Mohon tunggu...
Usman D. Ganggang
Usman D. Ganggang Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan penulis

Berawal dari cerita, selanjutnya aku menulis tentang sesuatu, iya akhirnya tercipta sebuah simpulan, menulis adalah roh menuntaskan masalah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angkuh, Itulah Gayamu!

3 September 2019   16:18 Diperbarui: 3 September 2019   16:35 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Usman D.Ganggang*)

Secercah memori kisah  dalam rajutan cinta  bersamamu kembali aku angkat, senja ini. Berawal dari aku kembali melakukan napak tilas setelah tiba di Pondok Bambu yang sejak pagi hingga siang, mentari datang terus terang benderang. Hingar- bingar Jakarta terasa tak terdengar.Padahal , biasanya, untuk menuju Taman Mini Indonesia Indah (TMII) memakan  waktu cukup lama karena hambatan lalulintas begitu ramai.

Dalam perjalanan kali ini, terasa senyap labuhkan sunyi. Seketika aku ingat kau,  saat kita bersama. Satu-satunya yang aku catat tingkahmu, adalah angkuh. Tampak angkuh, tapi itulah gayamu! Aku tahu betul. Sejak hidup  bersama, caramu berkomunikasi, sudah aku catat dalam hati.  Dan aku pun tahu jika perhatianku, engkau pun  tahu betul. Aku ingat, saat aku bertelpon, tentang persediaan uangmu jelang akhir bulan. "Abah, masih ada uang, nanti dikabarkan kalau persediaan keuanganku habis", jawabmu dari seberang.

Meski demikian, aku tak tega. Begitu ada uang, langsung dikirim ke alamatnya, meski jumlah sedikit. "Aku tak mau jika kamu  sampai pinjam kepada sesama temanmu" batinku. Pengirimannya pun tanpa diberitahu, karena nomor rekening sudah dicatat dalam buku harian yang kusimpan baik di dalam tas. Entahlah apakah dia tahu atau tidak, yang jelas rutin dikirim tanpa menunggu akhir bulan.

Ketika rindu jumpa memuncak, selalulah aku berkunjung ke kosnya. "Dia berpura-pura tanya,"Siapa?" dari dalam kosnya. Padahal, suaraku sudah memanggilnya, terlebih dahulu. "Angkuh adalah gayamu", batinku ketika bertemu wajah. "Ah, ternyata Abah datang!"sambutnya ketika pintu kosnya terbuka. 

Ketika duduk di samping  tempat tidur, kuperhatikan gayanya. Dia miringkan sedikit tubuhnya ke dinding. Lalu mengangkat dagunya, memastikan ceritaku dari kampung. "Gaya angkuhnya sudah mulai!" batinku sebelum meneruskan percakapan terkait kisah perjalananku dari kampung yang memakan waktu lebih kurang tiga hari bersama bus.

Rupanya, dia tahu kalau aku tak mau duluan untuk bercakap. Karena itu, dia berpura sibuk ambil uang dari dompetnya untuk beli white coffy dan kue ala Betawi. Dia tahu kesukaanku dari dulu.Iya dia tahu betul dunhill kesukaanku  sejak bersama di Timor.

 "Abah masih rokok Dunhil?" tanya sambil menuju pintu. 

"Masihlah!" Jawabku singkat mencoba membalas gaya angkuhnya

"Tunggu dululah!"

"Apalagi, Abah?"

"Uang untuk beli rokok dan kue?"

"Masih ada Abah!" gayanya kembali angkuh, lalu terus menghilang. 

Tetapi beberapa menit kemudian, dia datang lagi. "Ada apa tanyaku?' 

Pertanyaanku tidak dijawabnya. Sibuk membuka tas jnjingnya. Tapi tak beberapa lama kemudian,  kuperhatikan tangannya terlihat sibuk menarik-narik ujung rambut yang semula begitu rapi di keningnya. Aku pun paham, "Haem...gaya baru lagi ini", batinku.Pastilah, Uangnya sudah habis di dompet", batinku lagi. Karena itu, kusodorkan lembar ratusan. Dan segera dia ambil terus menghilang dari pandangan.Tidak ada ucapan terima kasih. Muncul lagi  gaya angkuhnya, tapi tidak pernah menunjukkan wajah marah kepada Abah atau kepada orang lain jika ada komunikasi. 

Ketika pulang, malah dia bawa dua bungkus dunhil serta white coffy. Tidak lupa kue ala Betawi. Lho, koq beli dua bungkus? "Terima aja Abah, ternyata uangku terselip dalam saku celana", jawabnya sambil menuju dapur. "Sudah mulai lagi gaya angkuhnya", batinku,  padahal sudah kuhitung uang yang diberikan pas untuk dua bungkus.

Ketika senja datang, dia mengajak ke mall Matahari di Pondok Gede. Begitu melihat mobil langsung kuajak dia naik. "Jalan kaki saja Abah, supaya sehat!", ajaknya sambil memegang tanyaku.Aku pun mengiyakan. Tetapi sekitar 100 meter, dia tahan mobil. "Masih jauh Abah!", desisnya. Akhirnya, kuikuti saja. "Muncul lagi gaya angkuhnya, tadi tidak mau, tapi sekarang malah tahan mobil", batinku.

Setiba di mall Matahari, dia ajak mengitari blok-blok dan gang. "Ah, panas Abah, kita istirahat dulu!" ajaknya. Tapi istirahatnya malah ajak ke restoran. "Abah lapar ya?" tanyanya sambil mengajak duduk. "Mulai lagi gaya angkuhnya! Berpura omong lapar, padahal dia sendiri yang lapar", batinku. Meski demikian, saya mengiyakan saja. "Makanan yang ringan saja , Abah!" ajaknya.

 Usai menikmati hidangan ringan, dia ajak melihat-lihat baju dan celana.

 "Mau beli baju Abah?" ajaknya. 

Saya diam sejenak,"Muncul lagi gaya angkuhnya!" batinku. 

Tetapi kemudian kujawab, biar dia puas, sebab kutahu, inilah gaya angkuhnya.

"Beli dulu untuk kamu!" jawabku.

Saya amati wajahnya, berseri-seri,  rupanya gayanya bernada tanya, terjawab juga.

"Untuk Abah, beli menjelang pulang kampunglah!" sambungku.

 "Jadi, beli duluan untuk saya?", jawabnya. 

"Iyalah! Ganti dulu baju kamu itu, selagi Abah masih ada bersamamu!"

Ingat gaya angkuhmu ini, sewaktu ke Taman Mini Jakarta Timur, Juli lalu, dari Taman Mini, aku istirahat sebentar di Mall Matahari Pondok Gede, sebelum ke Waringin. Terasa kau hadir di sampingku.  Dan sebelum ke Pondok Bambu, sempat istirahat sejenak di Waringin Universitas BSI." Iya, di sini pernah kau raih sarjana sebelum akhirnya tuntas di Universitas Mpu Tantular ", gumamku sebelum mendung dan gerimis turun.

Ujung dari mendung itu, kucoba memejamkan mata sekaligus meredam rindu yang kian membuncah. Hasilnya? Gerimis malah turun bentuk sebuah telaga munggil di tengah bebukitan.Lalu sebelahnya ada jurang lagi menganga."Mestikah aku turun bersama gerimis menuju jurang?" batinku

Ah, sebuah keputusan fatal namanya jika aku ikut rasa.Karena itu, aku berusaha membaca tanda-tanda yang telah diberikan-NYA. Pertanyaan mengganjal yang lagi menyeruak dalam kolbuku,muncul seketika." Dapatkah aku menyatukan serpihan tanda yang berserakan depanku?"

Sebuah tanya butuh jawaban panjang. Iya , itu pasti! Tapi, daripada kemudian menyesal akan datang, kusisiri sejumlah alur kehidupan ini. Tuhan telah mnenganugerahi manusia -- seperti aku dan dia ini- berupa akal dan rasa bahasa yang sekaligus mengangkat hambanya pada posisi tertinggi di antara makhluk yang berada di bawah kolong langit ini.

Sekali lagi kupejamkan mata. Iya, serpihan tanda itu di depanku, begitu banyak. Salah satunya, gaya angkuhnya dia ini. "Boleh jadi dia dengar", batinku. Dan tak seberapa lama, ngiangan di telingaku pun berdering. Lalu kusebut namanya," Kim, Abah ada di sini!" Haem...sejenak terasa, senyap labuhkan sunyi. Aku terbangun dari permenungan sekaligus menyatukan tanda, salah satu serpihan tanda yang pernah hadir di depan mataku sejak tadi, hadir.

Gaya angkuhmu sudah kubaca. Sungguh! Iya, aku paham seyakin-yakinnya, bahwa aku tak akan dapat menjadi aku apabila aku berusaha memilikimu. Apabila aku saat ini, terasa bersamamu, memang bukanlah sebuah kebetulan. "Di dunia ini tidak ada itu kebetulan", batinku. Dan jika nyata pun, kau bersamaku saat ini, boleh jadi seperti yang ada dalam sinetron," Di antara ada dan tiada". batinku lagi.

Aku tidak pernah bercita-cita jadi manusia. Kau pun begitu, termasuk dengan gaya angkuhmu itu. Entah sudah berapa tanda terkait gaya angkuhmu itu kucatat, sampai saat ini, tak dapat kuhitung lagi, termasuk surat-surat cintaku buat kamu. Aku ingat gaya angkuhmu doeloe, ketika bersama kita ke Pondok Bambu-Jakarta Timur, rumah pamanmu. Saat pulang, pamanmu sodorkan lembar ratusan ribu terikat dalam sampul, tapi kau bergaya angkuh,"Masih ada, Paman dan menolak pemberian pamanmu!"

Aku ingat saat itu, sampai-sampai pamanmu menoleh padaku dan berwajah marah, "Bagaimana cara didik anakmu hai adikku, hingga pemberianku ditolaknya. Bersyukurlah pada saat itu, teringat aku pada wejangan Pua-ku di kampung,"Nak, jika kamu memberi hadiah kepada keluarga atau orang lain, jangan sesekali langsung di atas tangannya. Nanti keluarga atau orang lain beranggapan bahwa kita orang kaya hebat. "Lalu caranya gimana?" tanyaku saat itu. "Caranya, taruh saja di saku baju atau saku celananya, pasti dia berpura tolak tapi dia jaga sakunya jangan sampai uang itu jatuh !" sambung Pua-ku

Maka setelah jumpa lagi dengan pamannya, aku berikan caranya supaya pemberian itu diterimanya meski dengan gaya angkuh, yaitu, berpura tolak tapi pegang sakunya sehingga pemberian itu tidak jatuh. "Itu pertanda bahwa dia sudah menerima walaupun melalui gaya angkuhnya itu", jelasku kepada pamannya. Lalu pamannya praktekkan sesudah itu, ujungnya lembaran ratusan ribu itu diam di sakunya. Dan saat itu, kulirik, kau pun pasang senyum

Nah, sekarang aku tiba lagi di Pondok Bambu-Jakarta Timur senja ini. Usai sholat sore ini, aku diam bersama DIAM. Sebentar bibirku berkomat-kamit. Hasilnya? Kutemukan premis indah yang pernah kita diskusikan doeloe di Pondok Waringin. Premis itu kucatat lagi di sini," You know, after a meaning, there's a breakup waiting", and "You know, there's never been a moment I haven't love you". (Anda tahu, setelah rapat, ada perpisahan menunggu. Dan Anda tahu, tidak pernah ada, saat aku belum mencintaimu).

Kutatap gambarmu yang telah usang termakan waktu. Meski terasa luka waktu, karena kutahu kau lagi berada di singgasana, aku tetap memandangnya lebih dalam lagi, dan ketika aku berdialog sendiri terkait masa mudaku, aku ingat kau berada dalam kisah itu, termasuk gaya angkuhmu itu, pernah mampir dalam hidupku. Aku memang seperti itu. Sama seperti kau, bergaya angkuh, biar dibilang dompet tebal dan tak pernah ada "kanker" (kantong kering).***)

Pondok Bambu, Jakarta Timur, 19 Juli 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun