Ketika cinta itu tumbuh dan berkembang, kata-kata manis selalu hadir tepat waktu. Jarang ada kata bertemu hilang dalam kamus mereka. Dan ketika bertemu, lahirlah syair-syair indah, semuanya untuk menggoda. Tapi kemudian, jika ditemui dusta, mulailah hadir syair-syair bernada dendam kesumat./Terang bulan terang di kali/ Buaya muncul disangka mati/Jangan percaya mulut lelaki/ Berani sumpah takut mati//.
Nah, inilah bukti kejengkelan seseorang jika ada tanda-tanda hoax {bohong] terkait kebersamaan dalam cinta. Sampai mati pun, dia tidak percaya kepada mereka yang bermulut manis, semanis madu.Apalagi kalau syair di atas dibalas tuntas seperti ini./Tinggi-tinggi gunung Rinjani/Salah sedikit miring ke kiri/Tinggi-tinggi nona sekarang ini/Salah sedikit kencing berdiri//. Haem, klop kan? Bagaimana lagi lagu kebersamaan itu hadir?
Itulah sebabnya, orang bijak selalu mewanti-wanti sebelum jatuh cinta berpolitik. “Berbicaralah sebelum engkau berbicara; Jangan sampai”Mulutmu harimaumu”; karena itu, Jangan mengundang susah ketika kita senang atau Ketika kita senang jangan mengundang susah. Itulah sebabnya, jika kita jatuh cinta lalu kebersamaan dalam cinta itu, telah diraih, cermatilah kalimat-kalimat yang dihadirkan dalam dia berkomunikasi.
Biasanya, kalimat-kalimat berikut yang selalu hadir demi kebersamaan sejati yang diharapkan pelaku cinta. [1] Perasaanku, kata-kataku serta tindakanku adalah satu merupakan persembahan bagimu, tanpa mengharapkan sesuatu kembali sebagai balasannya. [2] Aku tidak lebih dan tidak kurang darimu, duduk sama rendah berdiri sama tinggi. [3] Aku tahu bahwa kau butuh kuterima, begitu juga sebaliknya, aku butuh kau terima secara tulus tanpa bujuk rayu yang kadang malah menyesatkan.
Lalu, bagaimana strategi kita dalam memahami kebersamaan semu atau quasy belonging? Yang jelas dalam kebersamaan semu, diharapkan pelakunya adalah sebuah ibarat saja, artinya hanya sebagai upaya hadirkan gema saja, atau merupakan bayang-bayang saja dari realitas yang ada di sekitar lingkungannya.
Dalam berkomunikasi, selalu menghadirkan kalimat-kalimat ambigu [ bermakna ganda] dan akan nampak dalam tindakan kesehariannya. seperti ini. [1] Tidak pernah berterus terang kepada siapa pun akan hal-hal sebenarnya sedang bergejolak dalam dirinya. [2] Berprisai diri untuk tujuan menepis kejadian-kejadian merugikan yang ditujukan kepada dirinya. Dan [3] ini dia, selalu ber-hoax ria kepada siapa pun.
Mengapa pelaku kebersamaan semu ini, menghadirkan premis [pernyataan yang mendasari pendapat] selalu berambigu [bermakna bias] dalam memaparkan pesannya kepada yang dicintainya? Setidaknya, dalam relung hatinya berusaha sedapat mungkin, menyembunyikan dirinya, jangan sampai diketahui orang lain. Iya, dia menutupi tingkah lakunya, jangan sampai diketahui orang lain. Maka tidak heran jika dalam kesehariannya selalu ada perang batin. Itu semua terjadi lantaran tidak terbuka dalam urusan berkomunikasi.
Ketika keberpolitikan itu mengarah ke kebersamaan semu seperti terurai di atas, maka yang diterima adalah kebersamaan dalam berpolitk yang semu. Inilah yang menyebabkan ada orang yang berpremis,”Politik itu kotor.” Padahal yang kotor itu orangnya.Sementara politik itu, baik. Pasalnya, tujuan dari berpolitik adalah mensejahterakan rakyat Iya, bBoleh jadi karena melihat orang yang opportunis, berkubang dalam tipu muslihat yang licik, akhirnya hadirlah kalimat,”Politik itu kotor”.
Itu pulalah sebabnya, dalam berpolitik jangan hanya mendasarkan diri pada soal cinta saja. Harus disadari bahwa untuk meraih kebahagiaan itu, bukan saja bermodal cinta, kararena bukankah masih banyak unsur penunjang kebahagiaan yang lainnya seperti harga diri. Premis ini hadir sekaligsu menjawab pertanyaan di awal tulisan ini,”“Ketika kau berpolitik, demi mencapai tujuan keberpolitikan , kenapa cinta kau utamakan sementara harga diri dicampakkan?”
Ternyata dengan hanya bermodal cinta saja, tujuan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan, belumlah cukup, sebab terkadang orang tidak bahagia dengan cintanya lantaran dia kehilangan harga diri. Motto Broadbent tentang cinta yang dikutip Jiwo Mangu barangkali kita cermati untuk diambil maknanya dalam kehidupan seharian. Moto tersebut berbunyi,” If you are trying to make people love you, they won’t!
Terlalu sering kita berusaha untuk memiliki agar dapat dicintai. Terlalu sering kita berusaha memiliki untuk bias diterima. “Saudara, ijaksanakah itu?” tanya Jiwo Wungu dalam artikelnya bertajuk,”Kebersamaan dalam Cinta” yang terbit dalam Majalah ANDA edisi tathun 1983.