Aku tak sabar ingin segera mendapatkan dompetku dan segera pulang agar bisa salat magrib di rumah. Namun dia tampak berhati-hati. "Sabar, kita ngopi-ngopi dulu," ajaknya. Kami duduk di bangku tukang nasi goreng.
"Jadi sekarang dompetnya ada di siapa?" Nada bicaraku agak tinggi karena dia tidak mengucapkannya secara pasti juga tidak segera menunjukkannya.
Tampaknya dia kurang suka. "Dompet sekarang ada pada saya. Saya tidak boleh gegabah. Ini sudah untung. Kalau orang lain bisa saja uangnya diambil dompetnya dibuang, tidak peduli dengan surat-suratnya. Saya sih apa pun saya ladeni, cara halus atau cara kasar."
Aku tak enak hati, tapi aku berusaha mengalah agar dia memaklumi kelancanganku, "Ya betul." Â Â
Mungkin dia bingung, apa buktinya kalau dompet yang dibawanya milikku. Aku menunjukkan foto KTP-ku di ponsel agar dia yakin.
"Takutnya salah orang, kan bisa bahaya."
"Betul." Â Aku berusaha memahami arah ucapannya. Ternyata, secara halus terucap juga harapannya untuk mendapatkan imbalan uang sekadar untuk membeli rokok, katanya. Kutunjuknan uang yang terselip di sampul ponselku untuk memastikan bahwa aku akan meberinya uang. "Itu ceritanya dompet saya ditemukan dimana?"
"Saya dengan Ijul pulang lewat Dumpit arah Curug. Saat itu hujan yah, banyak orang yang berteduh. Wah ada dompet di jalan, yang ada gajlukan kecil-kecil, dekat lapangan bola. Saya berhenti dan memungutnya. Orang di situ tidah ada yang memperhatikan. Mungkin mereka tidak melihatnya. Setelah itu kami jalan saja"
"Oooooh, berarti itu di depan perumahan Grand Duta, Cijengir. Gajlukan atau polisi tidurnya di situ ada tujuh. Oh di situ yah jatuhnya."
Dia menyerakhan dompetku. Aku memeriksanya, isinya ternyata lengkap, kecuali uangnya yamg sudah aku izinkan Ijul mengambilnya.
Jelaslah posisi jatuhnya dompetku dan penyebabnya. Selain karena ada gajlukan, juga karena saku belakang celanaku terlalu cetek. Di tempat kerja saat duduk pernah dua kali dompetku jatuh tanpa kusadari ketika memakai celana abu-abu itu.