baik juga tidak menjamin 100% semua penduduknya bersikap baik, ataupun sebaliknya lingkungan yang tidak baik belum tentu semua masyarakat atau penduduknya bersikap buruk. Al-Qur'an sudah membuktikan contohnya seperti Nabi Musa beliau hidup di lingkungan yang tidak baik, akan tetapi Allah SWT menjadikan Nabi Musa AS orang yang baik, itu adalah contoh dari lingkungan yang tidak baik akan tetapi tidak menutup kemungkinan ada orang baik di dalamnya. Selanjutnya adalah paman Nabi Muhammad SAW yaitu Abu Thalib, beliau hidup di lingkungan yang baik, semua keluarganya sudah memeluk agama Islam akan tetapi beliau tetap menjadi kafir hingga akhir hayat. Walaupun pada realitanya beliau percaya pada ajaran keponakannya (Nabi Muhammad SAW) tetapi karena Allah tidak menghendaki beliau masuk Islam, maka tidak terjadi. Berikut merupakan contoh dari lingkungan baik akan tetapi tidak menutup kemungkinan ada orang buruk di dalamnya. Yang selanjutnya adalah faktor keturunan. Banyak dari mereka orang-orang yang baik, pendidikan mereka adalah yang terlahir dari keluarga yang baik pula, akan tetapi juga perlu diingat tidak semua orang yang terlahir dari keluarga yang baik, perilakunya akan baik pula. Seperti halnya Kan'an putra dari Nabi Nuh as tapi apakah dia kafir (tidak seiman dengan ayahnya) yang jelas-jelas beliau adalah Nabi utusan Allah. Jadi poin penting dalam hal ini adalah (pemahaman agama). 

Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini bahkan dari dalam kandungan malah lebih bagusnya lagi dari awal "pembuatannya" baik dari ayah maupun ibunya. Dijelaskan dalam kitab Khazinatul Asror :

Bahwa kewajiban orang tua terhadap anak ada tiga yaitu memberikan nama yang baik dari lafad tersebut dapat membuktikan bahwa agama Islam atau dalam pendidikan Islam itu sangat memperhatikan hal-hal yang mungkin agama lain tidak ajarkan, bahwa memilih nama yang baik adalah doa, tidak harus nama yang Islami asalkan mengandung arti yang baik dan bisa menjadi doa bagi seseorang yang memiliki nama tersebut. Belum tentu juga nama yang berasal dari bahasa Arab mengandung arti yang baik. Seperti contoh Ahmad Waro Jahannam memang jika didengar terlihat bagus dan keren. Tetapi apa kabar bagi mereka yang mengetahui arti dari bahasa Arab itu sendiri. Biasanya orang-orang awam yang tidak mengetahui arti-arti kata bahasa Arab yang menjadikannya nama bagi anak mereka, padahal sudah jelas arti dari lafad itu tidak baik. Hal ini yang bisa menjadikan doa dari orang tua yang awalnya berniat memberikan nama yang baik dan terlihat Islami kepada anaknya menjadi doa yang tidak baik bagi anaknya karena pemilihan nama yang salah. Tetapi dari nama yang mungkin terdengar aneh dan tidak mengenakan jika didengar pun, menjadikan pemilik nama tersebut buruk perilakunya. Seperti halnya Ibnu Hajar Al-Asqolani beliau adalah ulama besar yang kitabnya dikaji oleh kalangan umat muslim khususnya para santri seluruh dunia. Beliau mendapat julukan tersebut karena dulu saat beliau menimba ilmu selama bertahun-tahun tidak ada satu pun ilmu yang masuk, hingga beliau memutuskan untuk berhenti belajar, karena beliau merasa dirinya sudah tidak bisa menerima ilmu dan beliau pun pulang dengan tangan kosong (tidak mendapat ilmu apapun). Di tengah perjalanan pulang beliau melihat sebuah batu yang terkena tetesan hujan, beliau terus memperhatikan batu tersebut dan merenung atas batu yang begitu kerasnya saja terkena air hujan bisa berlubang, nah apalagi otakku harusnya bisa. Seketika beliau kembali lagi kepada gurunya dan belajar hingga pada akhirnya beliau menjadi ulama besar yang masyhur dan menghasilkan karya tulis (kitab) yang menjadi rujukan bagi umat setelah beliau wafat. Dari sinilah julukan Ibnu Hajar (anak batu) diberikan kepada beliau.

Pendidikan Islam di Indonesia sendiri saat ini sudah memiliki kemajuan yang tinggi, dapat dilihat dari banyaknya pondok pesanten , dari pemerintah juga banyak memberikan dorongan kepada pondok pesantren yang ada. Walaupun pada saat masa pandemi Covid-19 membuat pola yang dipakai pendidikan berubah, semua proses belajar mengajar yang awalnya dilakukan tatap muka, akan tetapi pada saat itu menjadi pembelajaran yang daring atau dalam jaringan. Wabah ini tidak menjadi penghalang untuk mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia justru pendidikan Islam di butuhkan untuk kita supaya lebih dekat dengan Allah SWT. 

Dan perlu kita ketahui bahwa pendidikan Islam telah sampai pada titik dimana sudah bisa menyesuaikan perkembangan zaman, menampilkan pendidikan yang fleksibel, responsif, seimbang, adil, demokratis berorientasi ke masa depan dan juga pada mutu yang unggul. Karena pada intinya pendidikan Islam berperan untuk menciptakan insan-insan yang memiliki dimensi akidah akhlak dan syariah yang mendorong kehidupan ke arah pembaharuan dan perkembangan, menghormati manusia sebagai individu yang memiliki hak-hak kemanusiaan dan harga diri, serta terbuka untuk semua peradaban.

Sementara itu pendidikan Islam pada zaman dulu dalam perkembangannya mengalami pasang surut. Terutama pada masa-masa dimana bangsa Indonesia masih dijajah oleh negara-negara kolonial. Di masa kolonialisme Belanda pendidikan agama dibatasi dan lebih menitikberatkan pada sekolah-sekolah yang bermuatan umum saja. Lain halnya pada masa penjajahan Jepang yang tidak terlalu menghiraukan kepentingan agama. Sehingga ruang gerak bangsa Indonesia lebih mudah dan bebas dalam mengembangkan pendidikan Islam. Karena yang terpenting bagi Jepang yaitu mereka hanya ingin memenangkan perang dan kalau perlu para pemuka agama lebih diberikan keleluasaan dalam mengembangkan pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun