Mohon tunggu...
Usman Wahyu Sudrajat
Usman Wahyu Sudrajat Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasan di Sekolah: Masalah Disiplin atau Penyalahgunaan Kekuasaan?

16 September 2024   08:44 Diperbarui: 16 September 2024   08:49 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kerasan di sekolah telah menjadi isu yang memprihatinkan di Indonesia dan di berbagai belahan dunia. Dalam lingkungan pendidikan, kekerasan tidak hanya melibatkan interaksi antar siswa, tetapi juga kekerasan yang dilakukan oleh pendidik terhadap siswa. Pertanyaan penting yang sering diajukan adalah: apakah kekerasan ini dilakukan sebagai bentuk disiplin yang keliru atau penyalahgunaan kekuasaan oleh guru? Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk memahami konteks kekerasan di sekolah serta dampaknya terhadap proses belajar-mengajar.

Kekerasan di lingkungan sekolah, dalam bentuk fisik, verbal, atau emosional, telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi perkembangan anak. Sementara beberapa guru mungkin beranggapan bahwa tindakan tersebut merupakan cara untuk mendisiplinkan siswa, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa kekerasan sering kali merusak psikologis siswa dan menurunkan efektivitas pendidikan.

Kekerasan Sebagai Bentuk Disiplin?

Beberapa pendidik mungkin menganggap bahwa tindakan keras atau hukuman fisik diperlukan untuk menjaga disiplin di dalam kelas. Dalam banyak kasus, kekerasan digunakan sebagai alat untuk menegakkan aturan atau menghukum perilaku siswa yang dianggap tidak sesuai. Di beberapa sekolah di Indonesia, metode seperti ini masih dipandang sebagai bagian dari budaya disiplin yang ditanamkan sejak lama.

Menurut penelitian dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kekerasan fisik terhadap siswa oleh guru masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia . Bentuk kekerasan ini bisa berupa memukul, menendang, atau tindakan fisik lain yang dimaksudkan untuk "mendisiplinkan" siswa. Dalam beberapa kasus, tindakan semacam ini diabaikan atau bahkan didukung oleh pihak sekolah dan orang tua, yang percaya bahwa hukuman fisik akan membuat anak-anak lebih patuh.

Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa hukuman fisik tidak hanya tidak efektif dalam jangka panjang, tetapi juga dapat menimbulkan dampak psikologis yang mendalam pada anak. Menurut American Psychological Association (APA), kekerasan dalam bentuk hukuman fisik dapat meningkatkan agresivitas siswa, menurunkan harga diri mereka, dan mengganggu hubungan siswa-guru . Alih-alih memperbaiki perilaku, hukuman fisik cenderung menyebabkan rasa takut dan trauma yang berkepanjangan pada siswa.

kekerasan di sekolah juga sering kali terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan oleh pendidik. Sebagai figur otoritas di dalam kelas, guru memiliki pengaruh besar terhadap siswa. Dalam beberapa kasus, pengaruh ini disalahgunakan, di mana guru menggunakan kekerasan atau ancaman sebagai cara untuk menunjukkan kekuasaan atau mempertahankan otoritas di hadapan siswa.

Pnyalahgunaan kekuasaan ini bisa terjadi karena berbagai faktor, seperti kurangnya pelatihan profesional, stres akibat beban kerja, atau ketidakmampuan untuk mengelola kelas dengan cara yang efektif. Seorang guru yang tidak terlatih dengan baik dalam manajemen kelas dan psikologi anak mungkin merasa bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan kendali adalah dengan menggunakan kekerasan. Ini menandakan adanya masalah struktural yang lebih luas dalam sistem pendidikan, di mana guru tidak mendapatkan dukungan yang memadai untuk mengatasi tantangan di kelas.

Di sisi lain, ada juga kasus di mana kekerasan terjadi sebagai bentuk pelecehan terhadap siswa. Kasus-kasus pelecehan seksual oleh pendidik terhadap siswa di berbagai sekolah Indonesia menunjukkan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang sangat serius. Penelitian dari KPAI mencatat bahwa sepanjang tahun 2022, ada peningkatan signifikan dalam jumlah laporan pelecehan seksual di sekolah . Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa posisi otoritas yang dipegang oleh guru dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi yang merugikan siswa secara fisik dan mental.

Dampak Psikologis dan Pendidikan Kekerasan di Sekolah

Kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan memiliki dampak yang sangat besar terhadap perkembangan psikologis dan akademik siswa. Siswa yang menjadi korban kekerasan fisik atau verbal sering kali mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan. Trauma ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri mereka, kemampuan untuk berinteraksi sosial, serta prestasi akademis mereka.

Penelitian oleh UNICEF menunjukkan bahwa kekerasan di sekolah dapat menyebabkan siswa merasa tidak aman, kehilangan motivasi belajar, dan bahkan putus sekolah . Siswa yang mengalami kekerasan sering kali merasa takut untuk bersekolah dan tidak dapat berkonsentrasi selama proses belajar-mengajar. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menghambat pencapaian akademik mereka dan mengurangi kualitas sumber daya manusia di Indonesia.

Lebih jauh lagi, kekerasan di sekolah juga dapat menciptakan siklus kekerasan di masa depan. Siswa yang terbiasa menjadi korban atau pelaku kekerasan di sekolah cenderung menginternalisasi perilaku tersebut dan mengulanginya di kehidupan dewasa, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat.

Solusi Mengatasi Kekerasan di Sekolah

Untuk mengatasi masalah kekerasan di sekolah, pendekatan yang komprehensif diperlukan. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:

1. Pelatihan Guru dalam Manajemen Kelas dan Psikologi Anak: Guru harus diberikan pelatihan yang memadai dalam manajemen kelas tanpa menggunakan kekerasan. Pelatihan ini juga harus mencakup pemahaman tentang psikologi anak dan bagaimana cara mengatasi perilaku siswa yang bermasalah tanpa harus menggunakan hukuman fisik.

2. Penguatan Regulasi dan Penegakan Hukum: Pemerintah perlu mengawasi dan menindak tegas guru atau pendidik yang melakukan kekerasan terhadap siswa. Undang-Undang Perlindungan Anak dan berbagai regulasi terkait perlu ditegakkan dengan ketat untuk memberikan perlindungan kepada siswa.

3. Pendidikan Karakter di Sekolah: kurikulum pendidikan harus memperkuat pendidikan karakter yang menekankan nilai-nilai seperti penghormatan terhadap sesama, empati, dan resolusi konflik tanpa kekerasan. Ini akan membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif dan mendukung perkembangan siswa secara holistik.

4. Sistem Pelaporan Kekerasan yang Efektif: Sekolah harus menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia bagi siswa yang menjadi korban kekerasan. Siswa harus merasa bahwa mereka dapat melaporkan kekerasan tanpa takut akan adanya pembalasan atau stigma.

Kesimpulan

Kekerasan di sekolah merupakan masalah yang kompleks dan sering kali melibatkan berbagai faktor, mulai dari persepsi yang keliru tentang disiplin hingga penyalahgunaan kekuasaan oleh pendidik. Terlepas dari niat awalnya, kekerasan di sekolah tidak pernah dapat dibenarkan karena dampak negatifnya yang sangat besar terhadap perkembangan anak, baik secara psikologis maupun akademis. Oleh karena itu, langkah-langkah pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah harus dilakukan secara menyeluruh, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, guru, siswa, dan masyarakat. Dengan demikian, diharapkan sekolah dapat menjadi lingkungan yang aman dan mendukung bagi perkembangan generasi penerus bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun