Bagian Pertama (1)
Catatan Usman D.Ganggang *)
Memukau! Itulah ungkapan yang paling pas untuk diungkapkan  ketika berkunjung ke Museum Asi Mbojo yang  kian hari kian banyak dikunjungi.Iya itulah yang  penulis rasakan pagi menjelang siang , Sabtu 25 Januari 2020, Begitu masuk, di gerbang, disambut  penjaga loket karcis di UPTD Museum Asi Mbojo yang  berbusana adat daerah Mbojo yang sebelumnya belum pernah penulis menghadap penjaga, langsung masuk istana.
"Sebuah langkah maju!" batinku. Bagaimana tidak? Sepertinya sudah berusaha secara bertahap pemamdu, penjaga loket menghadirkan suasana baru dengan  mengenakan pakaian adat.
Selain itu, sedikit kaget penulis karena  disodori karcis masuk, yang sebelumnya juga ketika penulis masuk tidak dibeli karcis karena memang tidak ada karcis masuk. Namun sebelum dibayar, petugas mencerahkan penulis terkait biaya /karcis masuk di beberapa Museum dan Cagar Budaya Di Indonesia.
Antara lain : Musuem Bali Rp.50.000/ orang;  Borobudur Rp.40.000/ orang';Museum Kota Tua Jakarta Rp.5000 untuk dewasa per orang.Anak anak Rp.2000 per orang; Museum Airlangga Rp. 4000 per orangdan  Asi Mbojo.Pelajar dan Mahasiswa Rp.1000. Umum Rp.2000. Wisatawan Asing Rp.3000.
Selanjutnya petugas menjelaskan bahwa penarikan karcis atau bea masuk Museum ASI Mbojo, sudah berlangsung lama. " Penarikan Karcis Di UPT Museum Asi Mbojo sudah dilakukan sejak 18 tahun lalu", kelas seorang cewek cantik, sembari menambahkan,"Sesuai SK Bupati Bima Nomor 160 Tahun 2002, yang tertera dalam karcis. Untuk Pelajar & Mahasiswa Rp. 1000. Untuk umum Rp. 2000. Untuk Wisatawan Asing Rp. 3000. "Jadi tidak ada kenaikan padahal sudah belasan tahun", sambungnya.
Lalu, Â mengapa selama ini tidak dipungut? tanya penulis. Ternyata, kata cewek cantik itu, Â selama ini panarikan karcis tidak optimal.Maka sejak 8 Januari 2020 dioptimalkan dan ditertibkan. Asi Mbojo adalah salah satu destinasi wisata sejarah dan budaya kebanggaan kita bersama. Satu satunya di pulau Sumbawa dan sudah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional sejak tahun 2016. "Karcis masuk. di Museum Asi Mbojo adalah yang paling murah sedunia", ujarnya sambil pasang senyum manis.
Akhirnya beralih ke sebuah bangunan di gerbang yang bernama Lare-Lare atau juga dikenal dengan Lawa Se, yang unik, lalu ke Lawa Kala, Arca Nandi dan Arca Yoni, dan juga tertarik dengan bangunan megah yang bernama Asi Mbojo yang juga unik memukau setelah kita saksikan dari dekat dan pastilah menghadirkan decak kagum. Tapi apa dan mengapa benda-benda tersebut hadir di istana, tentu butuh narasi jelas dan tuntas dari petugas yang tahu betul makna dan fungsi benda=benda tersebut.
Karena itu pula;ah, penulis langsung ke ruang Bung Alan Malingi (sapaan untuk  Ruslan, S.Sos) Kepala Museum Asi Mbojo (Bima) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).  Hari itu juga baru penulis tahu kalau beliau dilantik sejak 6 Januari 2020 . Sebelumnya beliau pegawai di sekretariat Daerah Kab.Bima.
Boleh jadi, Â karena oleh karena keaktifannya dalam mengekspos sejarah Bima dari zaman ke zaman , akhirnya belau dipercayakan oleh atasannya untuk menjabat Kepala Museum. Beliau merasa bangga sekaligus bersyukur karena tugas ini mendukung kegiatannya dalam mengeskpos sejarah Bima yang sarat nilai pada zamannya. ," Di sini cocok untuk kerjanya seorang penulis, Pua Usman ", ujarnya bangga.
Sambil menikmati pengaha (kue ala Bima), penulis menanyakan terkait nama bangunan megah ini sekaligus benda-benda yang sudah dicatat sebelum masuk ruangan. Bung Alan menjelaskan secara etimologi(asal usul kata) Asi berarti mengeluarkan dari dalam perut baik melalui mulut maupun alat kelamin. Secara Terminologi Asi berarti Rumah atau bagian yang berfungsi sebagai pusat Pemerintahan, Peradilan, Pengembangan Agama dan Budaya serta tempat tinggal Raja/Sultan beserta keluarganya.
Asi Mbojo dibangun pada tahun 1927. Setelah kesultanan Bima bubar, Asi Mbojo sempat beralih fungsi menjadi Gedung Daerah, Asrama Kompi dan Kampus STIT Sunan Giri. Pada tahun 1986, Bupati KDH Bima H.Oemar Harun, Bsc mengusulkan ke Pemerintah Pusat untuk menjadi Museum. Pada tahun 1989 Gubernur NTB H.Warsito meresmikan menjadi Museum Asi Mbojo.
Pada tahun 2009, Asi Mbojo menjadi UPTD( Unit Pelaksana Tehnis Daerah) di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Pada tahun 2016, seiring perubahan nomenklatur Di Pemerintah Kabupaten Bima, UPTD Museum Asi Mbojo berada di bawah Dinas Dikbudpora Kabupaten Bima.
Kini Asi Mbojo berusia 93 tahun.Usianya sebagai Museum sudah 31 tahun. Penarikan karcis termurah sedunia sudah berjalan 18 tahun.Asi Mbojo belum mengalami perkembangan yang meyakinkan baik dari pemeliharaan, penataan maupun konservasi benda benda pusaka dan koleksinya. "Saatnya Asi Mbojo berbenah. Mohon doa dan dukungan, bukan pro kontra soal karcis yang termurah sedunia", ujarnya sambil pasang senyum.
Lebih lanjut Bung Alan menjelaskan, Museum Asi Mbojo adalah Situs Cagar Budaya Nasional sekaligus Obyek Destinasi Wisata Sejarah dan Budaya. Sebagai obyek wisata tentu ada ketenuannya termasuk membayar karcis masuk. Penarikan karcis tidak hanya untuk pengunjung yang melihat koleksi, masuk di halama pun tetap harus bayar karena di halaman Asi Mbojo juga ada koleksi halaman yang perlu dijaga, ditata dan dilestarikan.
Koleksi halaman Museum Asi Mbojo adalah Meriam, Lare Lare, Temba Asi, Jompa, Lengge, Arca dan lain lain. Selama ini keberadaan benda benda itu belum dideskripsi sebagai informasi sejarah yang akan bermanfaat untuk wisata literasi dan edukasi. Dalam waktu dekat koleksi halaman maupun koleksi ruangan akan ditata dan diberikan drskripsi.
Hal itu dimaksudkan agar benda benda itu bisa bercerita kepada pengunjung."Kami akan menerbitkan Tata Tertib Pengunjung dan setiap pengunjung ada ID Card.Petugas Loket dan pemandu juga ada ID Card.,"ujar Bung Alan Malingi yang bernama asli Ruslan,S.Sos.
Lare Lare atau juga dikenal dengan Lawa Se adalah koleksi bersejarah dari Asi Mbojo. Banyak wisatawan yang menyebut bahwa salah satu daya tarik Asi Mbojo adalah keberadaan Lare- Lare.
Lare Lare dibangun pada tanggal 12 Pebruari 1781 pada masa Sultan Bima ke -9 : Abdul Hamid Muhammadsyah Zilullah fil alam.Usia Lare Lare kini, sudah mencapai 279 tahun.
Lare Lare berbentuk Segi Delapan dan bersusun tiga. Segi Delapan berkaitan dengan konsep kepemimpinan yang disebut Nggusu Waru atau delapan syarat kepemimpinan di tanah Bima. Fahru Rizki menyebut, Uma lare-lare dulunya berfungsi sebagai pintu masuk untuk para pejabat dan abdi kerajaan, dan di atasnya sebagai podium Sultan tampil di hadapan rakyatnya para perayaan maulud.
Pada masa Sultan Muhammad Salahuddin, Lare-Lare menjadi tempat " ngge'e ada" atau menunggu bagi para pelajar yang akan pergi merantau dan menuntut ilmu ke luar Bima, Ngge'e ada adalah menunggu Sultan untuk melepas kepergian para calon pemimpin dan ulama masa depan Dana Mbojo. Sepeninggal Sultan Muhammad Salahuddin, tradisi Ngge'e ada pun tiada. (Prof.Dr. Abdul Gani Abdullah, Peradilan Agama di Kesultanan Bima 1947-1957, Ngali Aksara        Â
Menjelang pulang, Bung Alan menginfokan , Dua buku yang menarik untuk menemani secangkir kopi di teras rumah di kala hujan menyapa semesta. Dan buku ini menjadi penting terkait pengetahuan tentang bagaimana jejak para Sultan dalam membangun Dana Mbojo, serta mengapa hari ini lahir sebuah novel mengenai Mbojo Mambure!
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H