Wabah Covid-19 di satu sisi membuat beberapa sektor ambyar, namun pada sektor-sektor lain moncer. Adanya wabah ini mengharuskan semua warga tanpa terkecuali mengenakan masker. Pada awal-awal pandemi di negara kita, masker menjadi sangat langka, kalaupun ada harganya sangat tinggi.Â
Tiga bulan berlalu, banyak dari masyarakat kita memanfaatkan situasi dengan memulai usaha baru yakni memproduksi masker, baik untuk kebutuhan sosial (dibagi-bagikan secara gratis) atau pun untuk dijual.
Akhir-akhir ini khususnya setelah beberapa hari kita memasuki pelonggaran karantina wilayah, kita dapati di pinggir-pinggir jalan para pedagang masker, bahkan di wilayah yang agak jauh dari perkotaan. Uniknya, masker-masker dari bahan kain ini didesain sungguh inovatif dengan menampilkan  motif gambar-gambar lucu.
Masker untuk anak-anak dihiasi dengan karakter lucu seperti spongebob, patrick, frozen, batman, spiderman, dan lain sebagainya. Kalau dikenakan pada wajah anak, akan nampak semakin lucu dan menggemaskan.
Nah, yang unik lagi adalah desain masker yang sangat menyerupai wajah bagian bawah. Ada yang tersenyum, tertawa, atau gaya bibir ngece. Apalagi warna kain disesuaikan dengan warna kulit wajah, sehingga yang nampak ketika dikenakan adalah gambar separuh hidung yang naymbung dengan hidung pemakainya, dan mulut yang kadang tersenyum lebar.
Suatu ketika saya mendapati seseorang yang mengenakan masker dengan wajah tersenyum lebar sedang menurunkan bahan-bahan dari atas mobil pick up di depan rumah saya dengan posisi kepala ndhangak ndhingkluk (menengadah dan menunduk), karena memang sedang menurunkan barang.
Saya lewat dari arah depan seseorang tadi. Ketika dia ndhangak saya spontan menunduk, saya merasa dia menyapa saya. Lah, setelah ndhangak dia ndhingkluk lagi mengikuti irama gerak tangan memindahkan barang-barang. Secara spontan saya pun bilang, "monggo Pak!". Dia tidak menyahut sapaan saya. Tapi ternyata dia ndhangak lagi. Begitu terus.
Setelah saya perhatikan ternyata dia tidak menyapa saya, tapi wajahnya tertutup masker dengan warna serupa warna kulit wajahnya dan bermotif bibir yang tersenyum. Tiwas seru banget saya bilang, "monggo Pak."Â
Tapi bukan kecewa, justru saya terhibur dan malah saya yang tersenyum sendiri sambil geleng-geleng kepala sambil bergumam agak keras, "apik, apik tenan, elok nan!" (bagus, bagus sekali).
Saya tidak tahu, apakah dia senyam-senyum juga melihat saya kecelik (tertipu), ataukah cuek saja. Tapi intinya, keinginan dia mengenakan masker bermotif separuh wajah manusia merupakan pilihan untuk membuat dia sendiri tersenyum atau pun orang lain juga tersenyum. Ini sebuah mekanisme sistem tanda (semiotis) yang unik dan patut direnungkan.
Kita bisa pahami bahwa hadirnya wabah Covid-19 di hadapan kita bukan berarti membuat kita harus selalu termenung dan meratap. Namun, semua bisa dihadapi dengan tersenyum tanpa meninggalkan "cara aman" untuk beraktifitas.Â
Nah, dalam konteks ini, untuk membuat tersenyum dipakailah masker yang menampilkan wajah tersenyum pula. Dengan harapan seseorang tadi ingin membagikan senyum kepada prang lain yang melihatnya, seperti yang barusan saya alami.
Setelah berlalu dari seseorang itu, saya berpikir bahwa perilaku orang tersebut, produsen maskernya, dan situasi yang diciptakan memang diarahkan untuk humor dan guyon maton agar semua orang bisa tersenyum gembira.Â
Saya teringat kemudian dengan apa yang dilakukan oleh Rod Martin, seorang Psikolog dari University of Western Ontario, Kanada yang mengelompokkan model humor dari dan untuk seseorang yang dipublikasikan di Research and Personality tahun 2003.
Martin mengelompokkan selera humor menjadi empat, yakni affiliative, aggressive, self enhancing, dan self-defeating. Gaya affiliative adalah menggunakan humor untuk menarik orang lain agar menyukai dirinya, sedangkan gaya aggressive yakni humor yang digunakan untuk mengkritik orang lain.Â
Sementara itu, self enhancing adalah humor yang yang bertujuan untuk menertawakan diri sendiri. Dan, gaya self-defeating adalah gaya humor yang menempatkan dirinya sebagai bahan lelucon atau bahan guyonan.
Kita mungkin memasukkan gaya masker bermotif wajah tersenyum sebagai sebuah gaya humor affiliative dan self-defeating atau yang mana saja. Intinya kita dibuat untuk tersenyum.Â
Ini merupakan kode semiotis untuk menghiasi suasana wabah ini dengan aktif, aman, dan senyuman, bukan meratap dan pasif. Sebuah kreasi yang cerdas secara semiotis. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H