Mohon tunggu...
Usman D. Ganggang
Usman D. Ganggang Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan penulis

Berawal dari cerita, selanjutnya aku menulis tentang sesuatu, iya akhirnya tercipta sebuah simpulan, menulis adalah roh menuntaskan masalah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Cinta, Rasa Kebersamaan dan Keberpolitikan

25 Mei 2017   19:36 Diperbarui: 25 Mei 2017   20:54 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak tahu tentang cinta   dan rasa kebersamaan? Begitu juga dengan keberpolitikan [ =  hal-hal yang terkait dengan berpolitik],. tentulah tidak ada masalah buat kita. Boleh jadi yang yang menjadi pertanyaan adalah,”Manakah yang lebih utama dalam keberpolitikan, cintakah atau harga diri? “. Dan, “Kebersamaan mana yang patut kita panuti dalam menjalankan hidup dan kehidupan?” Lalu,”Hal-hal apa saja yang perlu kita jadikan bahan masukan dalam kegiatan berpolitik?

Ketiga  pertanyaan,  di atas, sengaja diangkat ke permukaan lataran masih ada yang keliru menafsirkan makna kehadiran ketiga kata tersebut. Di satu sisi orang menerima  makna denotative {makna yang sebenarnya] Sekedar contoh, dalam keseharian, kita senantiasa disuguhi kata-kata manis seperti ,” I love you, I want you belong to me” [……..]. Lalu, dalam menerapkannya, ada sanksi karena pada sisi lain.  cinta dimaknai sebagai makna konotasi [bukan sebenarnya].

Pertanyaannya,  “Mengapa kebersamaan ini selalu kau khianati?” Dan ini dia,” Politik itu kotor, karena ujungnya, kawan jadi lawan”. Nah, jadinya kita segera berdesis, “Ketika kau berpolitik, demi  mencapai tujuan keberpolitikan , kenapa cinta kau utamakan sementara harga diri dicampakkan?”

Tak dapat disangkal, ungkapan-ungkapan yang disebut di atas, selalu ada dan ditemukan dalam kita berkomunikasi, sepertinya selalu mewarnai kegiatan kita dalam keseharian, katakan  saja kegiatan dalam keberpolitikan, selalu saja ada yang menggerundel lantaran ada hal yang menusuk kalbu, sehingga muncul ungkapan seperti ini,”Ada dusta di antara kita”. Pertanyaannya, “Mengapa ada dusta?

Setidaknya, ini bermula dari keburu jatuh cinta. Kata Abunawas yang pandai berolah kata itu penting disimak. Menurutnya, kalau jatuh cinta, jatuhlah ke belakang. Mengapa harus begitu? Setidaknya, Abunawas mau menyarankan kepada kita untuk selalu berhati-hati dalam bercinta. Kalau jatuh cinta, katanya, jatuhlah ke belakang! Tentu ke belakang, maksudnya, adalah kepada kita diberi ruang untuk bernafas sekaligus memilah untuk memilih, pantaskah  seseorang  itu  untuk dirajut dalam kata bermakna seperti ‘kebersamaan dalam cinta’?, Jangan sampai kita terpengaruh lantaran tampangnya, kekayaannya, sementara kehebatannya, serta sepak terjangnya  ternyata ‘tong kosong, nyaring bunyinya’.

Dalam keseharian,  kita selalu berujar,”Ah, teori?” Boleh jadi, karena kita terperangkap dalam premis {pernyataan yang mendasari sebuah pendapat] yang berbunyi,”Mencintai sangat sering diikuti dengan keharusan untuk berada dalam kebersamaan”. Ternyata kita lupa, kerap kali kita terbui dengan kata cinta dan bersama tadi. Pertanyaannya, untuk apa kita bercinta dalam kebersamaan, terkait politik misalnya? Pastilah kita sepakat, apalagi kalau bukan mewujudnyatakan rasa kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.

W.W.Broadbont dalam bukunya, How to be Loved’ , mengupas hubungan yang mengasyikkan antara cinta dan rasa kebersamaan itu dengan dikotomi yang cukup ekstrim. Rasa kebersamaan dalam cinta, menurutnya ada dua macam, yaitu ‘actual belonging’ atau kebersamaan sejati dan ‘quasy belonging’ atau rasa kebersamaan semu.

Jika dicermati secara saksama, maka ‘actual belonging’ atau kebersamaan sejati itu tidak lain dari nyanyian harmonis dari kejujuran dan tanggung jawab. Kejujuran dalam artian bahwa mampu berbuat tidak manipulative. Dan tanggung jawab yang menurut Ir.Poedjawijatna ,berarti mampu mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa tindakannya itu baik.

Dengan demikian, apa yang perlu dilakukan demi mewujudnyatakan kejujuran dan tanggung jawab itu? Jiwo Wangu dalam artikelnya bertajuk “Kebersamaan dalam Cinta” yang dimuat dalam Majalah Bulan ANDA [edisi 78 tahun 1983: 41] mengungkapkan bahwa demi adanya kejujuran dan tanggung jawab, maka dibutuhkan sarana yang berupa komunikasi langsung, terbuka serta adanya kemauan yang sekaligus juga tindakan untuk dapat mendengarkan.

Fakta riil menunjukkan bahwa kebersamaan dalam cinta [baca secara umum], sarana komunikasi terkadang tersumbat. Penyebabnya, kebersamaan yang dirajut, justru kebersamaan semu. Secara kasatmata ada jalinan kebersamaan, tapi ternyata kebersamaan yang ada, adalah semu,  karena ada udang di balik batu. Kelihatannya, ada proses mendengar pesan komunikator [penyampai pesan], tapi bukan berusaha mendengarkan. Pasalnya, mendengar dengan mendengarkan itu, beda nuansa makna. Ketika melakukan kegiatan mendengar, matanya tertuju pada sang kominikator, padahal itu ‘modus’ [modal dusta], hatinya pada orang lain. Penyebab lain, tidak suka mendengarkan orang lain, tapi kalau dia yang berbicara berharap orang lain mau mendengarkan pesannya.

Kalau itu yang terjadi, berarti kita tidak mau menerima orang lain, termasuk tidak mau menerima diri sendiri. Pasalnya? Iya jelas, di sana tidak ada harmonisasi dari kejujuran dan tanggung jawab. Maunya didengar orang lain, sementara dirinya tidak mau mendengarkan orang lain. Muanya dipuji terus dan ketika  dikritik, malah marah. Mengapa mau enaknya sendiri?  Katanya, cintanya sudah dirajut tali kasih, ternyata, diretas sendiri. Sudah ada komitmen positif dalam berpolitik  untuk seia-sekata, tapi ternyata di lapangan malah saling menjatuhkan. Iya, ternyata komitmen itu, hanya di mulut saja. Bukankah itu dusta?

Ketika cinta itu tumbuh dan berkembang, kata-kata manis selalu hadir tepat waktu. Jarang ada  kata bertemu hilang dalam kamus mereka. Dan ketika bertemu, lahirlah syair-syair indah, semuanya untuk menggoda. Tapi kemudian, jika ditemui dusta, mulailah hadir syair-syair bernada dendam kesumat./Terang bulan terang di kali/ Buaya muncul disangka mati/Jangan percaya mulut lelaki/ Berani sumpah takut mati//.

Nah, inilah bukti kejengkelan seseorang jika ada tanda-tanda hoax {bohong] terkait kebersamaan dalam cinta. Sampai mati pun, dia tidak percaya kepada mereka yang bermulut manis, semanis madu.Apalagi kalau syair di atas dibalas tuntas seperti ini./Tinggi-tinggi gunung Rinjani/Salah sedikit miring ke kiri/Tinggi-tinggi nona sekarang ini/Salah sedikit kencing berdiri//. Haem, klop kan? Bagaimana lagi lagu kebersamaan itu hadir?

Itulah sebabnya, orang bijak selalu mewanti-wanti sebelum jatuh cinta berpolitik. “Berbicaralah sebelum engkau berbicara; Jangan sampai”Mulutmu harimaumu”; karena itu,  Jangan mengundang susah ketika kita senang atau Ketika kita senang jangan mengundang susah. Itulah sebabnya, jika kita jatuh cinta lalu kebersamaan dalam cinta itu, telah diraih, cermatilah kalimat-kalimat yang dihadirkan dalam dia berkomunikasi.

Biasanya, kalimat-kalimat berikut yang selalu hadir demi kebersamaan sejati yang diharapkan pelaku cinta. [1] Perasaanku, kata-kataku serta tindakanku adalah satu merupakan persembahan bagimu, tanpa mengharapkan sesuatu kembali sebagai balasannya. [2] Aku tidak lebih dan tidak kurang darimu, duduk sama rendah berdiri sama tinggi. [3] Aku tahu bahwa kau butuh kuterima, begitu juga sebaliknya, aku butuh kau terima secara tulus tanpa bujuk rayu yang kadang malah menyesatkan.

Lalu, bagaimana strategi kita dalam memahami kebersamaan semu atau quasy belonging? Yang jelas dalam kebersamaan semu, diharapkan pelakunya adalah sebuah ibarat saja, artinya hanya sebagai upaya hadirkan gema saja, atau merupakan bayang-bayang saja dari realitas yang ada di sekitar lingkungannya.

Dalam berkomunikasi, selalu menghadirkan kalimat-kalimat ambigu [ bermakna ganda] dan akan nampak dalam  tindakan kesehariannya. seperti ini. [1] Tidak pernah berterus terang kepada siapa pun akan hal-hal sebenarnya sedang bergejolak dalam dirinya. [2] Berprisai diri untuk tujuan menepis kejadian-kejadian merugikan yang ditujukan kepada dirinya. Dan [3] ini dia, selalu ber-hoax ria kepada siapa pun.

Mengapa pelaku kebersamaan semu ini, menghadirkan premis [pernyataan yang mendasari pendapat] selalu berambigu [bermakna bias] dalam memaparkan pesannya kepada yang dicintainya? Setidaknya, dalam relung hatinya berusaha sedapat mungkin, menyembunyikan dirinya, jangan sampai diketahui orang lain. Iya, dia menutupi  tingkah lakunya, jangan sampai diketahui orang lain. Maka tidak heran jika dalam kesehariannya selalu ada perang batin. Itu semua terjadi lantaran tidak terbuka dalam urusan berkomunikasi.

Ketika keberpolitikan itu mengarah ke kebersamaan semu seperti  terurai di atas, maka yang diterima adalah kebersamaan dalam berpolitk yang semu. Inilah yang menyebabkan ada orang yang berpremis,”Politik itu kotor.”  Padahal yang kotor itu orangnya.Sementara  politik itu, baik.  Pasalnya, tujuan dari berpolitik adalah mensejahterakan rakyat Iya, bBoleh jadi karena melihat orang yang opportunis, berkubang dalam tipu muslihat yang licik,  akhirnya hadirlah kalimat,”Politik itu kotor”.

Itu pulalah sebabnya, dalam berpolitik jangan hanya mendasarkan diri pada soal cinta saja. Harus disadari bahwa untuk meraih kebahagiaan itu, bukan saja  bermodal cinta, kararena bukankah masih banyak  unsur penunjang kebahagiaan  yang lainnya seperti harga diri. Premis ini hadir sekaligsu menjawab pertanyaan di awal tulisan ini,”“Ketika kau berpolitik, demi  mencapai tujuan keberpolitikan , kenapa cinta kau utamakan sementara harga diri dicampakkan?”

Ternyata dengan hanya bermodal cinta saja, tujuan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan, belumlah cukup, sebab terkadang orang tidak  bahagia dengan cintanya lantaran dia kehilangan harga diri.  Motto Broadbent tentang cinta yang dikutip Jiwo Mangu barangkali kita cermati untuk diambil maknanya dalam kehidupan seharian. Moto tersebut berbunyi,” If you are trying to make people love you, they won’t!

Terlalu sering kita berusaha untuk memiliki agar dapat dicintai. Terlalu sering kita berusaha memiliki untuk bias diterima. “Saudara, ijaksanakah itu?” tanya Jiwo Wungu dalam artikelnya bertajuk,”Kebersamaan dalam Cinta” yang terbit dalam Majalah ANDA edisi tathun 1983.

 Nah, mestikah politik itu dicederai gara-gara kita kurang memahami kegiatan berpolitik?  Seharusnya, dalam keberpolitikan, kita harus junjung tinggi kejujuran dan tanggung jawab  seperti orang kalau mau akad nikah tentulah  bermula  dari kebersamaan sejati  dalam merajut cinta, sehingga ujungnya tak   `ada dusta di antara kita’. ***]

Sumber bacaan: Majalah Anda dan sumber lain yang terpercaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun