Selanjutnya, sehari sebelum pelaksanaan kami menyiapkan tempat. Malamnya kami begadang, mulai dari bakda isya kami berkumpul di lokasi sambil menanti kabar datangnya kartu suara dan lain-lain di gedung kelurahan. Â
Sekitar pukul tiga pagi barulah kami menjemput perangkat pemilu  berupa kotak suara, surat suara, dan lain-lain dengan mobil bak terbuka. Dalam perjalanan yang  jarakanya hanya sekira satu kilometer rekan kami yang duduk di ujung bak ada yang nyaris celaka, yakni kejedot kotak suara akibat sopir tancap gas dan mengerem mendadak.
Waktu yang terlalu singkat dalam mempersiapkan segala sesuatunya untuk segera melayani calon memilih berdampak juga kepada mental kami. Lumayan stres. Minimnya konsumsi juga turut menguragi stamina fisik kami. Namun sebagai ketua saya berusaha menunjukkan optimisme dan semangat. Â
Pemungutan suara berlangsung lancar di enam TPS kala itu, tak ada kendala berarti. Masalah muncul justru dalam hal teknis administrasi akibat kurangnya pemahaman saya. Proses penghitungan suara dan pengadministrasiannya ternyata  amat melelahkan, terlebih kami tengah malam lapar.
Sesuai jadwal, semua kotak suara diangkut ke kelurahan  dengan satu mobil bak terbuka. Satu petugas satlinmas duduk di ujung bak. Tak ada tali pengikat kotak suara.Â
Akibatnya, begitu roda mobil menlindas gajukan  alias polisi tidur sang petugas itu terjengkang. Bagian atas kepalanya terbanting ke aspal jalan. Dia langsung pingsan. Kepalannya bocor.Â
Saya menyaksikan kejadian itu di belakangnya. Â Mengerikan. Â Ada rekan lain yang membantu. Saya bersama rekan terus ke kelurahan. Suasananya "pakewuh" dan tegang karena banyaknya orang dan tumpukan kotak suara serta dengan urusan yang dianggap sangat rawan demi menjaga keamanan kotak suara.
Ternyata, pada saat yang relatif bersamaan, seperti yang dilansir Kompas.com kemudian, tercatat sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia. Penyebabnya sakit dan kelelahan. Mungkin itu pemilu paling tragis sepanjang sejarah. Beruntung di kelurahan kami tidak terdengar kabar ada yang sampai meninggal dunia.
Pertanggungjawaban ketua tidak hanya sampai di area kantor kelurahan menyerahkan kotak suara beserta isinya dan hasil rekapitulasinya. Jika suatu saat diketahui terdapat kesalahan saya harus siap memenuhi panggilan ke ditingkat kecamatan. Itu jadi beban pikiran bagi saya. Saya kira beban anggota lebih ringan.
Sedikit trauma bagi saya, sehingga jauh-jauh hari saya katakan kepada ketua RT agar tidak lagi menunjuk saya untuk Pemilu 2024. Saya saya ingin bebas. Namun jika nantinya ternyata masih kekurangan tenaga untuk jadi anggota rasa-rasanya saya tidak bisa menolak jika diminta. Saya juga ingin pelaksanaan pencoblosan di kampung saya berjalan baik.  Andai saya menjadi  anggota dan mendapat honor satu juta seratus ribu rupiah saya kira lumayan juga bahkan cukup besar jika dibandingkan dengan gaji UMR sebulan mengingat jam kerjanya relatif singkat.
Untuk mengurangi hal-hal yang tidak dikehendaki, menjadi anggota KPPS diharuskan dalam kondisi sehat. Namun jika terjadi sesuatu semisal kecelakaan pemerintah tidak menyediakan asuransi melainkan hanya memberikan santunan yang bersumber dari APBN. Begitu katanya. Namun apa pun itu kita semua berharap semoga Pemilu 2024 berlangsung kondusif, tanpa kecurangan. Baik paslon maupun para pendukungnya bersedia menerima kekalahan jika itu terjadi.[] Â Â Â Â Â Â