Meski saat ini cukup gembira menjadi IRT, namun saya memiliki pengalaman bekerja yang cukup berlika-liku. Apalagi, mau tak mau saya memang pernah harus keluar daerah bila tak ingin menjadi ODGJ alias Orang Dengan Gaji Jogja.
Salah satu kota tujuan saya untuk mencari sesuap nasi tentu saja ibukota Jakarta. Saya inget banget, saya ke Jakarta bersama seorang teman SMK. Namun setelah beberapa lama, kami akhirnya berpisah. Lama tak bersua, ternyata kami mengambil jalan yang sama; keluar dari Jakarta.
Saat ngobrol dengan kawan saya itu, ia curhat kalau ia akhirnya memutuskan menjadi TKI di Hongkong. Adapun saya terpaksa menjilat ludah sendiri dengan kembali ke Jogja dengan gaji seadanya. Namun kami tidak menyesali pilihan tersebut.
Jakarta memang keras. Kata teman saya Jakarta bahkan lebih keras dari Hongkong dan Taiwan yang di luar negeri sana.
5 Hal yang Membuat Jakarta Bukan Pilihan Kami
Berdasarkan obrolan dengan kawan saya itu, saya merangkum beberapa hal yang membuat kami akhirnya menyerah dengan Jakarta.
Jakarta adalah Medan Perang
Saya terbiasa hidup di kota pelajar dengan segala privilege sebagai akamsi. Keluarga dan teman-teman saya ada di sini yang bisa membantu bila saya mendapatkan masalah.
Jogja juga merupakan kota yang menurut saya santai dan kalem. Sementara di Jakarta, saya hidup sendiri di lingkungan yang kompetisinya gila-gilaan.
Bila Jogja adalah kota yang memungkinkan seseorang belajar dari kesalahan, Jakarta bisa menghukum orang yang berbuat salah sedikit saja. Ada banyak orang yang siap menggantikan posisi kita bila kerja kita terlalu naif dan bermental 'slow living.'
Lingkungan Penuh Polusi dan Mengancam Kesehatan
Sedari kecil, saya punya masalah dengan pernafasan. Saya juga paling rentan dengan yang namanya batuk pilek. Iklim Jakarta benar-benar tiada ampun untuk orang seperti saya.
Di kota ini juga, teman saya sering gatal-gatal karena air yang keruh. Apalagi saat itu kami memang tinggal di kos-kosan yang sangat sederhana.
Kurang Ideal untuk Kami yang Bukan S1
Saya dan teman saya sama-sama bukan lulusan perguruan tinggi. Kami hanya lulusan SMK. Pilihan kerja kami sangatlah terbatas dengan gaji yang belum tentu UMR. Jangankan bagi kami, mereka yang lulusan S1 saja kadang susah mendapatkan pekerjaan yang layak.
Inilah alasan utama yang membuat teman saya akhirnya memilih menjadi TKI. Sebab dengan ijazah yang sama, ia bisa bekerja dengan gaji berkali-lipat dari lulusan S1 di negeri sendiri.
Macet!
Dulu saya sering banget melihat adegan sinetron di mana salah satu karakternya mengeluh mengenai Jakarta yang macet. Saya kira mengeluh soal kemacetan itu hanya basa-basi saja.
Ternyata oh ternyata, macetnya Jakarta sangat luar biasa. Saya merasa hidup saya hanya habis di tempat kerja dan di jalanan. Saya juga merasa seperti robot, bukan lagi manusia yang butuh ketenangan jiwa.
Kesenjangan yang Membuat Marah
Entah kenapa Jakarta sukses membuat saya sangat pesimis dengan negeri ini. Betul, sebagai orang kampung saya memang terkesima dengan bangunan-bangunan tinggi yang tidak ada di tempat lain.
Namun saya miris melihat kesenjangan yang ada dan dinormalisasi dengan kata-kata "Jakarta memang begini bung!" Di satu sisi jalan, saya bisa melihat orang-orang mengendarai mobil milyaran rupiah, sementara di sisi jalan yang lain, ada pengemis dengan pakaian compang-camping. Benar-benar tidak habis pikir.
Sulit bagi saya membiasakan diri dengan hal itu. Apalagi, saya tahu betul saya bisa bernasib mengenaskan seperti mereka yang hidupnya terlunta-lunta. Karena kegilaan itulah, akhirnya saya memutuskan menjadi ODGJ sementara teman saya menjadi TKI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H