Generasi Z (lahir antara 1997-2012) dikenal sebagai generasi pertama yang tumbuh bersama teknologi digital. Dengan akses tak terbatas ke informasi, mereka menjadi generasi yang paling melek teknologi. Namun, di balik kecanggihan mereka, ada dilema unik yang jarang dibahas: perjuangan untuk menjadi autentik di dunia yang terus menuntut kesempurnaan. Â
Tekanan Media Sosial: Tampil Sempurna atau Jadi Diri Sendiri?
Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Snapchat telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Gen Z. Platform ini sering kali menjadi tempat mereka mencari validasi, tetapi juga menciptakan tekanan besar untuk selalu tampil sempurna. Banyak dari mereka merasa harus "memanipulasi" citra diri agar sesuai dengan ekspektasi publik, meskipun itu berlawanan dengan kepribadian asli mereka. Â
Misalnya, muncul tren "soft girl" atau "dark academia" yang mendorong anak muda untuk menciptakan identitas visual tertentu. Meskipun menarik secara estetika, hal ini sering kali menutupi keragaman karakter individu. Akibatnya, banyak Gen Z yang merasa terjebak dalam standar yang mereka ciptakan sendiri. Â
Lebih parah lagi, budaya membandingkan diri dengan orang lain di media sosial sering kali merusak kesehatan mental. Ketika mereka melihat teman sebaya yang tampak lebih sukses, kaya, atau bahagia, rasa minder dan iri muncul, bahkan jika apa yang mereka lihat hanyalah potret kecil yang tidak mencerminkan kenyataan. Â
FOMO dan Krisis Eksistensial
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO)Â semakin akut di kalangan Gen Z. Melihat teman-teman di media sosial yang tampak sukses dan bahagia, mereka sering kali merasa tertinggal. Hal ini tidak hanya memengaruhi kepercayaan diri tetapi juga memicu krisis eksistensial. Banyak dari mereka yang mempertanyakan: "Apakah saya cukup baik?" atau "Apa sebenarnya tujuan hidup saya?"
Tekanan ini juga diperburuk oleh lingkungan kerja dan pendidikan yang kompetitif. Gen Z sering kali merasa terjebak dalam "perlombaan tanpa akhir" untuk mencapai kesuksesan yang didefinisikan oleh standar orang lain. Mereka dituntut untuk multitasking, belajar skill baru, dan menjadi produktif di usia muda, yang kadang membuat mereka kehilangan waktu untuk memahami diri sendiri. Â
Generasi yang Haus Makna
Hal menarik lain yang jarang dibahas adalah bahwa Gen Z cenderung mencari makna lebih dalam dari kehidupan. Mereka tidak puas hanya bekerja untuk uang, tetapi ingin pekerjaan yang sejalan dengan nilai dan passion mereka. Hal ini terlihat dari meningkatnya minat mereka terhadap isu-isu sosial seperti keberlanjutan, inklusivitas, dan kesejahteraan mental. Â
Namun, paradoksnya, perjuangan mereka untuk menemukan makna sering kali terhalang oleh tekanan budaya produktivitas. Ketika dunia menilai mereka berdasarkan pencapaian material, sulit bagi mereka untuk fokus pada kebahagiaan intrinsik. Â
Autentisitas di Dunia Digital: Mungkin atau Mustahil?
Menjadi autentik di era digital bukanlah hal yang mudah, terutama ketika algoritma media sosial lebih menyukai konten yang "viral" daripada konten yang jujur. Namun, beberapa anak Gen Z telah mulai menyuarakan pentingnya menerima diri apa adanya. Mereka menciptakan gerakan-gerakan kecil, seperti memposting konten tanpa filter atau membagikan kisah pribadi yang rawan (vulnerability) untuk menginspirasi orang lain. Â
Contohnya, seorang influencer bernama Salsabila Nur sering berbagi cerita tentang perjuangannya melawan insecure tanpa berusaha menutupi kekurangannya. Kejujurannya justru menarik banyak orang untuk mendukungnya. Ini menunjukkan bahwa menjadi autentik tetap memiliki tempat, bahkan di tengah arus digital. Â
Peluang untuk Menjadi Generasi Perubahan
Gen Z juga memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif. Keterampilan digital mereka memungkinkan mereka untuk menjadi suara penting dalam gerakan sosial, seperti kampanye untuk melawan perubahan iklim, isu kesetaraan gender, hingga advokasi kesehatan mental. Â
Dengan memanfaatkan teknologi, mereka dapat menyuarakan pendapat secara global, membangun komunitas, dan menciptakan perubahan nyata. Namun, untuk mencapai itu, mereka perlu terlebih dahulu berdamai dengan diri sendiri dan memahami bahwa keberhasilan tidak harus mengikuti standar dunia. Â
Mendorong Gen Z untuk Merangkul KeunikanÂ
Agar Gen Z bisa keluar dari tekanan ini, penting bagi mereka untuk belajar menghargai diri sendiri. Berikut beberapa langkah yang dapat membantu: Â
1. Kurangi konsumsi media sosial. Fokus pada kehidupan nyata dapat membantu mereka melihat nilai sejati di luar validasi online. Â
2. Temukan komunitas yang mendukung. Berinteraksi dengan orang-orang yang menerima mereka apa adanya bisa memberikan rasa nyaman. Â
3. Hargai perjalanan pribadi. Setiap individu memiliki waktu dan ritme yang berbeda. Fokuslah pada proses, bukan hasil akhir. Â
4. Gunakan teknologi untuk hal positif. Alih-alih hanya untuk hiburan, gunakan media sosial sebagai alat untuk belajar, berbagi ide, dan menciptakan dampak. Â
5. Lakukan detoks digital. Sesekali, ambil jeda dari dunia online untuk memulihkan kesehatan mental dan fisik. Â
Penutup
Generasi Z adalah generasi yang penuh potensi, tetapi juga menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan autentisitas di era digital. Dengan memahami tekanan yang mereka alami, kita bisa mendukung mereka untuk tumbuh menjadi individu yang lebih percaya diri dan autentik. Pada akhirnya, dunia membutuhkan keberagaman perspektif, bukan keseragaman identitas. Â
Mari kita dukung mereka untuk menjadi generasi yang bukan hanya beradaptasi dengan teknologi, tetapi juga membawa perubahan nyata dalam cara kita memandang dunia. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI