Tahun ini secara pasti sebagian umat Islam di Indonesia akan melaksanakan sholat Idul Fitri di rumah masing-masing. Hal serupa mungkin juga terjadi di negara-negara yang terdampak wabah Covid-19 di seluruh dunia.
Sholat Idul Fitri yang kita laksanakan, bukan kemauan kita sendiri, tetapi mengikuti rasionalitas kita dalam beragama.
Hal ini pun seiring dengan seriuan yang dikeluarkannya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang ketentuan pelaksanaan sholat Idul Fitri pada masa pandemi ini. Seruan ini ditanggapi bervariasi oleh umat Islam.
Sebagian menanggapinya dengan sikap sam’an wa tha’atan (menerima tanpa mempersoalkannya), namun ada sebagian yang mempersoalkan karena beberapa alasan.
Di antara alasan yang mengemuka adalah Rasulullah tidak pernah melaksanakan seperti itu, beliau selalu melaksanakan secara berjamaah bersama umat Islam lainnya di tanah lapang, sehingga pelaksanaan ibadah seperti ini diklaim tidak dituntunkan oleh Rasulullah sehingga tidak perlu ditaati.
Terlepas dari pro dan kontra atas seruan tersebut, ada satu hal yang patut dicermati yakni sebuah transformasi kesadaran umat Islam Indonesia.
John O. Voll dalam bukunya Islam: Continuity and Change in the Modern World (1982) menyatakan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, umat Islam selalu berhadapan dengan konteks sejarah yang dinamis yang melatarbelakangi kesadaran beragamanya.
Dalam beragama umat Islam berpegang pada norma dan aturan baku yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah. Namun, dalam merespon perkembangan sejarah terdapat penyesuaian-penyesuaian aturan (ijtihad) dengan kondisi yang melingkupi umat Islam (change).
Penyesuaian itu diyakini sebagai sebuah keharusan, karena konteks sosial terus berubah sementara aturan-aturan yang saat ini dipegangi merupakan produk ijtihad yang dilatarbelakangi konteks pada masanya yang berbeda dengan sekarang.
Meskipun demikian, aturan pokok (ushul, utama) yang menjadi prinsip dari aturan yang ada saat ini tetap dipegang secara berkesinambungan (continuity) sampai sekarang.
Dalam konteks sekarang ini, seruan untuk sholat Id di rumah bagi umat Islam yang wilayahnya terdampak Covid-19 skala besar merupakan bentuk penyesuaian dari aturan yang telah ada sebelumnya.
Seruan ini bukan muncul begitu saja, tetapi ada konteks sosial yang melatarbelakanginya, yakni wabah Covid-19. Kesadaran terhadap konteks sosial ini menjadi jati diri umat Islam Indonesia khususnya dalam merespon berbagai persoalan yang dihadapinya. Ini merupakan model ideal bagi respon terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri umat Islam yang disebut oleh John O. Voll dengan adaptationist.
Meskipun demikian, John O. Voll juga menghadirkan model lain dari respon terhadap perkembangan zaman bagi umat Islam, misalnya fundamentalist dan conservative.
Dengan sedikit berbeda penekanan, keduanya merujuk pada otoritas teks, baik teks normatif dari al-Qur’an dan Hadis, juga teks hasil pemikiran ulama pada masa lampau sebagai acuan baku dan final yang tidak bisa diubah atau diperbarui oleh pikiran umat Islam sekarang.
Kembali pada pembicaraan awal, kita menyadari bahwa wabah Covid-19 merupakan situasi yang terjadi di luar kendali manusia, dan sangat membahayakan kesehatan.
Dengan demikian seruan MUI ataupun Muhammadiyah merupakan respon yang transformatif tanpa menghilangkan aspek kesinambungan dari aturan yang ada.
Seruan itu memang “mengandung” tradisi baru dalam melaksanakan sholat Idul Fitri, seperti diperbolehkan jumlah jamaah yang sangat terbatas, tanpa khutbah setelah shalat, pelaksanaan di rumah, bahkan diperbolehkan tidak melaksanakannya. Namun, semua itu bukan dimaksudkan mengubah aturan begitu saja, tetapi semua itu terkait dengan konteks sosial yang ada.
Kelonggaran-kelonggaran seperti itu sekilas bertentangan dengan “aturan baku” yang selama kita dipegangi. Namun, sikap kita untuk tetap waspada dengan itikad baik melaksanakan seruan itu bukan sesuatu yang bertentangan dengan aturan.
Kalau merujuk pada pandangan Ismail al-Faruqi, sikap kita ini mencerminkan kesadaran kauniyah (relasi kita dengan alam) dan kesadaran tarikhiyah (relasi kita dengan konteks sosial), di samping kesadaran qauliyah (ketaatan kita terhadap teks agama).
Kesadaran kauniyah menjelma dalam diri kita sebagai kesadaran akan temuan-temuan sains tentang bahaya Covid-19 bagi kesehatan kita, demikian pula kesadaran tarikhiyah yang terlihat pada respons kita terhadap seluruh dampak sosial dari Covid-19 yang begitu luas.
Oleh karena itu, ijtihad pemimpin umat Islam di Indonesia dalam pelaksanaan sholat Idul Fitri di rumah merupakan sebuah kesadaran baru agar semakin responsif terhadap perkembangan zaman.
Seandainya kita tetap kukuh pada kesadaran qouliyah saja dengan memegangi aturan yang selama ini ada, kita akan menghadapi situasi yang lebih rumit.
Selanjutnya, kita akan berada pada posisi yang semua orang menuduh kita sebagai agen dari rantai penyebaran Covid-19, dan ini bukan yang kita harapkan.
Sebaliknya, dengan memunculkan kesadaran kauniyah dan tarikhiyah, umat Islam sebagai pilar bangsa Indonesia merupakan agen utama dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19, dan kita akan tetap committed sebagai umat yang membawa rahmat bagi semuanya dengan memupuk subur kesadaran adanya continuity dan change dalam beragama. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H