Nephelium lappaceum nama ilmiahnya, famili sapindaceae. Waktu SMP, sebelum membaca kamus aku tidak percaya bahwa rambutan ternyata bahasa Inggrisnya rambutan juga. Meskipun begitu ternyata di nusantara sebutannya berbeda-beda. Di Sumatera ada yang menyebutnya rambutan, rambot, rambut, rambuteun, rambuta, jailan, folui, bairabit, dan puru. Di Jawa, selain lazim disebut rambutan juga ada yang menyebutnya corogol, tundun, bunglon, dan buwa buluwan. Di Nusa Tenggara disebut buluan, dan rambuta (tanpa konsonan akhir n). Di Kalimantan selain disebut rambutan, juga disebut siban, banamon, beriti, sanggalaong, sagalong, beliti, malit, kayokan, bengayau, puson. Di Sulawesi juga disebut rambutan, sebutan lain ada juga yakni rambuta, rambusa, barangkasa, bolangat, balatu, balatung, walatu, wayatu, wilatu, wulangas, lelamu, lelamun, toleang. Sedangkan di Maluku selain rambutan disebut juga rambuta.
Jenisnya juga bermacam-macam, mungkin mencapai puluhan, dari yang disebut sebagai rambutan biji yang asam dan tidak ngelotok sampai rambutan ngelotok dan manis yang salah satunya biasa disebut rapi’ah. Dulu beberapa jenis rambutan terdapat di kebun ayah. Di situ pula kami tinggal. Sayang, lahan tempat ayah bercocok tanam terkena proyek sutet alias saluran udara tegangan tinggi.Semua pohon rambutan ayah, termasuk sejumlah pohon lainnya dieksekusi. Dengan berat hati ayah harus kehilangan pohon rambutan cangkokannya yang telah beberapa musim berbuah. Semua pohon rambutan itu dihargai dengan harga yang sangat murah, tidak sebanding dengan keuntungan yang bakal diperoleh dari tahun ke tahun karena buahnya yang lebat. Karena adanya sutet itu pulalah kami harus pindah rumah ke tengah kampung, dekat rumah kakek. Kami merasa tidak aman tinggal di bawah tegangan listrik yang begitu tinggi. Beberapa tahun kemudian lahan seluas tiga ribu meter persegi itu pun dibeli oleh dinas pertamanan dan pemakaman. Harganya kurang dari separuh harga normal. Tanah itu kemudian berfungsi sebagai tempat pemakaman
Meskipun sebagai anak satu-satunya dari kakek dan nenek, ternyata anak ayah banyak. Empat belas. Maklumlah, program keluarga berencana tidak masuk dalam kerangka pikiran ayah dan ibu. Dua anak meninggal dunia semasa bayi. Yang ada, tujuh laki-laki dan lima perempuan. Dari dua belas yang ada, dua anak ayah tinggal di luar daerah, yakni anak kelima di Kupang dan anak kesembilan di Bali. Tiga anak lainnya tinggal di luar kampung. Selebihnya, membangun rumah di sekitar rumah ayah dan ada yang mendiami rumah mendiang kakek-nenek. Rumah yang kami tempati masing-masing beserta tanahnya menjadi jatah masing-masing pula. Sebagiannyabahkan ada yang telah mempunyai sertifikatnya.
Sementara itu, belakangan setelah menikah si bungsu tinggal bersama mertuanya di kampung seberang, kampung yang berbatasan dengan sungai kecil. Ternyata dia hanya tahan tiga bulan di sana, tidak betah katanya. Sebagai anak lelaki bungsu, dia sering disebut ibu sebagai dicalonkan pewaris rumah yang kini ditinggali ayah dan ibu. Jika kelak keduanya telah tiada, rumah itu menjadi hak miliknya. Jika dikalkulasi nilainya lebih besar dari jatah yang kami dapatkan. Namun belum ada yang mengajukan keberatan secara terang-terangan ihwal rencana itu.
Ibu pernah meminta si bungsu memboyong istrinya untuk tinggal bersama ibu dan ayah, tetapi istrinya tidak mau. Belakangan si bungsu meminta ayah dan ibu membangunkan rumah. Sayangnya, kini hanya ada lahan di depan rumah yang tersisa. Luasnya tak lebih dari seratus meter persegi. Di atas lahan itu ada sebuah pohon rambutan peninggalan kakek, persis di tengahnya. Kakeklah yang menanamnya semasa ayah masih remaja. Jika si bungsu jadi membangun atau dibangunkan rumah di situ berarti pohon rambutan itu harus ditebang.
Kabar adanya rencana penebangan pohon rambutan satu-satunya itu dengan cepat sampai ke telinga seluruh anak ayah, saudara-saudaraku. Bahkan yang berada di luar daerah pun ada yang mengabarinya. Dari kedua belas bersaudara, reaksinya beragam. Ada yang pro, ada yang kontra, ada pula yang masa bodoh dan terserah. Untuk membicarakan hal itu ibu meminta kedua belas anaknya berkumpul.
“Mereka punya kesibukan masing-masing, Bu!” sergah ayah.
“Apa salahnya mereka menyediakan sedikit waktu untuk berkumpul dengan keluarga.”
“Seperti akan dibagi-bagi warisan saja.”
“Sebagai anak sekandung mereka harus saling mengasihi dan saling akur. Mumpung kita masih hidup. Kalau kita sudah tidak ada siapa yang mengatur mereka biar tetap akur. Itu tugas kita orang tuanya, Pak.”
“Mereka sudah dewasa, Bu. Sudah punya anak, bahkan bercucu. Memang, pohon rambutan itu bapakku yang menanam, lahannya juga miliknya, kan suamimu ini ahli warisnya. Anak satu-satunya! Yang berhak memutuskan menebang atau tidak kan aku.”
“Ngerti Pak, tapi apa tidak sebaiknya mereka diajak musyawarah terkait rencana pembangunan rumah Sarudin di lahan yang ada pohon rambutannya itu.”
“Memang mereka mau membantu biayanya? Terserah Ibulah! Coba saja kumpulkan mereka kalau bisa.”
“Lo, Bapak kok gitu. Bapak juga harus bantu kumpulkan mereka.”
“Iya, iya…” Bapak pergi ke belakang.
Ibu mendekatiku. “Kau setuju kan Karim?”
“Iya Bu. Tapi Kak Sarmain, liburnya hanya lebaran. Perusahaan penerbangan tempat dia bekerja di Kupang itu tidak bakalan memberi izin kecuali libur sekitar lebaran.”
“Ya sudah, kalau begitu kita musyawarah keluarganya sekalian lebaran saja.”
“Tapi lebaran masih empat bulan lagi, Bu.”
“Biarlah, dengan begitu masih ada kesempatan bagi pohon rambutan itu untuk berbuah semusim lagi kalau-kalau jadi ditebang nantinya.”
Dulu kakek pernah memotong pohon rambutan itu hingga tersisa beberapa jengkal saja. Selanjutnya tumbuh beberapa semi. Dua diantaranya kemudian menjadi batang pohon. Kini besarnya masing-masing hanya mencapai selingkar paha orang dewasa. Dahannya banyak dan daunnya rimbun. Saat musim berbuah, kulit buahnya merah kekuningan sampai merah tua. Rambutnya kasar agak jarang. Rasanya manis dengan sedikit asam. Untuk membuat pohonnya bertambah subur, ayah membuatkannya parit lingkaran sekitar dua jengkal lebarnya. Di situlah pupuk kandang ditaburkan. Tanahnya jadi gembur dan subur. Akibat dari kesuburan tanahnya pohonnya pun kokoh dan daunnya rimbun dan hijau. Ketika musim berbuah, buahnya besar-besar.
Tibalah saatnya lebaran hari kedua, dua saudara kami yang di luar daerah tidak hadir. Anak ayah yang di Kupang hanya mengirim pesan, soal pohon rambutan mereka terserah saja mana yang terbaik. Sedangkan yang di Bali, jika bagi-bagi uang, katanya dengan berseloroh , harap dikirim melalui rekeningnya. Hal itu disampaikan adikku kepada semua yang hadir. Kami berkumpul melingkar di ruang tengah sambil menikmati berbagai hidangan buatan ibu, dari rengginang comot sampai wajik Bandung. Setelah bicara ngalor-ngidul, sampailah pembicaraan ibu pada ihwal pohon rambutan dan rencana membangun rumah untuk si bungsu Sarudin.
Ibu mempersilakan kami menanggapi. Sesaat kami saling diam. Sementara itu, tahu bahwa dirinya akan dibicarakan, Sarudin menghindar dan pergi.
“Madin!” Ibu menunjuk anak ketiga.
“Terserah, aku tidak ada pendapat, Bu.” Meskipun berkata begitu, wajahnya menyiratkan keberatan.
“Begini, aku tidak keberatan Sarudin dibuatkan rumah di situ,“ Madrani angkat bicara, “ tapi kalau saja pohon rambutan itu tidak produktif dan bukan kakek yang menanamnya mungkin tidak menjadi masalah. Memang bapaklah ahli warisnya, tapi dari buah rambutan yang dihasilkan itu sesungguhnya menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir untuk kakek. Selama pohon rambutan itu membawa manfaat, maka kakek akan terus menuai pahala atas jasanya. Jika pohon rambutan itu ditebang maka putuslah amal jariyah kakek. Bukankah semasa hidupnya kakek menyayangi kita semua. Dengan cara apa kita bisa membalas budi baik kakek. Kirim doa kita jarang, sedekah atas nama kakek pun mungkin kita tidak pernah. Paling tidak, kita harus sanggup membiarkan pohon rambutan itu untuk tetap ada. Sekalipun kelak pohon rambutan itu mati, mati karena memang seharusnya mati, bukan karena kita yang menebangnya. Kalau di antara kita berani menebangnya, aku khawatir bisa kualat, hidupnya tidak berkah karena memutus pahala amal jariyah yang seharusnya menjadi hak kakek di alam sana.”
Ma’rifat mencoba bicara. “Aku melihatnya lebih pada sisi mudaratnya. Sekarang Sarudin butuh lahan untuk membangun rumah. Pada prinsipya aku setuju saja Bu. Kasihan dia jadi bulan-bulanan, dilecehkan di rumah mertuanya. Soal apa yang terjadi dengan mendiang kakek itu wallahualam. Aku tidak mengerti.”
Mardiyah menambahkan, “Pohon rambutan simacan itu tinggal satu-satunya, dulu yang menanam kakek. Kita tahu bahwa pohon rambutan itu setiap tahun berbuah. Apalagi ini rambutan simacan, buahnya enak. Siapa yang memakan buahnya tanpa harus membelinya? Kita semua bukan? Kalau punbuahnya dijual, siapa yang memakai duitnya, di antara kita juga bukan? Selain itu, lahan itu menjadi tempat penyerapan air sekaligus menjadi ruang terbuka hijau yang berguna bagi kita yang berada di sekitarnya. Kalau tidak ada satupun pohon yang teduh, udara di sekitar kita jadi bertambaah panas. Kalau pohon rambutan itu jadi ditebang, apakah Sarudin atau kita semua sanggup menggantikan pahala amal jariyah yang menjadi hak kakek? Memang, secara otomatis semenjak kakek meninggal dunia hak waris jatuh kepada bapak, tapi pahala amal jariyahnya tetap menjadi hak kakek. Jika bapak memelihara pohon rambutan itu demi melanggengkan amal jariyah kakek, itu sebagai bentuk bakti anak kepada bapaknya. Itu amal ibadah tersendiri. Jadi, sebaiknya janganlah membangun rumah di situ.”
Tamin mencoba bicara. “Sarudin butuh tempat untuk membangun rumah, sedangkan tidak ada lagi lahan yang bisa digunakan. Semua telah terbagi-bagi dan sebagian telah terjual untuk biaya segala macam.”
“Bukankah Sarudin nantinya akan diwarisi rumah ini?” cetus Ayati.”Bagaimana kalau untuk sementara Sarudin mengontrak saja di tempat lain.”
Ibu menukas, “Untuk keperluan sehari-hari saja repot. Memangnya siapa yang mau membayari ongkos kontraknya?”
“Pindahkan saja pohonnya!” Ayati mendapat ide.
“Tidak mudah memindahkan pohon sebesar itu. Lagi pula, mau dipindahkan ke mana? Sudah tidak ada lagi lahan.” Marjuki menukas.
Ayati mencoba mencari solusi.“Supaya simacan tetap ada penerusnya, bagaimana kalau kita lakukan pencangkokan saja? Dengan begitu rambutan simacan akan ada penerusanya.”
“Selain perlu waktu, hasil cangkoknya mau ditanam dimana, di pot? Memangnya tanaman hias?!” Marjuki ketus.
Perdebatan tak menemukan kesimpulan. Ibu bingung, sedangkan bapak enggan bicara. Suasana kian tak kondusif. Aku mencoba menengahi. “Ibu, Bapak, dan saudara-saudaraku. Ibu dan bapak telah sepuh, butuh bantuan, butuh orang yang merawat. Jika istri Sarudin tidak bersedia tinggal serumah bersama ibu dan bapak, bagaimana kalau Kak Sarifah tinggal bersama ibu dan bapak. Selanjutnya Sarudin bersama istrinya menempati rumah Kak Sarifah. Itu pun kalau Kak Sarifah dan suaminya tidak keberatan. Nah, kelak, mohon maaf, kalau ada sisa semua rumah dan sisa harta ibu dan bapak menjadi hak Kak Sarifah. Jadi,bagi siapapun dari kita yang bersedia tinggal bersama ibu-bapak dan mengurusi keduanya sampai akhir hayatnya, dialah yang berhak menerima semua sisa harta ibu-bapak. Itu pun jika bapak dan ibu berkenan. Ini cuma usul kok. Dengan begitu kita bisa membiarkan pohon rambutan menyumbangkan buahnya sepanjang tahun, juga menyumbang oksigen setiap saat bagi kita yang berada di sekitarnya.”
Sarifah angkat bicara. “Aku harus bermusyawarah dulu dengan Kang Somat, tapi ibu dan bapak belum tentu mau seperti itu.”
Satu per satu beberapa orang dari kami mencoba meninggalkan ruangan dengan berbagai alasan. Rapat tak resmi ala keluarga kami itu bubar dengan sendirinya tanpa menghasilkan kesepakatan yang jelas. Maklumlah, kami bukan keluarga terdidik. Wawasan dan pengetahuan kami dalam berbagal hal amat kurang.
Hingga belasan hari kemudian tak terjadi perubahan apa pun. Si bungsu Sarudin masih tetap tinggal bersama mertuanya. Sarifah pun masih tetap di rumah bekas mendiang kakek. Selanjutnya, tanpa sepengetahuan kami anak-anaknya, bahkan ibu yang tinggal serumah, bapak telah menyuruh seseorang menebang pohon rambutan dan menggali bongkolnya. Bapak juga mulai belanja bahan bangunan. Tukang bangunan datang dan segeramembuat pondasi. Hal itu mengejutkan kami. Entahlah dari mana bapak mendapatkan uang.
“Jadi Bapak akan membangunkan rumah buat Sarudin?” tanyaku dengan nada santun.
“Tidak. Bapak ingin punya musolah, Rim.” Nada bicara bapak lembut.
Sama sekali di luar dugaanku, dulu aku pernah mengusulkan agar keluarga kami punya musolah karena jarak rumah kami dengan masjid kampung lumayan jauh, tetapi bapak tidak menanggapinya.
“Kalau boleh tahu, apa yang menggerakkan hati Bapak untuk membangun musolah?”
“Bapak yakin Rim, Gusti Allah telah mengirim mimpi baik kepada bapak suatu malam. Dalam mimpi itu seseorang, mungkin malaikat,menyarankan bapak agar segera membangun musolah. Bapakjadi ingat wasiat kakekmu dulu. Katanya, kalau bisa bapak menyisakan tanah dan membangun musolah. Tolong bantu bapak untuk memakmurkan musolah kita nantinya, Rim.”
“Insya Allah, Pak.”
Sungguh sayang, aku tak bisa maksimal membantu bapak membiayai pembangunan musolah. Yang bisa aku lakukan adalah mengajak saudara-saudaraku agar mereka menyumbang dana semampunya. Kedua saudaraku yang berada di luar daerah langsung mengirim uang begitu dikabari bahwa bapak sedang membangun musolah. Dengan mereka ikut andil, aku berharap mereka kelak merasa memiliki dan bersedia memakmurkannya. Aku sampaikan keinginanku kepada istriku untuk menyumbang kubah mini. Dengan mudah istriku bersedia menjual perhiasannya tanpa menuntut untuk diganti. Dalam waktu singkat terbangunlah sebuah musolah minimalis yang cantik. Sekalipun pohon rambutan warisan kakek telah ditebang semoga kakek mendapatkan pahala yang lebih baik, karena atas jasanya jugalah kami jadi punya musolah.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H