Padahal makna yang berkembang dari kritik itu berarti : Cela (kondisi kritis) yang ada dicarikan langkah praktisnya, dengan demikian kembali ke kondisi normal. Maksudnya, menimbang kelebihan dan kekurangan dari kegiatan seseorang atau lembaga tertentu, kemudian mencari langkah praktisnya(solusi) untuk mengurangi yang kurangnya bahkan kalau bisa dihilangkan kekurangannya.
Dr.Agus Semiun,MA dalam artikelnya berjudul "Cermin Kata", terkait peresponan artikel saya di HU Pos Kupang yang berjudul "Kaca Spion itu", pernah mengutip Rianto dan Susanto (2002), kritikan merupakan gambaran diri menyangkut benar tidak dan beres tidaknya seseorang melakukan atau mengerjakan sesuatu, yang tidak mampu dilihat oleh diri sendiri.
Bertens (2001) seperti dikutip Dr.Agus Semiun,MA, sependapat dengan Riyanto dan Susanto bahwa kritikan merupakan proses empati seseorang atau para pejabat dalam kaitan dengan etika. Dia mengatakan," Melalui empati, kita seolah-olah mengidentififikasi diri sendiri dengan orang lain.Â
Pendapat ini mau menggarisbawahi, bila proses empati ini berjalan dengan baik, di mana seseorang atau pejabat misalnya, mampu membayangkan dirinya lewat kritikan, dia akan termotivasi untuk berbuat lebih baik sesuai dengan kehendak yang mengeritik.Proses empati seperti itu, akan berujung ke rasa empati. Dengan demikian, orang atau para pejabat misalnya,bukanlah "filsuf raja" konsep pemimpin Plato, sehingga tidak ada alasan kalau para pejabat menolak krtikan, apalagi kritikan itu bersifat membangun.
Dalam keseharian, kita dengar bahasa, demikian DR.Agus Semiun,MA, "Pemerintah adalah pelayan rakyat" atau "pemerintah Negara demokrasi berada di tangan rakyat" Dari bahasa-bahasa seperti itu,dapatlah berarti pemerintah sesungguhnya adalah rakyat itu sendiri yang berhak untuk dilayani ( Baca: Amandemen Undang-Undang Dasar 45, pasal 1 ayat 2: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD).
Dan rakyat sesungguhnya adalah para pejabat atau pemerintah itu sendiri. Selama ini terjadi salah kaprah muatan dan penggunaan istilah pejabat dan pemerintah itu. Kalau disederhanakan, atau kasarnya, pemerintah yang kita maknakan sekarang ini adalah pelayan yang berseragam dan mempunyai kantor tertentu , dan sesungguhnya mereka itu adalah rakyat. Sedangkan rakyat adalah yang dilayani dan mereka itu sesungguhnya pemerintah yang memperkerjakan para pemakai seragam itu.
Iya, pantaslah kiranya, kalau yang berseragam itu (pelayan) dikritik habis-habisan karena rakyat sebagai employers-lah yang memiliki kuasa dan pekerjaan dan tentu tidak mau mendapat getah dari perilaku para pemakai seragam sebagai employers yang bekerja untuk digaji oleh rakyat sebagai pemilik pekerjaan.
Kritik harus mengandung fungsi control yang lebih tinggi. Selalu memojokkan orang lain atau pejabat misalnya, bukan tidak mungkin akan mematahkan semangat untuk berbuat lebih baik, bahkan berakibat pada mengurus diri sendiri ketimbang melayani orang lain. Iya, inikah yang perlu kita tawarkan dalam mengkritik?
Bagaimanapun, kritik dari seseorang itu adalah bukti cinta, ini harus diterima oleh pembaca atau penikmat sastra. Pituin dalam statusnya juga berujar, "Belajar dari Ajip Rosidi yang terus menulis pantang mundur, 6 buku puisi Ajip dikritik habis oleh kritikus M.S. Hutagalung dulu tahun 80-an!" ajaknya, sembari menambahkan,"Ternyata buku puisi Ajip ke-5 atau ke-6 baru dipuji Hutagalung---sebagai puisi-puisi menjanjikan. (***)