Akhir-akhir ini ruang-ruang media kita disibukkan dengan suasana baru dengan munculnya istilah “Normal Baru” atau New Normal. Sejatinya istilah itu sudah lama muncul, cuma kita saja yang tidak ngeh. Baru setelah para petinggi negeri ini menyebutnya kita baru ngeh tentang istilah itu. Kita baru sadar, “Oo ada istilah itu to? Apa sih artinya, kok di mana-mana disebut istilah itu?”.
Kita tidak akan membincangkan arti istilah ini, karena telah banyak yang membicarakannya dan kita bisa mendapatkan penjelasan panjang lebar dari tulisan-tulisan itu, termasuk di forum Kompasiana ini.
Intinya dalam istilah Normal Baru ini kita akan hidup dalam suasana baru dengan beberapa kekhususan yang berbeda dengan sebelumnya. “Suasana baru?”, Ya, suasana baru. Suasana yang sejatinya kita masih “terkurung” dalam wabah Covid-19 akan tetapi “harus” beraktivitas di luar rumah dengan aturan baru. Complicated juga aslinya, namun itulah suasana yang akan terjadi.
Ada kekhawatiran akan terbukanya “arena baru” penyebaran Covid-19 sehingga akan semakin memberatkan tim medis yang 24 jam stand by memerangi Covid-19. Sebaliknya, ada pertimbangan lain untuk menggerakkan roda ekonomi misalnya, sehingga perlu kembali hidup normal dengan aturan baru yang lebih spesifik.
Pro dan kontra tetap ada. Banyak aspek yang terkait dengan suasana baru itu, namun, satu hal yang mungkin sedikit perlu kita cermati yakni konsep mentality ketika berada dalam suasana Normal Baru itu.
Mentality di sini tertulis italic karena ingin ditekankan pemaknaan terminologinya. Mentality adalah sebuah teori tentang kesadaran yang dicetuskan oleh Lucien Levy-Bruhl dalam bukunya La primitive mentalité (1923). Gagasan tentang mentality banyak dikembangkan oleh para ahli.
Menurut teori ini, mentality merupakan kesadaran fundamental yang terpola oleh adanya interaksi sosial yang terus menerus terjadi. Artikulasi dari kesadaran itu muncul berupa sistem gagasan (ide, pengetahuan) yang pada akhirnya mempengaruhi pola tindakan (Bloch, 1989).
Dalam konteks kehidupan Normal Baru, mentality adalah suprastruktur kesadaran yang telah mengendap sekian lama. Kesadaran itu menjadikan keseharian kita nyaman dengan rutinitas yang ada. Siapkah kita menjalani suasana baru yang sebelumnya sudah nyaman?
Infrastruktur kehidupan kita seperti pasar, mall, stasiun kereta, bandara, toko-toko, tempat-tempat ibadah, kantor, dan lain-lain akan selalu siap dibuka kapan saja ketika Normal Baru itu berlaku. Meskipun, berlaku tatanan baru dalam mengakses fasilitas-fasilitas itu yang sebelumnya tidak ada.
Yang akan mengisi fasilitas-fasilitas (infrastruktur) itu nantinya adalah kita, manusia, yang memiliki kesadaran tersendiri yang telah terbentuk melalui konsep mentality itu dalam waktu yang lama. Kesadaran awal kita telah terhabituasi sejak lama, bahkan seumur hidup kita.
Nah, kita masuk ke pembicaraan tentang habituasi (pembiasaan) dulu. Dalam Psikologi konsep ini menegaskan bahwa apa pun yang kita hadapi (stimulus) dalam kondisi yang normal akan kita respon secara pelan, bertahap, dan terus menerus sehingga terkadang kita lupa akan stimulus yang dihadapi itu.