Tetapi guruku, semuanya ini kini terkubur bersama lumpur karena banjir bandang yang meluap di mana-mana, termasuk di daerah ini. Pujian itu, berbalik dan berubah menjadi 360 derajat. Bagiaman tidak? Yang ditemui sekarang ini adalah pelecehan tugas, sindiran sinis, bahkan cendrung ke sarkastis.
Guruku, mungkinkah ini terjadi lantaran berubahnya sikap-sikapmu seperti dari realisme ke formalisme; dari idealism ke materialism? Dan dari mengejar prestasi ke prestise? Kalau benar dan betul terjadi, berarti citramu beralih. Mengertilah kami. Kami pun maklum bahwa berita di berbagai media massa dan elektronik kian marak saja terutama terkait dengan sisi gelap kehidupanmu. Sebagai contoh, engkau pernah dimejahijaukan lantaran membentak anak-anak didikmu sekaligus menjewer telinganya. Engkau dipukul karena menebar uangf palsu. Dan masih banyak lagi berita kejahatan yang menghiasi lembar Koran setiap hari.Semuanya menambah koleksi potret keburaman tentang kehidupanmu khususnya dan dunia pendidikan umumnya.
Namun demikian, sebagai muridmu yang setia, kami senantiasa berusaha menggali factor penyebarnya sehingga engkau bersikap demikian. Kami tidak berjanji, kapan hasil telusuran kami dikirim ke alamatmu guruku. Tapi yang jelas, kami siap menjadi pembelamu bila kali lain engkau dimejahijaukan lagi oleh teman-teman kami yang tak mau diuntung itu. Yakinlah, guruku! Kebenaran pasti Berjaya. Sungguh!
Guruku! Kini, izinkan kami membacakan puisi karya Hartojo Andangdjaja yang pernah engkau PR-kan kepada kami. Judulnya, demikian , “Dari Seorang Guru Kepada Murid-muridnya”./Apakah yang kupunya anak-anakku/ Selain buku-buku dan sedikit limu/ Sumber pengabdian kepadamu// Kalau di hari Minggu engkau dating ke rumahku/ Aku takut anak-anakku/ kursi-kursi tua yang ada di sana/ dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya/ semuanya padamu akan bercerita/ tentang hidupku di rumah tangga//
Ah , tentang ini semua tidak pernah aku bercerita/ depan kelas, sedang menatap wajah remaja/ horizon biru bagiku/ karena kutahu, anak-anakku/ engkau terlalu bersih dari dosa/ untuk mengenal ini semua//.
Guruku sayang! Izinkan kami mengapresiasi puisimu di pagi ini. Tentu untuk teman-temanku juga buat pembaca di mana pun berada, agar mereka tahu kalau engkau mencintai kami.
Pertama., Kami catat dari puisimu adalah sebuah gita cinta rumah tangga dan suasana perihatin guru. Indera kami tergugah ketika melihat buku-buku, kursi-kursi tua, meja tulis sederhana, jendela-jendela yang kainnya kumal. “Ah, begitu miskin engkau guruku?! Bukankah beritanya, gajimu sudah naik, apalagi dengan sertifikasi, apa betul? Tapi maaf guruku, kami terlalu lancang mencampuri urusanmu.
Kedua, terpatri dalam hati kami, tentang sikapmu memandang kami yang remaja cera-ceria laksana horizon yang selalu biru itu, patut diacungi jempol. Engkau membimbing kami menjadi orang yang berguna di masa depan. Ini semua engkau lakukan dengan tulus ikhlas. Engkau memukul kami dengan lontar atau rotan itu juga mendidik. Kami paham, kata mutiaramu,”Di dalam rotan ini ada emas”, kami mengulang kata mutiaramu.
Ketiga, puisimu melukiskan kehidupan rumah tanggamu yang sederhana dan sikap positifmu terhadap kami remaja tanah air ini juga dapat menggugah perasaan nikmat kami. Perasaan nikmat karena digugah suasana yang ditimbulkan lukisan kehidupan sekitar rumah tanggamu yang sederhana itu. Sungguh, guruku!
Guruku sayang! Pengungkapan kehidupan ini jualah mendorong kami untuk memahami sejauh mana nilai perasaan, pikiran, dan harapan kami yang membutuhkan sejuta harapan kasih setia yang bak sepanjang jalan itu. Sungguh suatu kebahagiaan bagi kami bahwa walau engkau dilecehkan lingkunganmu, tetapi kami percaya engkau tidak seburuk itu, karena tidak terbersit di hitam matamu. Hingga kini, engkau masih laksana dian yang masih menerangi kami di kala malam merentang panjang,