Mohon tunggu...
Uswatun Khasanah
Uswatun Khasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hallo Semuanya Terimakasih Sudah Berkunjung Di Profil Saya

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Terkait Penyelesaian Utang Piutang Dalam Kepailitan

11 Desember 2024   13:58 Diperbarui: 11 Desember 2024   13:58 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uswatun Khasanah

222111226

5F HES

Email : uswakhasnah28@gmail.com

Abstract

Bankruptcy is a process in which a debtor who has financial difficulties to repay a debt is declared bankrupt by the court, in this case the commercial court, because the debtor cannot pay the debt. However, before the bankruptcy court is decided by the commercial court, the debtor can make a peace effort by filing a Postponement of the Obligation of Debt Payment (PKPU). This research is a normative juridical research by conducting literature studies and analyzing secondary data. However, not all PKPU processes went according to plan and ended in bankruptcy. This type of research in this paper is empirical juridical research. In some cases the PKPU bankruptcy process can actually open up opportunities for creditors who have bad intentions to bankrupt debtors indirectly. In PKPU the creditor has a great power in determining whether the debtor must be declared bankrupt by the court.

Keywords: Debt, Bankruptcy, PKPU

Abstrak

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Namun sebelum diputus pailit oleh pengadilan niaga debitur dapat melakukan upaya perdamaian dengan mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Penelitian ini berjenis penelitian yuridis normatif dengan cara melakukan studi kepustakaan dan menelaah data sekunder. Namun tidak semua proses PKPU berjalan sesuai rencana dan berujung pada kepailitan. Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian yuridis empiris. Dalam beberapa kasus kepailitan proses PKPU justru dapat membuka kesempatan bagi para kreditor yang beritikad buruk untuk mempailitkan debitor secara tidak langsung. Dalam PKPU kreditor memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan apakah debitor harus dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Kata Kunci : Utang, Kepailitan, PKPU

PENDAHULUAN

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Dari sudut sejarah hukum, undang -- undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat terbayar.

Sejarah perundang -- undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu sejak 1906, sejak berlakunya "Verordening op het Faillissment en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia" sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staadblads 1906 No. 348 Fallissementverordening. Dalam tahun 1960an, 1970-an secara relatif masih banyak perkara kepailitan yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Negeri. Tahun 1997, krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang -- undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU. Saat ini dasar hukum kepailitan dan PKPU di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK-PKPU)

Debitur dapat mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ke pengadilan niaga, apabila tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu sebagai reaksi atas permohonan pailit yang diajukan oleh (para) krediturnya.Penundaan kewajiban pembayaran utang (surseance van betaling) yang dimohonkan oleh debitur melalui penasihat hukumnya ke pengadilan niaga tersebut pada umumnya dengan tujuan untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utangnya kepada kreditur konkuren, agar tidak terjadi kepailitan. Oleh karena itu, dengan pertimbangan bahwa mencegah terjadinya kepailitan dapat menguntungkan banyak pihak, baik karyawan, rantai usaha (business chain) pemegang saham (shareholder) maupun kreditur yang akan terbayar utangnya, maka penundaan kewajiban pembayaran utang, ditempatkan pada ranking pertama dalam penetapan putusan apabila beberapa perkara diajukan secara bersama-sama. Hal ini berarti bahwa secara imperatif pengadilan harus mengabulkan penundaan "sementara" kewajiban pembayaran utang.

Meski tak dijabarkan secara jelas dalam Undang-Undang, namun Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk mencapai kata mufakat antara debitur dengan kreditor berkenaan dengan penyelesaian utang-piutang. PKPU dapat pula dipahami sebagai suatu periode waktu tertentu yang diberikan kepada debitur dan kreditor yang ditetapkan melalui putusan pengadilan niaga guna membuat kesepakatan bersama terkait dengan cara pembayaran atau penyelesaian permasalahan utang-piutang diantara para pihak, baik seluruh atau sebagian utang juga kemungkinan dilakukannya restrukturisasi utang tersebut. Secara lebih sederhana, PKPU juga dapat diartikan sebagai moratorium legal yakni penundaan pembayaran utang yang diperkenankan oleh peraturan perundangundangan guna mencegah terjadinya krisis keuangan yang semakin parah. Dari beberapa kasus kepailitan yang terdapat di Indonesia ada yang berakhir damai melalui PKPU dan ada pula yang tetap berakhir pada putusan pailit pengadilan Niaga.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yakni dengan cara melakukan studi kepustakaan dan menelaah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum Primer meliputi peraturan perundang-undangan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pengumpulan Bahan hukum atau teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan atau library research yang didapat di dapat dengan cara menelaah peraturan perundangundanganm buku, jurnal ilmiah dan informasi di media cetak yang terkait dengan proses legislasi.

PENDAHULUAN

Mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Dalam Kepailitan

Kepailitan dan penundaan atau "pengunduran pembayaran (surseance) lazimnya dikaitkan dengan masalah utang piutang antara seseorang yang dapat disebut Debitur dengan mereka yang mempunyai dana yang disebut Kreditur". Dengan perkataan lain, antara Debitur dan Kreditur terjadi perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam yang tersebut, lahirlah suatu perikatan di antara para pihak. Dengan adanya perikatan maka masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Salah satu kewajiban dari Debitur adalah mengembalikan utangnya sebagai suatu prestasi yang harus dilakukan. Apabila kewajiban mengembalikan utang tersebut berjalan lancar sesuai dengan perjanjian tentu tidak merupakan masalah. Permasalahan akan timbul apabila Debitur mengalami kesulitan untuk mengembalikan utangnya tersebut. Dengan kata lain debitur berhenti membayar utangnya. Keadaan berhenti membayar utang dapat terjadi karena :

a. Tidak mampu membayar

b. Tidak mau membayar

Kedua penyebab tersebut tentu sama saja yaitu menimbulkan kerugian bagi Kreditur yang bersangkutan. Di pihak lain, Debitur akan mengalami kesulitan untuk melanjutkan langkah-langkah selanjutnya terutama dalam hubungan dengan masalah keuangan. Untuk mengatasi masalah berhenti membayarnya Debitur banyak cara yang dapat dilakukan, dari mulai cara yang sesuai hukum sampai dengan cara yang tidak sesuai dengan hukum. Akan tetapi, karena Indonesia merupakan Negara hukum, segala permasalahan harus dapat diselesaikan utang piutang dengan jalur hukum antara lain melalui perdamaian, alternatif penyelesaikan sengketa (alternatif dispute resolution/ADR), penundaan kewajiban membayar utang, dan kepailitan.

Dalam penundaan kewajiban pembayaran utang, debitur dengan diberi kesempatan melakukan 'perbaikan keuangan dan manajemen" untuk memperbaiki kinerja perusahaanya, baik melalui penambahan modal (composition) maupun dengan cara melakukan reorganisasi perusahan (corporate reorganization), baik melalui penggantian pengurus (direksi/manajer) perusahaan maupun memfokuskan/mengecilkan kegiatan usahnya. Kesempatan ini deiberikan kepada debnitur setelah mendapat persetujuan dari (para) pengurusnya untuk menyelamatkan perusahaan dari kepailitan, sehingga dapat menyelesaikan utangutangnya. Dengan demikian, perbaikan keuangan dan manajemen (sovable) merupakan hal yang juga harus dilaksanakan apabila debitur telah mendapatkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang secara tetap, agar tempo untuk menyelesaikan utang-utangnya dapat dilaksanakan sesuai rencana.

Tata cara pengajuan PKPU dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 224 UUK-PKPU yaitu :

a. Permohonan PKPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.

b. Dalam hal pemohon adalah debitor, permohonan PKPU harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya.

c. Dalam hal pemohon adalah kreditor, pengadilan wajib memanggil debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.

d. Pada sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), debitur mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya dan bila ada rencana perdamaian.

e. Pada surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilampirkan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222.

f. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara permohonan PKPU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Bahwa kepailitan merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) bagi debitor yang tidak bisa memenuhi kewajibanya maka sebelum dijatuhkan pailit dapat diupayakan permohonan PKPU yang dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga di daerah tempat kedudukan hukum debitor dengan ketentuan :

a.  Apabila debitor telah meninggalkan wilayah Negara Indonesia, pengadilan yang berwenang untuk menjatuhkan permohonan putusan atas PKPU adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor.

b. Apabila debitor adalah persero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang untuk memutuskan.

c. Apabila debitor tidak berkedudukan di wilayah Negara Indonesia akan tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Indonesia, maka pengadilan yang berwenang memutuskannya adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitor.

d. Apabila debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukannya hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.

Berdasar Pasal 229 Undang-Undang Kepailitan dan penundaan Pembayaran Kewajiban Utang, apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan PKPU harus diputus terlebih dahulu, wajib diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Seorang debitor selama penundaan kawajiban pembayaran utang, tidak kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang ia miliki. Hanya saja berdasar Pasal 240 Undang-Undang Kepailitan dan penundaan kawajiban pembayaran utang, dalam melakukan tindakan kepengurusan dan kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya harus dengan persetujuan pengurus.

Penyelesaian Utang Piutang Melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Dalam Kepailitan

Undang-Undang Kepailitan memberikan kesempatan kepada debitor yang tidak dapat memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih untuk meminta penundaan pembayaran (surceance van betaling atau suspension of payment) kepada pengadilan niaga. Dengan permohonan penundaan pembayaran itu terkandung maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada para kreditor konkuren. PKPU ini dapat diajukan terhadap debitor yang memiliki lebih dari satu kreditor, dan debitor tidak dapat atau diperkirakan tidak dapat melanjutkan pembayaran utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Aturan kepailitan telah memberikan ruang untuk debitor yang dimohonkan pailit yang mempunyai kesempatan untuk melakukan pengajuan PKPU demi untuk menunda terjadinya kepailitan, sekaligus mengadakan restrukturisasi utang-utangnya kepada kreditorkreditornya. Atau dengan kata lain PKPU bertujuan menjaga jangan sampai seorang debitor yang karena suatu keadaan, dinyatakan pailit, sedangkan jika debitur tersebut diberikan waktu maka besar harapan ia dapat melunasi utang-utangnya. Karenanya, dengan memberi waktu dan kesempatan kepada debitor, diharapkan bahwa debitor melalui reorganisasi usahanya dan/atau restrukturisasi nutang-utangnya, dapat melanjutkan usahanya dan dengan demikian mampu membayar lunas utang-utangnya.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah prosedur hukum (atau upaya hukum) yang memberikan hak kepada setiap debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren.

Undang-undang kepailitan menyediakan dua cara agar debitur dapat terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya dalam hal debitur telah atau akan berada dalam keadaan insolven. Adapun cara tersebut sebagai berikut :

a. Dengan mengajukan PKPU atau surseance van betaling atau suspension of payment, yang telah diajukan sebelum terhadap debitur diajukan permohonan pernyataan pailit. Apabila PKPU diajukan sebelum terhadap debitur diajukan permohonan pernyataan pailit, maka dengan adanya pengajuan PKPU tersebut terhadap debitur tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit. Jika sudah ada permohonan pailit, PKPU dapat diajukan pada waktu permohonan pernyataan pailit sedang diperiksa oleh pengadilan niaga. Adapun apabila PKPU diajukan ditengahtengah permohonan pernyataan pailit sedang diperiksa oleh pengadilan niaga, maka pemeriksaan terhadap permohonan pernyataan pailit itu harus dihentikan.

b. Mengajukan rencana perdamaian antara debitur dan para krediturnya setelah debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan. Perdamaian ini memang tidak dapat menghindari kepailitan, karena kepailitan sudah terjadi, tetapi apabila perdamaian tercapai, maka kepailitan debitur yang telah diputuskan oleh pengadilan itu berakhir. Dengan kata lain, dengan cara ini pula debitur dapat menghindarkan dilakukanya likuidasi terhadap harta kekayaannya, sekalipun kepailitan sudah diputuskan oleh pengadilan. Perdamaian tersebut dapat mengakhiri kepailitan debitur.

Dalam menjalankan proses PKPU tentunya para pihak harus beritikad baik untuk sama-sama dapat menyelesaikan proses PKPU ini dengan jujur. Menurut teori itikad baik, pihak kreditur mesti dimintakan tanggung jawab secara yuridis jika ada kerugian manakala kreditur melakukan tindakan tidak dengan itikad baik.9 Hofmann dan Vollmar berpandangan bahwa disamping adanya pengertian itikad baik yang subjektif, juga ada itikad baik yang bersifat objektif, oleh mereka tidak lain maksudnya adalah kepatutan (billikheid, redelijkheid). 10 Prinsip itikad baik (good faith) harus ada sejak negosiasi, pelaksanaan kontrak hingga penyelesaian sengketa. Prinsip resiprositas mensyaratkan bahwa para pihak dalam perjanjian harus melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing secara timbal balik.11 Seseorang tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, apabila ia telah berusaha dengan sekuat tenaga untuk melaksanakan kontrak dan menghindarkan diri dari segala malapetaka, tetapi tetap tidak membawa hasil apa-apa, walaupun kontrak itu telah di buat secara sah dan mengikat orang tersebut.

Jika para pihak tidak menjalankan segala sesuatu tanpa itikad baik tentunya kesepakatan tidak akan tercapai dalam hal ini PKPU. Tidak dilaksanakan itikad baik tentunya akan menimbulkan berbagai hambatan dalam proses penyelesaian utang piutang melalui proses PKPU dalam kepailitan sehingga proses melalui lembaga PKPU menjadi tidak efektif.

KESIMPULAN

Proses penyelesaian utang piutang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Permohonan PKPU adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya, dalam hal pemohon adalah debitor, permohonan PKPU harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya. Dalam hal pemohon adalah kreditor, pengadilan wajib memanggil debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang. Pada surat permohonan dapat dilampirkan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222. Namun beberapa perkara yang diajukan PKPU bukan untuk perdamaian tapi menekan debitur untuk melunasi utangnya walau beberapa diantaranya berujung pada kepailitan.

Efektivitas penyelesaian utang piutang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam kepailitan tidak berjalan secara efektif karena dalam praktiknya tidak dilaksanakan itikad baik dalam proses PKPU tentunya akan menimbulkan berbagai hambatan dalam proses penyelesaian utang piutang melalui proses PKPU dalam kepailitan sehingga proses melalui lembaga PKPU menjadi tidak efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Adolf. H. (2007). Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional. Refika Aditama. Bandung

Gautama. S. (2008). Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Citra Aditya Bakti. Bandung

Nugroho, S.A. (2018). Hukum Kepailitan Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya. Prenadamedia Group. Jakarta

Sastrawidjaja, H. M. (2006). Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. PT. Alumni. Bandung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun