(Catatan Perjalanan Kru Makembo)
Pasukan Jepang masuk Bima 17 Juli 1942. Kerdatangan ‘saudara tua’ itu, kata Alan Malingi, Ketua Majelis Kebudayaan Mbojo, diawali pasukan Angkatan Laut yang dipimpin oleh Kolonel Saito. Pada masa pendudukan Jepang itu, mereka jadikan Pulau Kambing depan Kota Bima itu sebagai Pangkalan Bahan Bakar Minyak. Selain itu, gunung dan bukit dilubangi sebagai tempat persembunyian menghindari gempuran lawannya.
Dalam Buka Bersama beberapa hari lalu, Makembo hadirkan agenda , antara lain: (1) Survey lokasi persiapan peliputan NIKA BARONTA oleh Kompas TV; (2) Pemetaan kesenian Sanggar pada tanggal 23 dan 24 Juli 2016; dan (3) Bulan Budaya Lombok Sumbawa pada bulan agustus 2016 di Mataram.erealisasikan agenda tersebut terutama untuk poin pertama, Kru Makembo, Minggu (3/7) melakukan kegiatan menelusuri jeka sejarah ‘sisa tangki bahan bakar’di Pulau Kambing, yang konon, ceritanya di Pulau Kambing ini, dijadikan Pangkalan Bahan Bakar Jepang. Berikut ini catatan perjalannya kru Makembo*)
Matahari belum tegak betul, ketika perahu bermotor yang kami tumpangi bergerak maju menuju Pulau Kambing depan Kota Bima, tepatnya sebelah Barat Pelabuhan Bima. Riak air laut menyambut Kru Makembo berjumlah 4 orang dari Kota Bima, terasa asyik masuk dalam relung hati terdalam. Bagaimana tidak? Mentari siang itu, bersandar di depan Pantai Pulau Kambing, lalu memotretnya dan hasilnya kami lihat dalam bening air laut samping Pulau kambing.
Sementara deru motor lainnya juga asyik masuk ke Pulau Kambing dan dan seterusnya melaju kencang kian memecah riak air menuju Bajo.Kecamatan Soromandi. Lalu di Pantai Pulau Kambing, tiba-tiba , berubah. Berawal dari sedikit remang karena sedikit jauh dari pandangan kami, akhirnya dalam tempo 5 (lima) menit, perahu motor kami mencium dermaga Pulau Kambing.
Sebentar jeda, sambil menikmati udara segar Pulau Kambing, kami mengitari Pantai Timur Pulau Kambing. Menikmati udara segar di bawah rimbunan pepohonan rindang, amat terasa, tinimbang ketika berada di Kota Bima yang hiruk pikuk dengan kendaran baik roda dua maupun roda empat, memekak pemilik telinga. Belum lagi panas mentari membakar tubuh, dan keringat pun mengucur tubuh.
Usai menikmati udara segar di sini, bersama kru dari Majelis Kebudayaan Mbjo (MAKEMBO) akhirnya mulai menelusuri keberadaan dan kebenaran sejarah serta legenda seputar Pulau Kambing, yang terus tergerus oleh arus modernisasi serta era globalisasi kian membantai kearifan lokal dou Mbojo.
Iya,akhirnya tokh kami menelusuri jejak sisa sisa sejarah terkait tangki minyak peninggalan Jepang yang menjadi tujuan utama kami ke Pulau Kambing. Setengah jam kami menelusurinya, dan ternyata , tangki minyak itu , telah raib dan yang tersisa hanya lubang kosong lokasi tangki minyak tergambar jelas di bawah rimbunan pepohonan.
Iya, akhirnya sisa tangki minyak peninggalan Jepang yg menjadi tujuan utama ke pulau Kambing, tidak ditemui. Tangki bahan bakar itu, telah raib.Betul-betul yang tersisa hanya lubang kosong. Pertanyaan yang mengganjal bagi kami adalah , " Kemanakan tangki bahan bakar pesawat peninggalan Belanda- Jepang yang berada di Pulau Kambing, ini ?”Padahal sebelum tahun 2004, tangki bahan bakar ini, masih ada”, urai Non Emy.
Boleh jadi, demikian Non Emy “Mungkin mereka enggak paham betapa bernilainya tangki itu,sebagai bukti sejarah yang tak ternilai.” Saya, kata Non Emy, sempat lihat tangki itu, sejak kecil, tapi buat anak cucu ke depannya tidak lagi melihatnya, kecuali hanya mendengar cerita orang.”Tangki itu salah satu saksi sejarah tersebut dan rantai kuning bumi yang membelah laut Kolo dan Soromandi,” lajut Non Emi, ketika ditanya terkait pentingnya Tangki Bahan Bakar itu. Lalu beberapa teman berujar,”Perlu dibentuk Tim advokasi budaya untuk menuntut semua maling-maling harta kekayaan Bima itu agar mengembalikan semua pusaka2 kita”.
Meski hanya lubang kosong yang kami temukan, dalam artian sisa-sisa tangki bahan bakar peninggalan Jepang itu, tak ditemui lagi, tokh kami teruskan perjalanan mencari lokasi makam mubaliq yang konon kata guide , terletak di bagian Utara Pulau Kambing.“Senang bisa ziarah di sini, meski tangki minyak telah raib dan hanya tersisas tempatnya, tokh kita masih bangga, kita temukan tempatnya , apalgi sebentar kita saksikan makam mubalig di arah utara Pulau Kambing, sedikitnya ada tujuh (7) makam yang masih terlihat jelas di pulau Kambing ini”, urai Non Emy.
Akhirnya, perjalanan kami diteruskan ke Utara.Dalam menuju ke sana, reporter Bima TV datang bersama adiknya, maka bertambahlah jumlah kami menjadi 6 orang. Hanya beberapa menit, tibalah kami di sebuah lokasi makam mubaliq sekitar abad ke-17. Dari nisannya, kami catat, ada yang berbentuk ‘manggusu waru ‘(= segi 8) yang berarti makam itu adalah makam ketua atau pemimpin.
Ada juga yg berbentuk segi empat yang berarti para pengikutnya. Namun, belum diketahui jelas asal usul makam tersebut. Yang jelas, di komplek itu, tercatat : ada sekitar 7 makam, 4 makam nisannya mempunyai motif seperti seorang pemimping, 3 nisan batu biasa. Dari cerita guide bersama kami, menjelaskan bahwa yang sering berkunjung ke pulau ini, di samping membersihkan makam juga mendoakan arwah.
Ketika salah seorang teman menanyakan ,siapakah sesungguhnya mubalig-mubalig tersebut,
Ketua Makembo, Alan Malingi menjelaskan bahwa sejauh ini belum diketahui. Dalam catatn sejarah Bima, hanya menyebutkan posisi makam para Sultan dan pejabat kerajaan. Yang ada keterangan dalam catatan sejarah antara lain makam Syekh Abdul Karim di Songgela, Syekh Muhammad di Kedo mMelayu. Makam Datu Raja Lelo di sebuah lokasi sebelum Ule. Makam Syekh Subuh di Sambori. Sementara makam di Pulau Kambing belum disebutkan. Demikian pula di Bukit Nanga Nur Sape .
Sebaran tujuh makam di pulau ini kata Alan, adalah makam para mubaliq penyiar agama Islam di tanah Bima pada masa-masa awal berdirinya Kesultanan Bima.” Filosofi Nggusu Waru kemudian menjelma menjadi delapan sendi kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang untuk menjadi pemimpin”, urai Alan sembari menambahkan,”Tidak hanya itu, Nggusu Waru juga diimplementasikan dalam ragam motif tenun, ornamen dan arsitektur di Dana Mbojo”.
Hanya satu setengah jam kami mengitari Pulau Kambing, seterusnya kami berlayar lagi untuk seterusnya berpisah dengan Reporter Bima TV bersama adiknya terus ke Bajo dan selanjutnya ke Sila. Sementara kami harus melaju lagi ke Kota Bima, menjelang matahari condong ke Barat, apalagi pesiapan menjelang buka bersama masih harus dikerjakan. ***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H