Kita pasti pernah berinteraksi dengan orang lain dan kadang secara alami akan membentuk sebuah perkumpulan, hal ini bisa dinamakan dengan organisasi . Sebuah organisasi bisa terbentuk karena adanya kesamaan yang ingin dicapai, oleh karena itu secara langsung maupun tidak langsung kita pun harus mengikuti prinsip dan pedoman yang sudah terbentuk di dalam organisasi tersebut.
Dalam sebuah organisasi setiap orang mempunyai karakter yang berbeda, ketika kita berinteraksi satu sama lain bisa memicu timbulnya perbedaan pendapat karena pemahaman setiap orang juga pasti berbeda hal ini juga bisa menyebabkan kesalahpahaman. Jika kesalahpahaman tidak cepat diluruskan maka akan berdampak adanya konflik dan hal ini bisa mempengaruhi efekttifitas organisasi dalam mencapai tujuannya.
Salah satu bentuk hambatan yang ada dalam organisasi adalah konflik yang disebabkan oleh ketidakkonsistenan perilaku individu, kelompok, dan struktur terhadap perilaku dalam suatu organisasi. Namun konflik juga dapat menjadi peluang dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien agar organisasi tidak statis.
Pada kenyataannya konflik sulit untuk dihindari karena berkaitan erat dengan proses interaksi manusia. Oleh karena itu, diperlukan bukan untuk mengurangi konflik, tetapi bagaimana menyelesaikannya sehingga memiliki efek konstruktif pada organisasi. Pernyataan ini tampaknya mengkonfirmasi beberapa mitos konflik yang telah lama berkembang. Konflik ini harus dihindari; Konflik muncul karena kesalahpahaman; Konflik adalah tanda memburuknya hubungan interpersonal; Konflik selalu dapat diselesaikan; Konflik adalah hal yang buruk (Beebe, 1996: 301).
Konflik adalah suatu keadaan dimana seseorang atau kelompok memiliki persepsi yang berbeda dengan pihak lain, yang dapat berdampak buruk pada pencapaian kepentingan dan tujuan. Konflik juga didefinisikan sebagai ketidaksepakatan atau ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota atau kelompok karena kedua belah pihak harus berbagi sumber daya atau karena perbedaan status, nilai, persepsi, kepentingan, kebutuhan, dan tujuan. (Wibowo dan Mubarok, 2016)
Robbins (1996:30) membagi konflik menjadi dua jenis menurut fungsinya: konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung tercapainya tujuan organisasi dan meningkatkan kinerja organisasi. Konflik disfungsional adalah konflik yang mempersulit pencapaian tujuan organisasi.
Menurut Robbins, batas-batas yang menentukan apakah suatu konflik bersifat fungsional atau disfungsional seringkali tidak jelas. Sebuah konflik mungkin fungsional untuk satu kelompok dan tidak untuk yang lain. Demikian pula, konflik mungkin berfungsi pada beberapa waktu tetapi tidak pada waktu lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampaknya terhadap kinerja kelompok. Jika konflik dapat meningkatkan kinerja kelompok, itu dapat didefinisikan secara fungsional.
Untuk meminimalisir terjadinya konflik maka diperlukan manajemen konflik yaitu mengelola konflik yang akan terjadi. Mengelola konflik di sini bukan berarti kita harus menghindari konflik apalagi menguburnya, karena bagaimanapun konflik itu harus ada.
Negosiasi adalah salah satu cara untuk menyelesaikan konflik dalam sebuah organisasi. Sedangkan menurut Ivancevich (2009), negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih dengan pandangan yang berbeda berusaha untuk mencapai suatu kesepakatan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa negosiasi adalah suatu proses di mana dua pihak atau lebih mencari kesepakatan yang timbul karena adanya perbedaan pendapat di antara mereka. Oleh karena itu, perbedaan pendapat dapat menimbulkan konflik yang dapat diselesaikan melalui metode negosiasi.
Menurut Robbins & Judge (2013) ada dua pendekatan umum terhadap negosiasi yaitu negosiasi distributif dan negosiasi integratif.
- Negosiasi Distributif. Negosiasi ini merupakan mekanisme pengambilan keputusan dalam negosiasi yang bertujuan untuk memenangkan tawar menawar. Dalam tipe ini, salah satu pihak mencoba untuk memenangkan tawar-menawar terlepas dari bagaimana perasaan pihak lain tentang menang atau kalah. Jadi seringkali negosiator berkeras hati pada pendirian awal sebelum negosiasi dan menentang alternative penyelesaian. Jadi proses negosiasi biasanya tidak bertele-tele dan pihak lain terpaksa kalah atau jika pihak lain juga bersikukuh pada posisinya, bisa timbul situasi di mana keduanya kalah atau tidak setuju.
- Negosiasi Integratif. Pada tipe ini negosiator berusaha sebaik-baiknya untuk mencapai kesepakatan. Sehingga, sering kali kedua belah pihak setuju melakukan kolaborasi untuk mencapai kesepakatan yang sejelas-jelasnya bukan kesepakatan semu. Tipe integrasi adalah negosiasi di mana kedua bela pihak merasa senang.
Dari segi perilaku intraorganisasi, negosiasi integratif lebih disukai daripada tawar-menawar distributif. Negosiasi integratif mengikat para perundingan dan memungkinkan masing-masing untuk meninggalkan meja perundingan dengan perasaan mendapat kemenangan. Di satu sisi lain, negosiasi distributif meninggalkan satu pihak sebagai pihak yang kalah.