Sebagaimana data statistis UNESCO menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 yang artinya dari 1000 penduduk hanya satu orang yang memiliki minat baca, data yang cukup mencenangkan dan memprihatinkan. Sehingga tidak aneh jika sekarang masalah Budaya Literasi sedang naik daun, mengingat betapa pentingnya peran literasi terhadap kemajuan pendidikan. Lantas siapa yang harus bertanggungjawab? Pemerintah atau guru? Berbicara soal tanggungjawab, penulis rasa kita termasuk penulis mempunyai tanggungjawab terhadap permasalahan Budaya Literasi yang dialami oleh Banga Indonesia. Setelah memberikan prolog cukup panjang tentang Budaya Literasi.Â
Berbicara tanggungjawab, melalui tulisan ini penulis akan sedikit berbagi cerita dengan para pembaca tentang aktifitas literasi yang penulis ikuti. Tepat di akhir tahun 2016 penulis memutuskan mendaftarkan diri mengikuti program Konsultan Relawan Sekolah Literasi Indonesia, yang merupakan naungan dari Dompet Dhuafa Pendidikan. Program Sekolah Literasi Indonesia bertujuan meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang berbasis Literasi dan pastinya, program ini lahir karena besarnya kepedulian terhadap masa depan pendidikan Indonesia dan kemampuan literasi generasi penerus Bangsa.Â
Lalu apakah program Sekolah Literasi Indonesia hanya meningkatkan Budaya Literasi saja? Tentu saja tidak hanya itu, masih banyak kegiatan lain yang dilakukan dalam meningkatkan mutu pendidikan di setiap sekolah dampingan. Namun untuk kali ini, penulis hanya akan berbagi cerita tentang Budaya Literasi di sekolah dampingan. Eits, penulis hampir saja lupa menjelaskan, sekedar informasi untuk para pembaca, program Sekolah Literasi Indonesia terbagi menjadi 2 bagian yaitu Inisiasi dan Optimalisasi. Penulis sendiri masuk dalam bagian optimalisasi yaitu berupa pendampingan sekolah, tepatnya di Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara.Â
Informasi lanjutannya, dalam melakukan pendampingan sekolah penulis ditemani oleh Kawan Aliyah, kita bekerjasama mendampingi 6 Sekolah yaitu SDN Satu Atap 10, MI Raudhatul Jannah, SDN 10 Tinanggea, SDN 2 Tinanggea, SDN 8 Tinanggea, SDN 14 Tinanggea. Kalau ada yang tanya bagaimana perasaannya mendampingi sekolah, maka jawaban penulis nano-nano, pokoknya asam, manis, asin, pahit menyatu jadi satu. Ibarat kehidupan pasti tidak selamanya indah seperti di taman bunga, tidak selamanya menakutkan seperti di atas jembatan gantung dan tidak selamanya membahayakan seperti di dalam jurang, perumpamaan ini menurut persi penulis, kalau pembaca mempunyai perumpamaan lain silahkan umpamakan dengan persi dan gayanya masing-masing.Â
Intinya, seperti apa perasaaannya tidak dapat tergambar dalam satu jenis perasaan dan tentunya ada banyak pelajaran yang diperoleh ketika mendampingi sekolah. Lalu masalah apa saja yang penulis alami ketika menerapkan budaya literasi di Sekolah dampingan? Wah kalau ada yang nanya ini penulis jadi ingin menjawab, bahwa hidup ini rangkaian dari masalah, kalau ditanya berapa banyak masalah yang dialami kalau dianalogikan, kadang masalah itu udah kayak musim hujan baru juga reda, beberapa menit kemudian atau beberapa jam kemudian hujan sudah datang lagi dan kadang datangnya berbarengan udah kayak janjian saja.Â
Lantas gambaran masalah secara realnya yang terjadi di lapangan seperti apa? Mungkin beberapa pembaca ada yang terbesit pertanyaan ini, masalah sederhana yang penulis temui di lapangan banyak dijelaskan di google, yaitu mulai dari buku yang belum memadai, belum adanya perpustakaan atau perpustakaan ada tapi belum dioptimalkan dan lain-lain. Namun dari banyaknya masalah ada masalah yang menurut penulis paling krusial dan paling menguras hati dan pikiran yaitu, menjaga semangat dan komitmen para guru, kepala sekolah dan diri sendiri.Â
Jangankan iman, semangat pun kadang mengalami penurunan dan yang penulis lakukan ketika semangat penulis menurun, penulis mencoba menguatkannya kembali dengan niat dan belajar untuk terus mengintroveksi diri, ternyata dalam kondisi seperti ini, penulis baru sadar bahwa niat mempunyai andil besar dalam setiap aksi dan tidak salah jika ada hadist yang mengatakan bahwa segala sesutu berawal dari niat. Sedangkan untuk solusi yang diberikan terhadap permasalahan guru dan kepala sekolah, karena yang dihadapi orangtua maka perlakuan yang kita berikanpun tidak dapat disamakan sepertihalnya kita berhadapan dengan anak-anak dan pastinya pendidikan andragogik tidak seindah dalam teori dan tidak serumit yang dibayangkan.Â
Terkait masalah yang terjadi pada guru dan Kepala Sekolah, selain melakukan diskusi dan evaluasi bersama-sama, belajar memahami mereka lalu berusaha mengikuti alur mereka terlebih dahulu dan ketika mereka sudah merasa nyaman maka ajak mereka ke alur yang sudah kita rancang, merupakan solusi yang cukup penting diterapkan. Namun, ketika semua solusi yang dilakukan tidak disambut baik, maka solusi terakhir adalah mendokan mereka. Walapun banyak masalah yang dialami dalam menerapkan Budaya Literasi, bukan berarti Budaya Literasi di Sekolah tidak berjalan, walau bagaimanapun kondisinya, Budaya Literasi yang diterapkan di Sekolah tetap berjalan.Â
Namun ada beberapa Sekolah yang masih perlu pendampingan ekstra. Berbicara Budaya Literasi Sekolah, kali ini penulis akan menceritakan salah satu Budaya Literasi yang ada di Sekolah dampingan yaitu di MI Raudhatul Jannah. Sedangkan untuk cerita Budaya Literasi di Sekolah-Sekolah dampingan lainnya menyusul dilain waktu. MI Raudhatul Jannah atau panggilan kerennya anak-anak MI Raja adalah Madrasah Ibtidaiyah Swasta yang berada di Desa Bomba-bomba Kecamatan Tinanggea.Â
Walaupun kondisi sekolah belum mempunyai bangunan permanen lengkap, belum memiliki jumlah ruangan yang mencukupi, apalagi fasilitas yang memadai dan halaman sekolah yang aman dari hewan-hewan pengganggu, tidak membuat siswa-siswi MI Raudhatul Jannah malas untuk belajar dan tidak juga mengurangi semangat para guru dalam meningkatkan kualitas sekolahnya.Â
Walaupun dengan berbagai macam keterbatasan, sebisa mungkin para guru dan Kepala Sekolah berusaha untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di MI Raudhatul Jannah, salah satu cara yang mereka lakukan adalah menerapkan Budaya Literasi. Selain menerapkan Budaya Literasi di kelas, dengan berbekal buku bantuan dari Dompet Dhuafa Pendidikan, Sekolah juga menjalankan Budaya Literasi yang diberi nama Pekan Literasi dilaksanakan setiap hari Rabu.Â