Hari ini kita memperingati, merayakan, perayaan tahunan, ulang tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia Tercinta. Hari ini mari kita bercermin, menilai, mengintropeksi, bermuhasabbah, Apakah kita ini sudah benar-benar merdeka...? Apakah Kita ini sudah selesai berjuang cukup sampai di sini saja...?
Pembaca..., Kalau  saya harus jujur dari hati Nurani, kita ini sebenarnya belum merdeka seutuhnya. kenapa saya berani berkata seperti ini. Sebab begini....
Jaman dulu, jaman penjajahan, nenek moyang kita, saudara-saudara kita setanah air dan sebangsa. Ada di suriname, ada di rusia, ada di berbagai negara. Berkerja sebagai buruh kasar, dikirim oleh belanda. Sekarang juga sama, saudara-saudara kita ada di mana-mana, di Cina bejing ada, di Hongkong, di Taiwan, di Malaysia, Brunei, Singapura, di Suriah sebelum pecah perang, di Qatar, di Kuwait, di Bahrain, di Oman, di Dubai ada, di Arab Saudi banyak. Kalau tidak jadi sopir jadi pembantu, dikirim sebagai buruh kasar. Hanya saja dulu dan sekarang ada perbedaanya. Apa perbedaannya...?
Dulu dikirim belanda, sekarang dipilih pemerintah. Lalu apa bedanya merdeka dengan tidak merdeka. Kalau masih susah cari makan, apalagi mengenyam pindidikan yang bermutu. Merdeka baru berasa jika dijalani oleh orang yang benar-benar merdeka. merdeka dari apa......???
Merdeka dari kebodohan, merdeka dari pemikiran yang terbelakang, prinsip yang bodoh dan merdeka dari segala macam bentuk kemusyrikan. orang yang bodoh tidak bisa mensyukuri arti kemerdekaan yang sesungguhnya kecuali mengisi kemerdekaan dengan perayaan saja.
"Barangsiapa menginginkan sukses di dunia maka ada ilmunya kuasailah ilmunya, barangsiapa ingin sukses di akhirat maka ada ilmunya kuasai ilmunya, barangsiapa ingin sukses kedua-duanya, dunia akhirat maka ada ilmunya kuasailah kedua ilmunya." (HR. Ahmad)
Saudaraku seindoneia, kita belum selesai berjuang. Kita harus meneruskan perjuangan-perjuangan para pahlawan yang telah lebih dulu mendahului kita kembali ke rahmatullah. Dulu beliau, para jendral, ulama, para pahlawan tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu. Berjuang berdarah- darah, mengorbankan harta jiwa dan raga, untuk memperjuangkan hak-hak kita, masa depan generasi penerus bangsa.
Agar apa....?
agar mendapatkan kesetaraan Pendidikan karena dulu kita dikastakan, yang diharapkan dengan Pendidikan tersebut kita bisa setara dalam hal ekonomi dan social, bahkan lebih unggul dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya. Tapi pada kenyataannya yang diperjuangkan tidak merasa diperjuangkan, memaknai kemerdekaan hanya merdeka dari penjajah, merdeka dari gencatan senjata dar..., der..., dor..., merdeka dari bom. Dulu kita di jajah belanda, dulu kita jajah jepang, dulu kita dijajah pki, sekarang kita dijajah uang, demi uang kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, demi untuk mencari makan, kerja mati-matian, tapi hasil tidak seberapa..., kenapa susah....?, sudah 78 tahun kita merdeka, apa yang salah...?.Â
Ternyata yang kita butuhkan adalah sebuah Pendidikan bagaimana mencetak generasi yang handal, dimana...?, tentunya dari keluarga yang handal pula, lalu bagaimana membentuk, membangun keluarga yang handal, maka yang dibutuhkan adalah kurikulum pernikahan yang mengajarkan bagaimana menjadi istri yang the best, bagaimana menjadi suami yang the best, bagaimana menjadi mendidik anak yang the best, bahkan bagaimana menjadi mertua yang the best. Ayah, ibu, keluarga adalah kepemimpinan terkecil dari sebuah negara. Mereka seperti akar, negara itu seperti pohon. negara itu bisa berdiri tegak kalau akar-akarnya kokoh. Walaupun dibangun berbagai pelatihan, Gedung Pendidikan bertingkat tinggi, elit nan mewah.Â
Tapi pada kenyataannya masih banyak orang tua yang tidak memiliki ilmu menjalani pernikahan, ilmu mendidik anak, ilmu menjadi pasangan. Maka semua itu akan sia-sia tidak akan pernah mengentas dari yang namanya kemiskinan. Istri yang berilmu dengan yang tidak berilmu cara memperlakukan pasangannya berbeda dan hasilnya pasti berbeda, suami yang berilmu dengan yang tidak berilmu cara memperlakukan pasangannya berbeda dan hasilnya berbeda.Â