Mohon tunggu...
Uswatun Hasanah
Uswatun Hasanah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buaian Rindu

7 Maret 2015   06:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:03 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14256593612012410214

Masih terukir jelas dalam ingatanku. Wajah teduh nan mempesona itu. Mata hitam dengan alis pekat yang selalu fokus memandang ke depan tanpa terkesan jahat sedikitpun. Mata itu teduh memandang dengan tulus setiap objek yang ia lihat. Kilau mata yang selalu kurindukan. Ah! Aku juga diam-diam memperhatikan hidungnya. Hidung yang proporsional, tidak mancung, namun juga tidak pesek. Pas sekali bertengger di wajahnya. Ditambah lagi dengan rahangnya yang tirus. Menggambarkan kalau ia adalah orang yang tegas dan tetap pada pendiriannya.  Tuhan, aku merindukan pemilik wajah itu. Sungguh!

***

“Kau mau kemana, Din?” Panggil seseorang di belakangku. Aku menoleh. Aku ternganga sebentar. Kemudian buru-buru menguasai diri.

“Ah, ini Kak, mau ke perpus. Mau ngembaliin buku.” Jawabku agak tersipu sambil menunjukkan buku-buku yang kubawa.

“Oh, ya sudah, Din. Saya duluan.” Pamitnya terburu-buru.

“Iya Kak, hati-hati.”

Namanya Awan Dirgantara. Ia kakak tingkatku sekaligus menjabat sebagai ketua BEM di kampus. Awal kumengenalnya tak lain saat kegiatan Ospek dimulai. Saat itu entah mengapa aku diam-diam memperhatikan wajahnya, penampilannya yang sederhana nan berwibawa, serta caranya berbicara yang tegas nan cerdas. Aku benar-benar terpesona olehnya.

Tak berselang lama, aku mulai kegiatan belajar di kampus sekaligus mulai berburu informasi tentangnya. Idola baru yang membuatku terobsesi mengikuti setiap kegiatan intra dan ekstra kampus yang juga diikuti olehnya.

“Kalau aku ikut kegiatan yang sama, berarti aku memiliki kesempatan yang lebih besar untuk dekat dengannya.” Pikirku jahil.

Dan benar. Apa yang aku rencanakan sendiri, yang aku tertawakan sendiri, menjadi kenyataan. Ia bahkan telah mengenalku. Barusan ia menyapaku. Kau tau, berapa ribu bunga yang sekarang mekar dalam hatiku? Ah, sudahlah! Pipiku bersemu merah memikirkan itu.

*

“Dinda, Minggu depan ada acara pengakraban anggota baru Rohis Kampus di pantai Nirwana. Kamu ikut ga?” Rani, salah satu sahabat sekaligus anggota Rohis menanyaiku.

“Eh, ini acaranya anggota baru doang? Anggota lama ga ngikut?” Tanyaku terburu-buru.

“Ya ikut lah, Din. Ntar ada kak Awan juga, loh!” Liriknya usil.

“Ah, yang bener? Serius? Kamu ga bercanda, kan?”

“Iya serius! Hahaha”

“Kamu bercanda terus, ih! Nggak deh, aku ga ikut!” Aku berlalu sambil memonyongkan bibir. Kecewa.

Rani mengejarku. Mencoba mensejajari langkahku.

“Tau ga, Din. Orang cepet marah itu cepet tua, loh! Hahaha.” Rani sekarang malah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kecewaku.

“Apaan sih, kamu! Pergi sana jauh-jauh!” Aku mendorongnya refleks. Tanpa kusadari, ternyata doronganku cukup kuat untuk membuatnya terjatuh. Dan Rani sekarang terjatuh di depan gerombolan mahasiswa yang sedang duduk-duduk di depan ruang kelas. Wajahnya memerah seketika. Tanpa rasa bersalah, kutinggalkan dia yang sedang tertunduk menahan malu yang tak terkira. Aku puas sekali melihatnya.

*

Seminggu berlalu tanpa terasa. Aku memutuskan ikut acara itu. Meski aku tak tau kak Awan ikut juga apa tidak. Aku pasrah sajalah. Apa salahnya berkenalan dan mengakrabkan diri dengan anggota Rohis. Itung-itung nambah temen dan nambah pengalaman. Kalaupun nanti ada kak Awan, berarti itu bonus dari Tuhan. Haha, aku geli memikirkan itu.

Menjelang keberangkatan, tak kutemukan sosok itu di antara puluhan anggota Rohis. Kutegakkan leher, celingak-celinguk kiri kanan, tetap saja tak kutemukan. Akhirnya, ketua panitia mengumumkan untuk segera naik ke mobil agar nanti tidak terlalu sore sampainya, karena lokasi pantai yang cukup jauh. Dan terakhir, aku benar-benar pasrah.

*

Sekitar jam 17:00 kita sampai di pantai Nirwana. Aku berjalan tanpa semangat ditemani Rani menuju tenda untuk meletakkan tas. Ternyata di pantai sudah ada bagian akomodasi yang menyiapkan tenda.

“Din, kamu kenapa sih kok ga semangat gitu? Gara-gara kak Awan ga ikut?” Rani menyikut lenganku. Aku tak bergairah melayani gurauannya. “kan ada aku?” Tambahnya lagi sambil cengengesan. Sekarang aku menjitak kepalanya. Rani belari-lari kecil menuju pantai. Aku mengikutinya dengan langkah gontai. Tapi sekarang aku terpesona melihat indahnya senja di ujung barat sana. Cahahanya yang lembut membuatku betah berlama-lama menatapnya.

“Terpesona sama senja, ya?” Suara di sampingku membuyarkan lamunanku.

“Kak Awan?” Aku tak percaya menatapnya. Dia tak menjawab, masih membisu sambil memejamkan mata yang seaakan khidmat menikmati cahaya senja. Wajahnya yang terbungkus cahaya, menambah keelokan rupanya.

“Din, kau tau mengapa senja itu mengagumkan?” Tanya kak Awan tiba-tiba.

“Ga tau kak. Kenapa emang?”

“Karena ia mengagumkan serta meninggalkan kerinduan.” Suaranya bergetar di akhir kalimatnya. Entahlah apa yang saat ini ia pikirkan. Wajahnya kemudian merunduk, aku melihat perubahan ekspresi wajahnya. Meski itu sekilas, namun itu cukup jelas menggambarkan sesuatu lain yang menghampiri perasaannya.

***

Senja sore itu, adalah saat terakhir aku berjumpa dan berbincang dengannya. Aku tak pernah lagi melihatnya di kampus, kegiatan rutinan Rohis, bahkan ketua BEM pun digantikan oleh kak Deni, yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua BEM. Aku tak pernah tahu ia kemana. Aku telah bertanya kesana kemari, namun nihil. Tak ada jawaban.

Aku masih bingung dengan hilangnya kak Awan. Ia meninggalkan kampus dan meninggalkan segala kenangan tanpa ada bekas sedikitpun, seaakan ia ingin memguburnya dalam-dalam tanpa jejak dan tanpa seorangpun yang dikehendaki mengetahuinya. Ada sesuatu yang tak tak kumengerti. Di bawah siraman cahaya senja di pantai Nirwana, ia pergi tanpa pamit serta meninggalkanku dengan ribuan tanda tanya yang menggantung di langit senja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun