Istriku meninggal dunia akibat kanker kelenjar getah bening ketika anak semata wayangku berusia satu setengah tahun. Delapan bulan berselang aku berjodoh dengan Elma, gadis asal Bima, Nusa Tenggara Barat. Kuboyong dia ke kediamanku di Tangerang. Setiap pagi aku berangkat kerja dan pulang sore, sedangkan Elma memilih menjadi ibu rumah tangga sambil mengurus anakku, Delia.
Dari hari pernikahan hingga tiga ratus lima puluh lima hari berlalu belum ada tanda-tanda kehamilan pada diri Elma. Kendati amat menyayangi Delia dia juga sangat menginginkan anak yang lahir dari rahimnya. Aku pun sama. Kukira punya anak dua cukuplah. Kami pun bersepakat untuk melaksanakan program kehamilan.
Sebelum menyerahkan soal kehamilan kepada dokter ahli kandungan kami mulai mencari-cari informasi berkaitan dengan kehamilam. Aku memesan buku Cepat Hamil secara daring. Begitu bukunya tiba, kami membacanya dan mendiskusikannya. Hal-hal yang harus dipraktekkan kami praktekkan hingga berulang-ulang. Kendati tak ada tanda-tanda kehamilan, kami mencoba mengetesnya dengan tespek, tentu saja garis satu, yang berarti negatif. Iseng-iseng kujemur dalam beberapa jam tespek tersebut barangkali berubah menjadi garis dua. Ternyata tetap bergaris satu. Â Â
Ibu mertua menyarankan agar Elma meminta bantuan kepada Nenek Nikmah di Sambina'e seperti yang pernah dilakukan oleh Eriana, kakak kembar dari Elma. Atas izin Allah, Eriana pun hamil dan punya anak. Sedangkan kehamilan keduanya terjadi dengan mudah. Aku setujui keinginan Elma untuk meminta bantuan Nenek Nikmah. Â
Pada momentum lebaran 2014 kami pulang kampung ke tempat kelahiran Elma dengan pesawat dari Jakarta. Kami berada di sana dua pekan. Dalam dua pekan itulah secara berselang hari aku mengantar Elma. Kendati sudah sepuh, Nenek Nikmah masih tampak sehat. Dia tinggal bersama cucunya di rumah panggung yang kayu-kayunya tampak sudah lama dan sebagian rapuh. Konon dia cukup berpengalaman membantu orang yang sulit mendapatkan keturunan dan umumnya berhasil.
Selain diurut pada bagian perut, Elma diberi minuman ramuan herbal yang dibuatnya. Tanpa kesulitan, Elma pun meminumnya satu gelas walaupun aroma bau bawang merahnya menyengat. Ramuan serupa diberikan juga untuk diminum di rumah. Sesuai permintaan, pada kesempatan berikutnya kami membawa kepala hijau. Kelapa hijau itulah yang digunakan untuk ramuannya. Entah dengan apa lagi campurannya selain dengan bawang merah. Karena bau bawang merahnya yang menyengat aku tak sanggup meminumnya walaupun dibolehkan.
Masa program itu harusnya tiga bulan. Namun karena keterbatasan waktu kami di sana hal itu diselesaikan dalam dua pekan. Hal teknis yang disarankan Nenek Nikmah kami praktekkan di rumah. Namun hingga bulan-bulan berganti belum juga ada indikasi kehamilan.
Aku menemani Elma mendatangi dokter Rini, spesialis kebidanan dan kandungan di Rumah Sakit Assyifa di Jalan Wedang Jahe. Elma mendapat nomor antrean 20. Yang sedang ditangani baru pasien nomor antrean 3. Sambil menanti giliran yang masih lama Elma menemani aku ke tukang bubur ayam. Makan bubur ayam hal biasa bagiku, tapi ternyata tidak bagi Elma. "Gak doyan," katanya. Rupanya di kampungnya tidak ada tukang bubur ayam. Aku bujuk dia agar mau mencicipi. Setelah cicipan pertama, lalu kedua dan ketiga. "Enak?" kataku. Dia mengangguk. Aku pesankan semangkuk untuk Elma. Elma pun menghabiskannya. Itulah kali pertama Elma makan bubur ayam yang ternyata enak.
Program dengan dokter Rini dijalani sampai tuntas. Hasil diagnosanya tak ditemukan faktor penghambatnya. Tinggallah kami menunggu hasilnya. Hingga pekan berganti bulan, ibarat bercocok tanam, tak ada benih yang tumbuh. Kami tak merasa perlu untuk kembali ke rumah sakit tersebut.
Ketersediaan dana juga menjadi salah satu penentu kami berobat ke dokter atau tidak. Dalam waktu yang agak lama kami hanya mengikuti resep-resep tradisional dan mengonsumsi nutrisi yang memungkinkan terjadinya kesuburan rahim. Seorang teman menganjurkan aku mengonsumsi sate kelinci, selain banyak makan tauge. Semua yang menurut aku masuk akal dan aku mampu melakukannya aku turuti. Â Kukira ikhtiarku tidak kurang.