Pada dasarnya, keris dapat dikategorikan sebagai senjata pendek dengan bentuk yang unik berasal dari kebangsaan Melayu. Keris digunakan oleh bangsa Melayu seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina dan Brunei sejak zaman dahulu, tepatnya sekitar 600 tahun lalu. Pada saat itu Keris bermakna sebagai senjata dan kebesaran seseorang.Â
Walaupun Keris seringkali digunakan untuk senjata dalam mempertahankan diri, namun keris dibuat bukan semata untuk membunuh lawan, melainkan keris bersifat senjata dalam pengertian simbolik. Karenanya, keris seringkali juga dipercaya memiliki kekuatan ghaib yang mampu memberikan perlindungan bagi pemiliknya
Keris sebagai karya agung warisan budaya nenek moyang bangsa Melayu termasuk Indonesia banyak digemari oleh masyarakat Jawa sampai saat ini, baik karena nilai agung yang terkandung di dalamnya atau pun karena keunikan bentuk keris itu sendiri. Oleh sebab itulah mengapa UNESCO mengakui Keris sebagai World Heritage of Humanity. (Kuntadi Wasi Darmojo, hlm.50).Â
Selain itu, keunikan keris dan kreativitas yang tinggi pada keris acap kali menarik perhatian masyarakat perkotaan atau yang sering disebut dengan masyarakat urban.Â
Masyarakat urban adalah masyarakat yang dilihat dari segi keagamaannya cenderung lebih pasif bila dibandingkan kehidupan keagamaan masyarakat pedesaan.Â
Hal itu dimungkinkan karena pola pikir rasional, di mana perhitungan ekonomi dan perdagangan yang lebih mendominasi lingkungan mereka. Selain itu, latar belakang sosial dan pendidikan sangat menentukan karena berhubungan dengan pembagian kerja.Â
Setiap individu mempunyai bidang masing-masing untuk mendapatkan andil dalam kelompoknya sendiri. (Soekarmto, 2002, hl. 139-140) Oleh sebab itulah, kemungkinan besar ketertarikan masyarakat urban pada keris adalah dengan melihat dari nilai ekonomi dan kemegahannya.
PERGESERAN MAKNA KERIS
Berbicara perihal keris, hal itu tidak dapat terlepas dari kehidupan sosial masyarakat Jawa pada umumnya. Sebagian besar masyarakat Jawa masih mempercayai bahwa keris mempunyai kekuatan magis.Â
Magis dalam konteks ini diartikan sebagai suatu ritus dari doa dan mantra yang diucapkan kepada alam atau kekuatan ghaib dengan maksud tertentu guna memenuhi atau keinginan yang nyata. Keris sendiri berfungsi sebagai alat untuk menyimpan magis yang nantinya berpengaruh pada pemilik keris. Magis inilah yang kemudian oleh penggemar keris disebut dengan istilah tuah.
Pada zaman kerajaan, keris seringkali dibawa oleh setiap prajurit yang diselipkan di pinggang dan dipergunakan saat peperangan. Termasuk saat mereka melawan penjajah, keris digunakan sebagai senjata pamungkas di samping senjata tradisional lainnya. Selain itu, masyarakat Jawa juga menganggap keris sebagai benda pusaka.Â
Hal itu dikarenakan proses pembuatannya yang panjang, sangat teliti dan hati-hati, menggunakan material pilihan dan dengan persiapan mental spiritual yang mapan. Inilah kenapa sebagian masyarakat Jawa juga menganggap keris sebagai simbol atau lambang. Dalam konteks ini, keris mampu melegitimasi jabatan atau suatu kekuasaan, seperti keris pusaka kerajaan yang dipergunakan sebagai tanda syahnya seorang raja. Keris juga identik seseorang sekaligus status sosial mereka.Â
Lebih jauh lagi, keris disimbolkan dengan falsafah Jawa, yaitu "manunggaling kawulo gusti". Hal itu dilihat dari bersatunya mata keris dengan warangka yang dikonsepkan dengan bersatunya diri dengan Tuhan.(Akhmad Arif Musadad, 2008, hl.153-54).
Makna keris bagi masyarkat Jawa kerap kali ditemukan dalam sisi kehidupan sosial mereka yang lain. Masyarakat Jawa dalam konteks kebudayaan menempatkan keris sebagai atribut yang tidak boleh lepas dalam kegiatan atau acara-acara tertentu. Keris sering dihadirkan saat upacara ritual tertentu seperti bersih desa, mantenan dan ritual-ritual tradisional lainnya.Â
Pada perkembangannya, keris dimaknai sebagai karya seni yang mempunyai nilai tinggi. Keharmonisan sebilah keris dengan warangkanya dan motif pada bilah keris yang diproses dengan seni ukir, seni pahat dan tempa menjadikan sebuah keris mempunyai nilai estetika yang bernilai tinggi dan bermacam.
Keris sebagai warisan budaya nenek moyang Indonesia pada khususnya menarik perhatian masyarakat urban, dalam konteks ini diartikan sebagai masyarakat perkotaan, baik itu masyarakat Jawa perkotaan atau masyarakat perkotaan pada umumnya. Keris bagi kebanyakan masyarakat urban mempunyai makna komersial daripada makna keris itu sendiri.Â
Banyak dari individu atau kelompok menengah ke atas menjadikan keris sebagai daya tarik wisatawan dengan menjadikannya sebagai identitas dari budaya daerah tertentu, sehingga banyak orang yang berkunjung untuk melihatnya.Â
Seperti halnya keris-keris yang dipamerkan di museum dan atau tempat pariwisata. Pada titik ini, ketertarikan masyarakat urban pada keris mampu melahirkan komoditas ekonomi. Fenomena keris sebagai salah satu karya seni yang mempunyai nilai tinggi telah menjadi trend di dalam perkembangan bisnis kesenian Indonesia.
Komoditas-komoditas yang muncul oleh sebab ketertarikan yang sama yaitu keris, seringkali melakukan pameran-pameran keris untuk kemudian memperdagangkannya.Â
Tidak sedikit individu membeli keris untuk dikoleksi secara pribadi. Sebagian orang tertentu menjadikan keris sebagai bagian dari gaya hidup dan dikategorikan sebagai bawang mewah. Hal ini biasa terjadi pada masyarakat urban khususnya masyarakat Jawa perkotaan yang mengikuti arus retradisionalisasi gaya hidup mereka.Â
Namun demikian, para kolektor keris tidak jarang menjadikan keris sebagai bahan alternatif. Sebilah keris tua dengan kondisi yang masih baik tentunya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Keris tersebut sewaktu-waktu diperdagangkan kembali bila ditemukan adanya penawaran yang tinggi. (Endah Endrawati, 2015, hl.149)
Sekalipun sebagian keris masih dipercaya sebagai benda pusaka yang bertuah oleh beberapa kelompok, namun nilai ekonomi yang terkandung di dalamnya mampu menggeser hal tersebut sehingga menjadikan keris tak lebih dari bahan dagangan untuk meraup keuntungan. Persoalan paling mendasar di sini adalah mengembalikan makna keris sebagai pusaka yang dihormati dan mempunyai relasi dengan kehidupan sosial masyarakat untuk mengembangkan kebudayaan, khususnya di lingkup komoditas masyarakat itu sendiri. Bukan sebaliknya, yaitu dijadikan sebagai komoditas ekonomi masyarakat tertentu belaka.
Sekalipun keris masih dipercaya sebagai benda pusaka yang bertuah, sebagian orang menganggapnya tidak labih sebagai alat tukar atau koleksi.
Seni kreativitas yang terkandung dalam bentuk keris dan historisitasnya yang melingkupi masyarakat Jawa itulah yang menjadikan keris tetap eksis sampai saat ini. Sekalipun telah mengalami pergeseran nilai keris masih memiliki peran penting dalam kehidupan sosial-budaya masaRAkat Jawa. Saat ini, keris lebih sering digunakan sebagai salah satu atribut dalam acara-acara tertentu seperti pernikahan dan lainnya. Bahkan tidak jarang keris dijadikan perhiasan ruangan tertentu. Hal ini dimungkinkan karena coraknya yang indah, historisitasnya yang mempunyai nilai tinggi, dan atau dikeramatkan karena merupakan warisan dari salah seorang yang ditokohkan.
Sangat disayangkan bila mana keris yang dipercaya sebagai pusaka bertuah dan bahkan dikeramatakan oleh sebagaian besar orang, dialihfungsikan menjadi bahan alternatif yang diperdagangkan. Dengan mengembalikan makna keris sebagai bagian dari warisan budaya dan pusaka daerah, tentunya hal itu akan menjadikan keris sebagai suatu identitas kebudayaan yang tidak ternilai harganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H